Kelurahan Sawah Tanpa Sawah
Di Kecamatan Ciputat, Kota Tangerang Selatan, terdapat dua kelurahan bernama Kelurahan Sawah Lama dan Kelurahan Sawah Baru. Sesuai namanya, daerah itu dulu dipenuhi oleh sawah. Namun, kini, sawahnya hanya tinggal nama. Sawah beralih fungsi menjadi permukiman dan pertokoan.
Kamis (13/6/2019) siang, Ahmadi (45) sibuk menyiapkan hidangan untuk tamu yang datang di warung bakmi miliknya. Kesibukannya kini berbeda 180 derajat dari enam tahun lalu. Tak pernah terbayangkan sebelumnya, Ahmadi dulu yang hampir setiap hari bermandikan lumpur di sawah dan ladang kini lebih sibuk di dapur masak.
”Saya dulu punya sawah dan kebun, tetapi sudah dijual. Tanah itu dibeli pengembang perumahan. Sebagian uangnya saya jadikan modal usaha bakmi ini,” ujar Ahmadi, ditemui di warung bakminya di Jalan Cendrawasih Raya, Kelurahan Sawah Baru.
Ahmadi adalah satu dari sekian banyak petani yang berganti profesi seiring beralih fungsinya lahan pertaniannya. Dia bercerita, keluarganya pernah memiliki tanah seluas sekitar 150 meter persegi di sekitar Jalan Cendrawasih. Dulu lahan itu digunakan keluarganya untuk agrobisnis seperti menanam padi dan tanaman hortikultura lain seperti pisang dan jagung.
”Dulu waktu kecil, saya juga suka main bersama sepupu di sawah,” kenangnya.
Pada 2013, pihak pengembang perumahan datang dan membeli lahannya. Setelah negosiasi, akhirnya keluarga Ahmadi menjual tanah itu sekitar Rp 4,5 juta per meter persegi.
Mereka mendapatkan uang Rp 675 juta. Sebagian uang itu digunakan untuk membuka warung bakmi ayam sekitar 50 meter dari bekas tanahnya dulu. Kini, sawah milik keluarga Ahmadi dan sawah-sawah milik tetangga-tetangganya telah disulap pengembang perumahan menjadi sebuah kompleks perumahan.
”Kadang saya suka terpikirkan saja, itu sawah sudah dijual dan berubah wujud. Cepat saja gitu perubahannya,” ujar Ahmadi.
Ia mengatakan, dahulu Kelurahan Sawah Baru dan Kelurahan Sawah Lama adalah satu wilayah bernama Kelurahan Sawah. Sesuai data dari kantor Kelurahan Sawah Baru, daerah itu baru dipecah menjadi dua pada 1980.
Seperti namanya, Ahmadi mengatakan, Kelurahan Sawah dulu dipenuhi bentang sawah. Daerah itu termasuk subur lantaran dilewati Sungai Sawah yang mengalir dari hulunya di Situ Sasak Pamulang.
”Dulu di sini masih kampung. Masih sepi. Masih banyak sawah dan kebun,” kata Ahmadi mengenang.
Ia mengatakan, daerah itu mulai ramai ketika kedatangan pengembangan perkotaan yang besar pada dekade 1990-an. Kedatangan pengembang itu mendorong pembangunan jalan-jalan di perkampungan dan pembangunan sarana prasarana lainnya.
Daerah itu semakin ramai pada awal dekade 2000-an seusai beroperasinya Jalan Tol BSD-Bintaro yang kini berubah nama menjadi Jalan Tol Serpong. Mekarnya Kota Tangerang Selatan dari Kabupaten Tangerang turut mendorong percepatan pembangunan di sana.
Namun, lanjut Ahmadi, baru sekitar lima tahun terakhir daerah itu menjadi primadona pengembang. Hal ini lantaran rampungnya revitalisasi stasiun dan jalur kereta komuter di Stasiun Jurangmangu dan Stasiun Sudimara.
”Wah, daerah ini menjadi incaran betul. Soalnya ada jalan tol dan kereta komuter, lalu dekat dengan Bintaro yang sudah menjadi perkotaan. Cepat banget perkembangannya,” ujar Ahmadi.
Perkembangan itu membuat alih fungsi lahan pun bergerak cepat. Satu per satu sawah berganti menjadi rumah. Termasuk sawah milik keluarga Ahmadi.
Sekretaris Kelurahan Sawah Baru Agam Sagiana mengatakan, lokasi Tangerang Selatan sebagai kota penyangga Ibu Kota memang strategis sehingga menarik banyak pengembang perumahan. Di antara tujuh kecamatan di Tangerang Selatan, Kecamatan Ciputat termasuk paling strategis karena dekat dengan stasiun kereta komuter dan jalan tol.
”Akhirnya tanah-tanah dan sawah di sini berubah menjadi perumahan dan pertokoan,” ujar Agam.
Tanda-tanda sawah akan terus beralih fungsi masih akan terus terjadi. Yang teranyar lahan sawah terakhir yang tersisa, menurut Agam, sudah dijadikan jalan oleh pengembang.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Kota Tangerang Selatan, total luas panen padi sawah Kecamatan Ciputat pada 2010 seluas 107 hektar dengan produktivitas 59,75 kuintal per hektar. Tujuh tahun berselang total luas panen padi sawah Kecamatan Ciputat jeblok menjadi seluas 14,4 hektar dengan total produktivitas 81,9 ton dalam setahun.
Bukan hanya di Kecamatan Ciputat, luas lahan sawah secara keseluruhan di Tangerang Selatan memang menyusut. Pada 2010 luas lahan sawah mencapai 427 hektar. Pada 2017, luas lahan susut menjadi sepertujuhnya, yaitu menjadi 75,90 hektar.
Makin menyusutnya lahan sawah sejalan dengan makin meningkatnya jumlah penduduk Kota Tangerang Selatan. Pada 2000 jumlah penduduk Tangerang Selatan 1,29 juta jiwa, sedangkan tahun 2017 jumlah penduduk menjadi 1,64 juta jiwa.
Peran pemerintah
Pengamat tata kota Nirwono Joga menilai, perubahan fungsi lahan sawah menjadi lahan non-pertanian disebabkan tiga faktor.
Faktor pertama adalah tidak disiplinnya pemerintah kota menegakkan rencana tata ruang wilayah.
”Daerah sawah atau ruang terbuka hijau tidak seharusnya beralih fungsi. Seharusnya tetap dipertahankan sesuai fungsi sebenarnya,” ujar Nirwono.
Nirwono menambahkan, pemkot juga berperan dalam faktor kedua, yaitu pemkot dinilai hanya mengejar pendapatan asli daerah (PAD) daripada menjaga lahan pertanian.
”Alih fungsi sawah menjadi fungsi komersial itu banyak menghasilkan PAD, mulai dari proses perizinan hingga pembayaran pajak. Padahal, ada fungsi tata ruang yang tidak sesuai di sana,” ujar Nirwono.
Faktor ketiga, lanjut Nirwono, pemkot juga dinilai tidak punya visi pembangunan kota berkelanjutan yang jelas. Ia mengatakan, banyak kota di dunia itu justru sedang mengembangkan pertanian kota (urban farming). Sebab, masa depan berkelanjutan sebuah kota ada pada lahan pangannya.
Ia bahkan mencontohkan, di Singapura, misalnya, sedang dikembangkan pertanian di ruang bawah tanah maupun di dinding-dinding gedung vertikal. Sementara di Indonesia masih boros dan masif melakukan alih fungsi lahan.
Fenomena menyusutnya lahan pertanian di perkotaan tidak hanya terjadi di Tangerang Selatan, tetapi juga di banyak kota Indonesia.
Nirwono mengatakan, pemkot punya peran penting untuk membenahi ini. Tata kota yang ideal adalah kota yang bisa memenuhi sendiri pasokan pangannya dan disiplin dalam menjaga RTRW sesuai dengan fungsinya.
”Jangan sampai sawah hanya tinggal nama,” ujar Nirwono.