Pencapaian target ruang terbuka hijau seluas 30 persen dari luas wilayah Jakarta, bisa jadi sulit terwujud mengingat lahan yang terbatas. Aneka inovasi dibutuhkan untuk menambah luasan RTH.
Oleh
J Galuh Bimantara
·4 menit baca
Pencapaian target ruang terbuka hijau seluas 30 persen dari luas wilayah Jakarta, bisa jadi sulit terwujud mengingat lahan yang terbatas. Aneka inovasi dibutuhkan untuk menambah luasan RTH.
JAKARTA, KOMPAS—Berdasarkan Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 1 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah 2030, Jakarta menargetkan luas total ruang terbuka hijau mencapai 30 persen dari luas wilayah DKI pada 2030. Namun, Dinas Kehutanan DKI menilai angka itu tidak realistis.
RTH berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 05/PRT/M/2008 tentang Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan diartikan sebagai area memanjang/jalur dan/atau mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam.
“Target 30 persen untuk Jakarta itu saya melihat tidak memungkinkan, karena lahan-lahan kita sudah padat sekali,” tutur Kepala Seksi Perencanaan Pertamanan Dinas Kehutanan DKI Jakarta, Hendrianto, saat dihubungi pada Sabtu (1/6/2019). Dengan luas Provinsi DKI 64.457 hektar, luas RTH pada 2030 semestinya sekitar 19.337,15 hektar.
Satu persen dari luas total wilayah DKI adalah lebih kurang 650 hektar atau setara delapan taman Monas yang seluas 80 hektar. Sementara itu, menurut Hendrianto, program pembelian lahan untuk RTH DKI hanya menghasilkan rata-rata 40 hektar per tahun.
Di tahun 2016, pakar arsitektur lansekap dari Universitas Trisakti, Nirwono Joga, menyampaikan, luas RTH di DKI Jakarta tahun 1965 masih 37,2 persen, lalu turun menjadi 25,8 persen tahun 1985, dan 9 persen pada 2000. Luas kemudian naik tetapi relatif kecil, yakni 9,8 persen tahun 2010 dan 9,98 persen tahun 2015 (Kompas, 11/2/2019).
Pada 2018, Sekretaris Daerah Provinsi DKI Jakarta Saefullah mengatakan, RTH DKI baru 9,9 persen (Kompas, 14/9/2018). Jika pengadaan lahan tetap rata-rata 40 hektar per tahun, luas RTH pada 2030 hanya akan bertambah 0,74 persen dibanding kondisi 2018.
Namun, Hendrianto menyebutkan ada tim akademisi yang melakukan penginderaan jarak jauh (remote sensing) dan mendapati bahwa tutupan hijau di DKI saat ini hampir 15 persen dari luas wilayah Ibu Kota. Sayangnya, belum tentu semuanya merupakan RTH. “Kemungkinan tajuk pohon di pinggir jalan sudah terhitung sebagai tutupan hijau,” ujarnya.
Pada sisi lain, peta rencana tata ruang dan wilayah yang menjadi lampiran Perda Nomor 1/2012 berdasarkan penghitungan akademisi yang diterima Hendrianto, menunjukkan, lahan-lahan yang ditetapkan sebagai RTH hanya mencakup 12 persen dari luas DKI. Artinya, peta pendukung perda tersebut bertentangan dengan isi perda, khususnya Pasal 6 ayat 5 huruf b bahwa pengembangan RTH untuk mencapai 30 persen luas wilayah daratan DKI.
Meski demikian, lanjut Hendrianto, mengikuti petunjuk peta lebih realistis dibanding mengikuti bunyi pasal di perda. Apalagi, mengupayakan RTH seluas 12 persen pun masih memberikan tantangan besar, mengingat terdapat area lahan yang ditetapkan sebagai RTH tetapi saat ini berfungsi sebagai non RTH, salah satunya untuk kegiatan komersial.
Nirwono Joga atau akrab disapa Yudi berpendapat, lambannya Pemprov DKI menambah luas RTH dipicu oleh orientasi pemprov pada solusi berupa pembelian lahan. Padahal, cara itu memberikan banyak hambatan. Pemprov mesti memastikan pemilik lahan bersedia serta dokumen tanah lengkap dan tanpa masalah. Waktu lebih panjang lagi jika tanah dalam sengketa.
Yudi melihat bahwa dengan orientasi pada pembelian lahan untuk menambah RTH, pemprov punya cara pandang pesimistis-defensif yang berakibat pada menganggap target RTH seluas 30 persen DKI tidak realistis. “Di Jakarta itu selalu bicaranya kendala lahan, harga tanah yang mahal. Itu selalu jadi pembenaran bahwa menambah RTH susah,” kata dia.
Semestinya, cara pandang pemprov menurut Yudi dibalik, jadi optimistis-progresif, mencari solusi di luar pengadaan lahan. Ia merekomendasikan pemprov meminjam lahan kosong milik swasta untuk dibangun jadi RTH. Pemprov tidak perlu mengeluarkan biaya pembelian lahan yang sangat besar, cukup berinvestasi pada pembangunan dan pemeliharaan RTH, mengingat lahan hanya berstatus dipinjam.
Berdasarkan data citra satelit, lanjut Yudi, terdapat potensi penambahan RTH sebanyak 14 persen luas DKI dari sumber lahan pemerintah atau badan usaha yang dikelola pemerintah. Selain itu, ada potensi 16 persen dari lahan-lahan swasta. Yang perlu dilakukan tinggal membuat kebijakan yang tidak berorientsi pada pembelian lahan.
Itu sangat bergantung pada kemauan politik kepala daerah. Kebijakan semestinya bersandar pada pertanyaan, mengapa RTH dibutuhkan, bukan pada bagaimana cara mendapatkan lahan seluas 30 persen.
Kebutuhan warga
Pengunjung Taman Piknik di Kelurahan Pondok Kelapa, Kecamatan Duren Sawit, Jakarta Timur, menyatakan, RTH merupakan kebutuhan warga kota.
Sofian (47), misalnya, mengatakan, kini warga Pondok Kelapa memiliki sumber udara segar yang jaraknya terjangkau. Keberadaan lokasi yang terbuka ini menjadi rujukan bagi warga sekitar untuk berolahraga maupun sekadar melepas penat.
“Kalau tidak ada Taman Piknik, saya bersepeda ke BKT (Kanal Banjir Timur). Itu jauh, anak tidak bisa ikut,” ucap Sofian.
Dengan adanya Taman Piknik, Sofian kini bisa mengajak anaknya bersepeda menuju RTH di Pondok Kelapa. Jalur menuju taman ini juga relatif aman bagi anak-anak.