JAKARTA, KOMPAS — Pemanfaatan peluang perang dagang jangan hanya memosisikan Indonesia sebagai tempat lewat barang dari China ke Amerika Serikat atau sebaliknya. Indonesia tetap harus mengejar nilai tambah melalui perkembangan industri pengolahan.
”Indonesia harus memanfaatkan peluang, tapi barang jangan hanya lewat. Barang harus masuk, diolah di sini, baru diekspor,” kata Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Oke Nurwan di Jakarta, Kamis (13/6/2019).
Oke ditemui seusai menghadiri pelantikan dan pengambilan sumpah serta serah terima jabatan pejabat pimpinan tinggi madya di lingkungan Kementerian Perindustrian (Kemenperin).
Oke menambahkan, pada intinya, dari sisi perdagangan, pemerintah mempermudah kebijakan terkait ekspor. ”Dari 11.000 HS, hanya sekitar 900 HS yang diatur tata niaga ekspornya. Kalau impor hampir 48 persen kami atur, sebanyak 5.200 HS,” katanya.
Menurut dia, hal ini menunjukkan niat pemerintah untuk mempersilakan ekspor. Pengaturan tata niaga ekspor disusun karena ada ketentuan internasional, misalnya terkait larangan ekspor hewan-hewan tertentu.
Oke menambahkan, pemerintah memetakan barang-barang yang dilarang atau dikenai tarif oleh China atau AS dan dapat digantikan atau diisi oleh Indonesia.
”Mekanisme yang tidak diinginkan adalah terjadi circumvention seperti dituduhkan AS terhadap China melalui Vietnam,” kata Oke.
Manfaatkan peluang
Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto menuturkan, perusahaan dapat memanfaatkan peluang perang dagang. ”Dari sisi pemerintah, kami mencoba menarik investasi lebih banyak. Dan beberapa industri melihat kawasan ASEAN lebih stabil dari yang lain,” ujarnya.
Menurut Airlangga, Indonesia harus menciptakan iklim investasi kondusif dengan dukungan insentif menarik agar menjadi pusat manufaktur di kawasan ASEAN.
Terkait kinerja perindustrian, Airlangga menuturkan, kontribusi industri pengolahan mendominasi, yakni 20,07 persen, terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia triwulan I-2019 yang sebesar 5,07 persen.
”Dari segi investasi, kontribusi industri pengolahan 18,5 persen atau senilai Rp 16,1 triliun terhadap penanaman modal dalam negeri dan 26 persen atau senilai 1,9 miliar dollar AS terhadap penanaman modal asing,” katanya.
Salah satu upaya Kemenperin mewujudkan iklim usaha kondusif bagi sektor industri adalah mengusulkan insentif fiskal berupa super deduction tax. ”Fasilitas super deduction tax untuk vokasi hingga 200 persen itu tinggal ditandatangani presiden dan diharapkan dapat langsung diimplementasikan,” kata Airlangga.
Ada pula super deduction tax untuk inovasi atau riset dan pengembangan dengan besaran sampai dengan 300 persen. Pemberian insentif ini diharapkan menjadikan perekonomian Indonesia, khususnya di sektor industri, akan memulai era baru yang berbasis inovasi.
Airlangga mengatakan, program prioritas Kemenperin di tahun 2019 antara lain menetapkan kebijakan industri 4.0 melalui Indonesia Industry 4.0 Readiness Index (Indi 4.0) sebagai acuan kesiapan perusahaan dalam bertransformasi.
”Selain itu, juga penyiapan sumber daya manusia industri dan fasilitas industri, melalui program vokasi dan link and match antara sekolah menengah kejuruan dan industri, serta program e-Smart industri kecil menengah,” ujar Airlangga. (CAS)