Belum lagi mendapatkan penanganan hukum terpadu, sumur tambang minyak ilegal di dalam kawasan taman hutan raya di Kabupaten Batanghari, Jambi, kembali meledak, Rabu (12/6/2019) malam. Pemerintah dan aparat penegak hukum diminta segera bertindak terpadu mengatasi masifnya aktivitas liar itu.
Oleh
IRMA TAMBUNAN
·3 menit baca
JAMBI, KOMPAS — Belum lagi mendapatkan penanganan hukum terpadu, sumur tambang minyak ilegal di dalam kawasan taman hutan raya di Kabupaten Batanghari, Jambi, kembali meledak pada Rabu (12/6/2019) malam. Pemerintah dan aparat penegak hukum diminta segera bertindak terpadu mengatasi masifnya aktivitas liar itu.
Kejadian bermula sewaktu pekerja tambang sedang mengambil minyak hasil tambang di kawasan Tahuran Sultan Thaha Syaifuddin, Desa Pompa Air, Kecamatan Bajubang. Tiba-tiba dari mesin penyedot muncul percikan api. Mesin pun terbakar dan api langsung menyambar pipa minyak dan bak penampungan minyak dari hasil pengeboran. Api dan asap membubung tinggi ke udara.
Mengetahui terjadinya kebakaran itu, para pekerja di sekitar lokasi berupaya memadamkan api dengan cara menyemprotkan racun api dan air detergen. Api baru padam sekitar satu jam kemudian.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Batanghari Parlaungan menyesalkan aktivitas tambang minyak ilegal itu tak mendapatkan penanggulangan cepat dan terpadu. Padahal, sudah berulang-ulang ia melaporkan kondisi itu kepada pihak kepolisian, pemerintah provinsi, dan pusat.
”Dalam berbagai kesempatan sudah saya sampaikan bahwa kami (Dinas Lingkungan Hidup Batanghari) tidak punya PPNS (penyidik pegawai negeri sipil) sehingga kami membutuhkan bantuan,” ujar Parlaungan.
Sejak 2016, lebih dari 1.500 titik pengeboran liar minyak marak beroperasi di Kecamatan Bajubang, Kabupaten Batanghari. Lebih dari 500 titik di antaranya masuk ke kawasan taman hutan raya (tahura) dan mengokupasi wilayah kerja pertambangan PT Pertamina (Persero) dalam kawasan tahura, yang produksinya dikerjakan PT Prakarsa Betung Meruo Senami. Selebihnya bertebaran di area penyangga tahura. Lebih dari 8.000 pekerja tambang dan angkut terlibat dalam aktivitas liar itu.
Menurut Parlaungan, sebelum maraknya tambang ilegal, kawasan tahura diperjualbelikan para makelar. Adapun sumur yang terbakar pada Rabu malam itu diklaim sebagai milik HT (54), warga Kecamatan Muara Bulian, Kabupaten Batanghari. Sementara pemilik sumur berinisial T (52) merupakan warga Sekayu, Sumatera Selatan.
Aktivis dari Lembaga Pemantau dan Penyelamat Lingkungan Hidup, Trijoko, menuturkan, kebakaran di lokasi pengeboran minyak ilegal di Bajubang sering terjadi, bahkan kerap menimbulkan korban jiwa. Namun, rangkaian kejadian itu tak menuai jera pekerja tambang. Penanganan dari aparat penegak hukum pun minim.
Oleh karena itu, ia mendorong agar segera dilakukan tindakan terpadu, baik dari aparat maupun pemangku kebijakan di daerah dan pusat.
Kepala Bidang Energi Terbarukan dan Tak Terbarukan Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Provinsi Jambi Zulfahmi menyebutkan, pengeboran ilegal harus ditertibkan. Tidak ada opsi legalisasi tambang rakyat di wilayah itu.
”Legalisasi bagi tambang rakyat hanya dapat diberikan pada sumur-sumur tua peninggalan Belanda,” ujar Zulfahmi.
Legalisasi bagi tambang rakyat hanya dapat diberikan pada sumur-sumur tua peninggalan Belanda.
Hal itu, lanjutnya, mengacu pada Peraturan Menteri ESDM Nomor 1 Tahun 2008. Disebutkan bahwa sumur-sumur tua yang dibuka sebelum tahun 1970 dan tidak lagi beroperasi dapat dikelola masyarakat. Syaratnya, masyarakat membentuk badan usaha. Hasil tambang minyak wajib dijual kepada Pertamina. Saat ini, ada 76 sumur tua yang belum dikelola.
Ia mengatakan telah dibentuk tim untuk penanganan terpadu. Tim itu di bawah koordinasi langsung Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan. Dalam waktu dekat, tim akan kembali bertemu untuk membahas pembagian tugas, mulai dari penanganan di lokasi tambang hingga menghentikan jalur distribusi hasil tambang ilegal itu.