”War Room” Kemkominfo Kembali Siaga Saat Sidang MK
Aparat keamanan siaga mengamankan jalannya persidangan sengketa Pemilu 2019 dari pengunjuk rasa di depan Gedung Mahkamah Konstitusi di Jakarta. Selang beberapa gedung dari MK, persisnya di Kementerian Komunikasi dan Informatika, sekelompok anak-anak muda siaga mengamankan dunia maya agar tetap kondusif.

Mural kampanye antihoaks di bawah jembatan layang Rawa Buntu, Serpong, Tangerang Selatan, Senin (11/3/2019). Hoaks yang marak selama Pemilu 2019 merugikan dan merusak proses demokrasi serta memicu rusaknya kohesi sosial di masyarakat.
Aparat keamanan siaga mengamankan jalannya persidangan sengketa Pemilu 2019 dari kemungkinan pengunjuk rasa di depan Gedung Mahkamah Konstitusi
di Jakarta. Selang beberapa gedung dari Gedung MK, persisnya di Kementerian Komunikasi dan Informatika, sekelompok anak-anak muda siaga mengamankan dunia maya agar tetap kondusif.
Helmi Setiawan serius menatap layar komputer di hadapannya. Dia cermati satu per satu pembicaraan di dunia maya terkait rencana sidang sengketa Pemilu Presiden 2019 di Mahkamah Konstitusi, yang akan dimulai hari ini.
Ini menjadi salah satu perhatian utama karena dalam tujuh hari terakhir pembicaraan terkait hal tersebut menunjukkan tren yang terus meningkat. Sebagian positif, sebagian lain negatif. Di antara yang negatif, banyak yang menjurus ke kabar bohong atau ujaran kebencian.
”Konten yang menjurus ke negatif kami pantau terus. Kami verifikasi. Kemudian kalau hoaks atau berpotensi menimbulkan keresahan, kami akan hapus kontennya. Tak berhenti di situ, akun yang menyebarkan kami telusuri. Setelah dapat, kami laporkan ke penyedia media sosial agar akun itu dibekukan. Kemudian jika mengandung unsur pidana, kami teruskan ke Polri,” tutur Helmi menjelaskan pekerjaannya.
Dia tidak sendiri siang itu, Kamis (13/6/2019). Total ada 30 anak muda lain, berusia 22-26 tahun, yang sedang berada di ruangan yang dinamakan war room di Gedung Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) tersebut. Sama seperti Helmi, mereka sibuk mencermati lalu lintas pembicaraan di dunia maya.
”Perang” anak-anak muda di bawah kendali Kemkominfo untuk melawan kabar bohong, ujaran kebencian, atau konten-konten negatif lain, seperti perjudian dan pornografi, di dunia maya itu terbantu oleh perangkat mesin yang dinamakan mesin ais.

War room di Kementerian Komunikasi dan Informatika di Jakarta. Foto diambil Kamis (13/6/2019).
Ais berasal dari kata pengais. Dan memang itulah tugas dari mesin yang dibeli pada awal 2018 oleh kementerian tersebut.
”Mesin mengais konten-konten negatif di dunia maya sehingga membantu kami dalam memilah konten di dunia maya yang memang harus kami verifikasi,” kata Kepala Seksi Infrastruktur Pengendalian Konten Riko Rahmada.
Penyebaran konten-konten negatif tak mengenal waktu. Berangkat dari itu, mesin ais dioperasikan nonstop 24 jam. Begitu pula tim ais. Tim dibagi menjadi tiga kelompok dengan durasi kerja masing-masing delapan jam. Setiap kelompok terdiri atas sedikitnya 30 orang.
Dari awal mesin dibeli dan tim ais yang berisikan anak-anak muda itu dibentuk, sudah lebih dari 1 juta situs yang diblokir. Situs menyebarkan konten-konten yang mengandung unsur pidana dan meresahkan publik.
Data Kemkominfo, sepanjang Agustus 2018 hingga Mei 2019 ada 2.127 konten hoaks yang menyebar melalui media sosial. Mayoritas konten seputar politik dan pemerintahan, yaitu masing-masing 746 hoaks dan 267 hoaks. Ribuan konten ini berhasil digugurkan agar tidak terus-menerus menyebar ke masyarakat.

Grafik yang menunjukkan hasil temuan mesin ais mengenai konten negatif di dunia maya di war room Kementerian Komunikasi dan Informatika, Jakarta, Kamis (13/6/2019).
Sidang MK
Menjelang dimulainya sidang sengketa Pemilu 2019 hari ini, tim ais sudah diwanti-wanti untuk meningkatkan kewaspadaan.
Kemkominfo tidak ingin konten-konten hoaks atau ujaran kebencian kembali merajalela di publik, yang membuat kenyamanan publik terusik.
Seperti diketahui, hoaks dan ujaran kebencian sempat merebak di dunia maya, terutama di media sosial, selama demonstrasi hasil Pemilu 2019 yang berujung kericuhan di sejumlah lokasi di DKI Jakarta, 21-22 Mei 2019. Saking banyaknya hoaks, Kemkominfo kewalahan hingga akhirnya pemerintah memutuskan membatasi akses ke media sosial selama empat hari, 22-25 Mei 2019.
”Waktu itu, hanya dalam hitungan jam sudah ada lebih dari 600 mention di Twitter dan didukung oleh peristiwa demo hingga adanya pembakaran. Setelah mendapat dukungan data dari intelijen serta Polri, kemudian kami mengambil tindakan pembatasan akses media sosial,” ujar Kepala Biro Humas Kemkominfo Ferdinandus Setu.
Dengan pembatasan itu, jumlah penyebaran kabar bohong bisa diredam walau tak sepenuhnya bisa dihentikan.
Sebagai gambaran, jika sepanjang April 2019 ditemukan 501 kabar bohong, pada Mei 2019 jumlahnya turun menjadi 402 kabar bohong. Sementara jika dilihat dari data sejak Januari 2019, munculnya kabar bohong terus meningkat setiap bulan. Peningkatan rata-rata setiap bulan mencapai sekitar 100 kabar bohong.
Menjelang sidang sengketa pemilu di MK, pemerintah kembali membuka kemungkinan pembatasan akses terhadap media sosial.
Baca juga: Pembatasan Media Sosial Jangan Merugikan Hak Publik
Baca juga: Dua Sisi Pembatasan Media Sosial
Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto, Kamis (13/6/2019), mengatakan, pembatasan akses ke media sosial akan ditempuh jika lalu lintas percakapan yang ekstrem meningkat.
”Saya berjanji, kalau keadaannya cukup aman dan tidak ada kegiatan medsos yang ekstrem, pemerintah tidak akan apa-apakan. Itu juga merugikan kepentingan masyarakat,” katanya.
Kendala
Kondisi Kemkominfo yang kewalahan menangkis maraknya kabar bohong atau konten-konten negatif lain di dunia maya sebenarnya tak hanya terjadi saat peristiwa 21-22 Mei 2019. Dalam kondisi normal, sekalipun tim ais sudah berusaha menangkis sebaran konten negatif atau kabar bohong, publik masih kerap menjumpai hal-hal itu banyak beredar di dunia maya.

Ini bisa terjadi karena masih terbatasnya jumlah personel tim ais. Menurut Helmi Setiawan, dengan jumlah personel 100 orang, tim hanya mampu memverifikasi sekitar 20 kabar bohong setiap hari. Padahal, jumlah kabar bohong yang beredar bisa dua kali lipatnya. Idealnya jumlah personel di tim tersebut sebanyak 300 orang.
Namun, Kemkominfo terkendala tempat. Tidak ada ruang kosong yang bisa digunakan untuk perluasan war room.
”Iya, ini kesulitan kami. Dengan personel yang terbatas, hasil verifikasi pun menjadi terbatas,” katanya.
Baca juga: Sembilan Hakim MK Pengawal Demokrasi
Selain itu, mesin ais memiliki keterbatasan. ”Tidak semua terpantau oleh mesin ais. Jadi, harus ada yang kami pantau secara manual,” kata Helmi.
Konten yang disaring mesin ais secara otomatis hanya konten di Twitter dan media massa. Adapun public posts dari media sosial lain, seperti Facebook dan Instagram, harus dipantau manual. Artinya, tim hanya bisa mengikuti tren percakapan yang muncul atau mengandalkan aduan masyarakat.
Aplikasi media sosial Whatsapp lebih sulit lagi dipantau. Tidak mungkin Kemkominfo masuk dan memantau percakapan di Whatsapp karena itu masuk ranah privat. Dengan demikian, Kemkominfo hanya bisa menunggu aduan dari publik untuk bisa bertindak.
”Kami baru masuk mengecek jika ada aduan dari masyarakat. Jadi, peran masyarakat sangat penting,” katanya.

Obyek hukum
Direktur Eksekutif Indonesia New Media Watch Agus Sudibyo melihat tidak hanya pemerintah yang seharusnya sibuk berperang melawan konten negatif atau kabar bohong di dunia maya. Perusahaan penyedia layanan media sosial, misalnya, seharusnya didesak untuk turut bertanggung jawab, khususnya terhadap konten negatif dan kabar bohong yang menyebar di media sosial.
”Perusahaan platform media sosial tidak bisa menyatakan bahwa mereka hanya menyediakan platform tanpa bertanggung jawab terhadap kontennya. Sebab, sebenarnya mereka telah mengambil data kita,” katanya.
Baca juga: MK Jamin Bersidang secara Independen
Maka, dia menganjurkan perusahaan penyedia layanan media sosial yang tidak sungguh-sungguh dalam ”perang” melawan konten negatif untuk diberi sanksi.
”Perusahaan platform tidak cukup hanya menghapus konten negatif atau kabar bohong di platformnya, tetapi harus bertanggung jawab. Setidaknya mereka diberikan denda,” tuturnya.
Berangkat dari hal itu, dia memandang penting untuk menjadikan perusahaan penyedia layanan media sosial sebagai obyek hukum Indonesia.