"Bali Kecil" Tersembunyi di Bumi Totabuan
Kaki memijak di Kabupaten Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara. Namun, gapura Desa Werdhi Agung bak pintu teleportasi yang membawa ke pedesaan Pulau Dewata. Inilah ”Bali Kecil” yang tersembunyi di Bumi Totabuan.
Gerbang desa ini terletak 300 meter dari Pasar Ibolian di Jalan Trans Sulawesi. Dari Manado, kira-kira jaraknya 220 kilometer.
Hampir semua pekarangan rumah di desa ini ada pura keluarga yang disebut sanggah atau pamerajan. Swastika Hindu terpampang pada pagar-pagar rumah, bersanding dengan ukiran dan ornamen khas Bali di gapura candi bentar rumah. Sekira 200 meter dari gerbang desa, berdiri tugu dengan patung Brahma, sang dewa pencipta, sebagai pucuknya.
Kamis (23/5/2019) siang itu, suasana desa lengang. Hanya terlihat beberapa anak SD dan SMP yang baru saja pulang sekolah, bercakap, dan bercanda dalam Bahasa Bali.
”Desa ini dibangun pada 1963 sebagai permukiman pertama transmigran Bali di Bolaang Mongondow,” kata Sangadi atau Kepala Desa Werdhi Agung, I Ketut Wardana (50).
Bermula dari erupsi Gunung Agung, 17 Maret 1963, dengan kolom erupsi setinggi 4 kilometer. Bencana itu menewaskan 608 orang, belasan ribu lainnya mengungsi.
Pascabencana, datang tawaran dari Bupati Bolaang Mongondow saat itu, Manuel Ikhdar, untuk mengisi lahan yang dikonversi menjadi permukiman di Lembah Dumoga. Berpindahlah 531 keluarga beranggotakan 1.352 orang ke sana. Mereka antara lain berasal dari Kabupaten Karangasem, Buleleng, Badung, dan Bangli.
Berbekal cangkul, sekop, gergaji, dan beberapa alat pertanian sederhana lainnya, hutan lebat di sekitar desa diubah menjadi lahan pertanian dan kebun. Padi, pala, cengkeh, cokelat, kelapa, dan salak tumbuh subur. Mereka juga beternak sapi dan babi.
Inilah mengapa Desa Werdhi Agung sepi siang itu. Semua orang sibuk di sawah, kebun, atau kandang ternak.
Sukses dituai, tecermin dari lahan rumah yang luas dan bangunan beton yang cantik nan kokoh. ”Sejak dulu kami bertani sesuai ajaran orang tua kami. Hingga desa ini dihuni 5.000 orang sekarang, kami terus bertani,” kata Ketut.
Seiring perkembangan jumlah penduduk dan kebutuhan pelayanan publik yang lebih baik, pada 2006 dilakukan pemekaran Desa Werdhi Agung hingga terbentuk Desa Werdhi Agung Selatan. Pemekaran kembali dilakukan pada 2011 hingga terbentuk dua desa baru, yakni Desa Werdhi Agung Timur dan Werdhi Agung Utara.
Sejak transmigrasi pada tahun 1963, semua tradisi dan ritual keagamaan Hindu yang ada di Bali juga dilakukan di Desa Werdhi Agung. Yang paling besar adalah pawai ogoh-ogoh sehari sebelum Hari Raya Nyepi. Warga dari desa lain bisa turut menonton patung raksasa yang diarak di jalan Desa Werdhi Agung ke lapangan di seberang Pura Puseh, salah satu pura besar di sana.
”Kami juga merayakan Galungan dan Kuningan tiap enam bulan sekali. Ada juga Hari Saraswati sebagai hari ilmu pengetahuan dan Siwalatri atau hari penebusan dosa. Di dua hari raya itu, kami puasa hampir 24 jam sembari bersembahyang,” kata Wayan (36), salah satu warga desa.
Warga di sana juga aktif dalam banjar atau kelompok masyarakat untuk menggelar berbagai acara seperti pernikahan hingga upacara saat kematian. Ada 16 banjar di desa itu.
"Setiap anggota kelompok mengumpulkan seikat kayu bakar, bambu, sekarung beras, dan seekor ayam, sesuai kemampuan. Hasil gotong royong jadi bahan mengadakan perayaan bersama,” kata Sang Made Winarsa (34), pemuda setempat yang aktif dalam kelompok Banjar Amertha Winangun.
Di kawasan yang layaknya ”Bali Kecil” di Bolaang Mongondow itu, warga yang sebagian besar memeluk agama Hindu hidup rukun berdampingan dengan warga lain yang beragama Kristen dan Katolik. Di sana selain tiga pura besar, yaitu Pura Puseh, Pura Dalem, dan Pura Tirta, terdapat lima gereja. ”Kami saling mengunjungi saat hari besar keagamaan,” kata Made.
Peluang wisata
Werdhi Agung merupakan eksotisme Bali di Bolaang Mongondow. Semuanya tercermin dalam arsitektur hingga perayaan budaya dan keagamaan. Meski penghidupan warganya bergantung pada pertanian dan peternakan, namun ”Bali Kecil” di Bumi Totabuan itu bukan mustahil menjelma menjadi destinasi wisata, seperti halnya Bali yang jadi primadona wisatawan dalam dan luar negeri.
”Bali Kecil” ini punya potensi wisata. Keberadaan perayaan budaya dan keagamaan, serta berkembangnya sanggar tari pedet dan tari topeng, bisa menjadi daya tarik wisata. Apalagi belum berapa lama warga Desa Werdhi Agung Selatan menemukan potensi wisata alam berupa sumber mata air yang kemudian dijadikan air suci. Sumber air itu kini berada di kompleks Pura Tirta. Para pengunjung pura diperciki air sebelum menaiki undakan tangga pura.
Pemerintah Kabupaten Bolaang Mongondow juga punya rencana pengembangan wisata di Werdhi Agung ”Bersatu”. Desa yang masuk dalam prioritas pengembangan pariwisata kabupaten tahun 2020 itu mendapat hibah gamelan Bali. Pawai ogoh-ogoh di sana masuk kalender pariwisata kabupaten 2020. Untuk mendukung pengembangan wisata itu, Dinas Pariwisata Bolaang Mongondow melatih sejumlah warga desa menjadi pemandu wisata.
Lembaga Enhancing the Protected Area System in Sulawesi (EPASS) bekerja sama dengan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone (TNBNW), juga mendampingi dan membina pengembangan ekowisata di sana. ”Keberadaan sumber mata air tersebut berpotensi menjadi magnet ekowisata.” kata Koordinator Lapangan EPASS Elisabeth Purastuti.
Kebun salak warga juga bisa menjadi daya tarik wisata. Wisatawan bisa mempelajari cara penyerbukan pohon salak sembari memetik buahnya. ”Tugas kami sekarang membimbing warga. Perlu bantuan dinas terkait untuk mengembangkan potensi desa karena warga belum tahu cara memanfaatkannya,” kata Elisabeth.
Adapun homestay dikembangkan di Werdhi Agung Selatan, dekat mata air Pura Tirta. Untuk menopang itu, ditargetkan 180 orang selesai dilatih pada akhir tahun untuk menjadi pemandu wisata di Bolaang Mongondow.
”Desa ini akan menjadi desa wisata. Kami sedang menjajaki kerja sama dengan MM Travel (operator wisata milik Lion Group) untuk membuat paket wisata dari Minahasa Selatan ke Suaka Maleo Tambun, Werdhi Agung, Negeri di Atas Awan, Pulau Tiga, lalu kembali ke Manado,” kata Kepala Dinas Pariwisata Bolaang Mongondow Ulfa Paputungan.
Di luar upaya itu, masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan untuk mewujudkan ”Bali Kecil” ini menjadi destinasi wisata, termasuk jalan desa yang rusak parah.