Industri galangan kapal Indonesia dinilai belum mampu menggarap pasar. Kekurangan daya dukung menjadikannya kalah bersaing dengan kompetitor di luar negeri.
Oleh
Cyprianus Anto Saptowalyono
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Industri galangan Indonesia hingga saat ini belum mampu optimal menggarap pasar kebutuhan kapal. Kekurangan daya dukung menjadikan daya saing industri galangan dalam negeri kalah dibandingkan kompetitor di luar negeri.
”Angka impor selama ini menunjukkan bahwa Indonesia sangat membutuhkan kapal. Rata-rata 1.000 kapal per tahun, baik baru maupun bekas,” kata Ketua Umum Ikatan Perusahaan Industri Kapal dan Lepas Pantai Indonesia (Iperindo) Eddy Kurniawan Logam di Jakarta, Rabu (12/6/2019).
Iperindo melihat kebutuhan kapal dari pihak swasta masih besar. Sejak pemberlakuan asas cabotage dari 2006 sampai 2019, Indonesia sudah mengimpor sekitar 16.000 unit kapal. Jenisnya beragam, mulai tanker, kapal niaga, kapal penumpang, hingga kapal kontainer.
Sejak pemberlakuan asas cabotage, dari 2006 sampai 2019, Indonesia sudah mengimpor sekitar 16.000 unit kapal.
”Pada 2018, impor kapal kita setahun rata-rata di atas 1 miliar dollar AS, menduduki posisi ketujuh dari barang-barang impor,” ujar Eddy.
Menurut Eddy, perubahan perilaku pembelian—dari kapal bekas maupun baru impor menjadi kapal yang dibangun di dalam negeri—akan mengurangi defisit, menciptakan lapangan kerja, dan menumbuhkan industri maritim Tanah Air.
Data Kementerian Perindustrian (2018) menunjukkan, China, Korea Selatan, dan Jepang saat ini mendominasi pesanan pembangunan kapal baru. Pembangunan kapal baru di China pada 2017 sebesar 29,184 juta tonase kotor (gross tonnage/GT), Korea Selatan 25,468 juta GT, dan Jepang 14,733 juta GT.
”Apabila kita ingin bersaing dengan kapal-kapal besar produksi China, Korea Selatan, dan Jepang, ya, pasti harus ada suatu kebijakan untuk membuat industri galangan Indonesia kompetitif,” katanya.
Eddy mencontohkan, saat ini bea masuk impor kapal nol persen. Di sisi lain hingga saat ini industri galangan kapal masih menunggu agar bea masuk impor komponen kapal dinolkan dari yang sekarang 5-12,5 persen.
”Iperindo dalam dua tahun terakhir sudah memetakan komponen mana yang belum ada atau belum bisa dibuat secara efisien di dalam negeri. Biarkan impor komponen seperti itu berjalan dulu, tetapi tidak selamanya,” ujar Eddy.
Saat galangan kapal mampu berproduksi optimal sehingga menumbuhkan industri komponen lokal, barulah komponen impor (yang substitusinya sudah mampu dibuat secara efisien di dalam negeri) dikenai bea masuk.
Eddy mengatakan, hal lain yang selama ini menjadikan kapal produksi dalam negeri lebih mahal dibandingkan kapal impor adalah suku bunga bank. Industri galangan kapal dalam negeri masih menanggung bunga bank 11-13 persen. ”Sementara di China hanya 5-6 persen dan bahkan di Jepang lebih rendah lagi; yaitu 1-2 persen,” ujarnya.
Butuh kesamaan cara pandang berbagai pemangku kepentingan untuk mendukung industri.
Peneliti senior di Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, TM Zakir Machmud, mengatakan, dibutuhkan kesamaan cara pandang berbagai pemangku kepentingan untuk mendukung industri.
”Ini karena banyak hal yang dibutuhkan industri itu tergantung kementerian atau lembaga lain. Soal bea masuk tergantung Kementerian Keuangan. Soal suku bunga tergantung perbankan,” kata Zakir.
Zakir mengatakan, tantangan daya saing yang dialami industri galangan kapal pun dihadapi berbagai sektor industri lain. Tanpa ada sinergi lintas pihak, persoalan daya saing industri diyakini akan terus terjadi.