Panti Sosial Kelebihan Penghuni, DKI Jakarta Perlu Gandeng Pemda Lain
Oleh
Ayu Pratiwi/Aguido Adri
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Bertalian dengan penanganan panti sosial di Jakarta yang saat ini dalam kondisi penuh atau kelebihan penghuni, kerja sama antarpemerintah daerah diperlukan. Sebab, sebagian besar warga binaan panti sosial di Ibu Kota berasal dari daerah lain.
Ketua Komisi E DPRD DKI Jakarta Syahrial mengatakan, instansi sosial di Jakarta siap membantu warga berkebutuhan, dari mana pun asalnya. Penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) seperti warga telantar, pengemis, dan gelandangan harus dijangkau dan dibina di panti sosial terkait.
Di sana, mereka direhabilitasi dan diajarkan sejumlah keterampilan yang dapat membantu memperoleh penghasilan, seperti bercocok tanam dan membuat furnitur.
”Orang berkebutuhan, dari mana pun asalnya, kalau sampai di Jakarta harus dibantu. Namun, prioritas bantuan itu tetap untuk warga Jakarta. Jangan sampai panti itu overloaded. Untuk menangani mereka yang berasal dari daerah, diperlukan kerja sama dengan pemerintah daerah untuk membantu menanggulanginya,” kata Syahrial ketika dihubungi di Jakarta, Kamis (13/6/2019).
Dinas Sosial DKI Jakarta menunjukkan, hingga Mei 2019, sejumlah panti sosial sudah kelebihan orang. Sebagai contoh, Panti Sosial Bina Insan Bangun Daya 2, Jakarta Timur, menangani 556 warga binaan sosial. Padahal, kapasitas hanya untuk 500 orang.
Di Sasana Bina Insan Cengkareng, Jakarta Barat, yang juga menangani PMKS jalanan, jumlah warga binaan sosial yang ditangani 390 orang. Angka itu lebih dari kapasitas yang seharusnya untuk 350 orang. Kapasitas setiap panti sosial di bawah Dinas Sosial DKI Jakarta ditentukan sesuai dengan APBD 2019.
Hampir setiap hari satuan polisi pamong praja (satpol PP) menjaring PMKS jalanan dan membawanya ke Panti Sosial Bina Insan. Banyak dari PMKS jalanan ini merupakan warga daerah yang merantau ke Jakarta.
Kepala Seksi Pengembangan Data dan Informasi Dinas Sosial DKI Jakarta Dewi Aryati Ningrum, ketika ditemui pada Rabu (12/6/2019), menyatakan, sebagian besar PMKS yang ditangani di panti sosial itu berasal dari daerah. Diperkirakan jumlah PMKS asal Jakarta sudah tidak banyak. Hal itu berkat program bantuan yang disalurkan pemerintah, seperti program pangan murah, Kartu Jakarta Pintar, dan pengembangan kewirausahaan terpadu.
Memperpanjang kerja sama
Dalam menangani PMKS yang berasal dari luar Jakarta, sebelumnya Pemprov DKI Jakarta bekerja sama dengan dinas sosial daerah asal PMKS untuk pemulangan PMKS ke daerah asalnya. ”Namun, kerja sama itu berakhir pada 2015 dan belum diperpanjang kembali,” kata Dewi.
Pemprov DKI Jakarta bekerja sama dengan dinas sosial daerah asal PMKS untuk pemulangan PMKS ke daerah asalnya. Namun, kerja sama itu berakhir pada 2015 dan belum diperpanjang kembali.
Program kerja sama itu bernama Mitra Praja Utama dan melibatkan tujuh provinsi, yakni Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, DI Yogyakarta, DKI Jakarta, Bali, dan Lampung. Sejumlah program yang dibahas dalam kerja sama itu termasuk masalah orang dengan gangguan jiwa, pariwisata, perdagangan, investasi, ketahanan pangan, dan kebencanaan. (Kompas, 11/6/2019).
Meskipun kerja sama itu sedang diusahakan untuk diperpanjang, Dinas Sosial DKI Jakarta saat ini tetap melaksanakan pemulangan PMKS yang diurus di panti setelah melalui proses penilaian. Mereka dipulangkan dengan angkutan umum bus atau kapal laut sambil didampingi petugas dinas sosial hingga terminal atau stasiun daerah asal. Pemulangan itu dibiayai dinas sosial.
Kesenjangan sosial
Pengamat sosial dari Universitas Negeri Yogyakarta, Amika Wardhana, mengatakan, isu urbanisasi di Ibu Kota adalah sebuah konsekuensi dari kesenjangan sosial yang masih tinggi di Indonesia. Jakarta yang merupakan pusat pemerintahan dan ekonomi akan terus menjadi magnet bagi siapa saja yang ingin mengubah nasib.
Ia menilai, komentar Anies Baswedan, terkait dengan siapa saja boleh datang ke Jakarta, menarik dan perlu dicermati. ”Ia punya visi tentang pemerataan ekonomi untuk memberikan kesempatan yang sama kepada siapa saja,” katanya.
Sebelumnya, Anies mengatakan, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tak akan menggelar operasi yustisi atau pendataan warga baru di stasiun-stasiun atau terminal-terminal pascalibur Lebaran.
Anies juga menyatakan, DKI Jakarta sangat terbuka terhadap kedatangan warga baru yang ingin mencari pekerjaan di DKI Jakarta. Menurut dia, Jakarta memiliki pertumbuhan ekonomi di atas rata-rata nasional sehingga kesempatan warga mendapatkan pekerjaan lebih terbuka (Kompas.id, 10 Juni 2019).
Baginya, pernyataan Anies itu menarik perhatian mengenai isu kesetaraan sosial pada tingkat nasional. Pemerataan ekonomi seharusnya bukan hanya tanggung jawab Pemprov DKI Jakarta, melainkan juga pemerintah daerah.
”Pemerintah daerah mendapat dana desa yang bisa dimaksimalkan untuk pemberdayaan masyarakat. Jika itu dimaksimalkan, tentu akan berdampak positif,” ucap Amika.
Pemerintah daerah mendapat dana desa yang bisa dimaksimalkan untuk pemberdayaan masyarakat. Jika itu dimaksimalkan, tentu akan berdampak positif.
Meski berhasil membawa isu kesetaraan sosial di tingkat nasional, lanjut Amika, Anies perlu memikirkan dampak yang ditimbulkan dari keterbukaan setiap warga yang datang ke Jakarta. Dampak yang timbul dari pendatang tanpa memiliki kompetensi bisa membuat mereka melakukan segala cara untuk bertahan hidup.
Akhirnya, tingkat kriminal meningkat, hunian ilegal bertambah. Sejumlah pendatang baru tanpa keahlian juga rentan menambah permasalahan PMKS. Mereka sewaktu-waktu akan dijangkau petugas dinas sosial dan dimasukkan ke panti sosial. Sementara itu, panti sosial memiliki daya tampung yang terbatas.
”Itu menjadi tantangan pemerintahan Anies sekarang. Mereka akan menguras energi dan dana untuk mengurus itu,” ujar Amika.