Berbuatlah, Sebelum Gajah Tinggal Jadi Cerita
Kelahiran dan kematian adalah rangkaian kehidupan. Dalam proses itu, alam menyediakan sumber daya untuk mendukung kehidupan. Namun, sayangnya, dominasi manusia yang serakah membuat daya dukung alam menjadi berkurang dan semakin habis.
Sekarang ini beberapa spesies secara bertahap sedang berjalan menuju arah kepunahan. Sebut saja gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus). Satwa raksasa darat Indonesia itu berada di titik kritis dalam daftar merah spesies terancam punah versi Lembaga Internasional untuk Konservasi Alam dan Sumber Daya Alam (International Union for Conservation of Nature and Natural Resources/IUCN).
Penyebabnya hanya satu, hutan sebagai rumah gajah sumatera kian menciut. Keserakahan manusia merebut tanah hutan adalah pemicunya. Apakah pemerintah tidak peduli dengan gajah?
Rasa peduli itu sudah ada, tetapi belum cukup menyelamatkan gajah dalam jangka panjang. Rabu (29/5/2019), seekor gajah betina di kantong ekosistem Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN), Riau, ditemukan mati secara mengenaskan. Di tubuh bagian belakang terdapat luka parah yang sudah membusuk.
Menurut Ketua Yayasan TNTN Yuliantoni, besar kemungkinan gajah itu mengalami infeksi serius yang menyebabkan kematian. Peristiwa kematian gajah di TNTN tentu menimbulkan kekhawatiran. Bayangkan, hanya dalam satu dekade, areal TNTN seluas 83.000 hektar menciut tinggal 15.000 hektar karena alih fungsi dan perambahan.
Jangan bayangkan TNTN sebagai hutan lagi. Pemandangan di sana sudah lebih layak disebut sebagai perkebunan kelapa sawit besar. TNTN sangat mudah dijangkau. Setiap hari terdapat dua bus asal Medan yang masuk dan keluar dari lokasi dimaksud.
Permukiman manusia terdapat di seluruh penjuru TNTN. Sarana dan prasarana jalan terbentuk bagaikan jaring laba-laba. Pasar, masjid, gereja, sekolah, bengkel, rumah makan, dan berbagai macam usaha ada di dalam areal perambahan TNTN. Namun, kematian gajah itu bukanlah tragedi semata.
Menurut Kepala Balai TNTN Halasan Tulus Hutahuruk, dalam 1,5 tahun terakhir, ternyata baru satu gajah yang mati. Kematian itu sangat sedikit jika dibandingkan dengan periode 2006-2010 sebesar 50 ekor.
Di sisi lain, kata Halasan, selama dua tahun ini terdapat kelahiran 11 gajah. Hal itu ditandai dengan fakta gambar tangkapan kamera jebak yang dipasang di berbagai sudut TNTN. Kalau saja ada 1 gajah mati dan 11 yang lahir, ada penambahan 10 gajah baru.
Perubahan signifikan
Apa artinya? Artinya, telah terjadi perubahan signifikan di dalam ekosistem TNTN yang rusak parah. Menurut Yuliantoni, hal itu disebabkan penanganan konflik antara gajah dan manusia sudah jauh lebih baik. Dulunya, warga perambah kerap menggunakan racun untuk membalas tindakan gajah yang memakan tanamannya. Dulu gajah dianggap hama, tetapi sekarang tidak lagi.
Selain itu, kata Yuliantoni, perusahaan pemegang konsesi hutan tanaman industri di sekeliling TNTN semakin peduli. Mereka mempertahankan kawasan hutan lindung di areal konsesi sekaligus menanam tanaman pakan gajah di jalur jelajahnya. Kemungkinan lain, gajah-gajah di TNTN semakin mampu beradaptasi di tengah impitan dan serangan manusia di rumahnya sendiri.
Lagi pula, dalam beberapa tahun terakhir, persinggungan dengan manusia semakin sedikit karena kelapa sawit perambah sudah tumbuh besar dan tidak lagi menjadi santapan gajah. Dengan sendirinya, konflik menjadi berkurang. Perambah pun lebih dapat hidup berdampingan dengan gajah.
Namun, apa pun penyebabnya, peningkatan jumlah kelahiran adalah pertanda perbaikan habitat di dalam TNTN. Walaupun belum sebesar di masa lampau yang mencapai ribuan gajah, upaya penyelamatan sudah lebih baik.
Perbaikan TNTN sebenarnya dapat berlangsung lebih cepat. Sayangnya, rencana besar pemerintah (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) merelokasi belasan ribu perambah di areal TNTN belum mampu direalisasikan. Padahal, target pelaksanaan mestinya sudah selesai tahun ini.
Kantong gajah
TNTN adalah kantong gajah terbesar di Riau. Setidaknya 150 gajah hidup di sana, dari total 200-an gajah se-Riau. Kantong besar kedua berada di Suaka Margasatwa Giam Siak Kecil di Kabupaten Bengkalis. Jumlahnya sekitar 60 ekor. Sisanya tersebar di beberapa kantong kecil lain dengan kelompok di bawah 10 ekor.
Dulunya, gajah di kantong Giam Siak Kecil tidaklah sebanyak saat ini. Sampai tahun 2015, jumlah gajah di sana sekitar 40 ekor. Jumlahnya langsung meningkat pesat setelah pada 2016, 19 gajah dari kantong Suaka Margasatwa Balai Raja bermigrasi ke sana.
Penyebab migrasi gajah Balai Raja adalah masalah klasik, yaitu perambahan besar-besaran. Dari total 18.000 hektar Suaka Margasatwa Balai Raja, kini tersisa hanya 250 hektar. Secuil hutan itu selamat karena arealnya bersatu dengan hutan (lindung)
Talang, konsesi PT Chevron di Duri, yang dijaga ketat tim pengamanan perusahaan. Pada 2007, di kantong gajah Balai Raja masih terdapat 40-an gajah. Namun, dalam tempo delapan tahun menyusut sampai 25 ekor. Tingkat konflik gajah dengan manusia sangat tinggi. Setiap tahun selalu jatuh korban di kedua pihak.
Saat ini di kantong Balai Raja hanya terdapat enam gajah yang selalu menyusuri koridor Pematang Pudu di utara ke hutan Talang di selatan. Kelompok kecil itu bolak-balik sepanjang tahun. Gajah-gajah tersebut bertahan dan beradaptasi di tengah kepungan ladang kelapa sawit yang semakin meluas dan tidak tertahankan.
Untungnya ada Zulhusni dan kawan-kawan dari beberapa LSM yang getol membela kepentingan gajah di sana. Konflik gajah Duri pun berkurang. Namun, Duri adalah kota yang berkembang pesat. Sekarang ini pemerintah pusat sedang membangun Jalan Tol Pekanbaru-Dumai yang membelah jalur jelajah gajah. Di saat sama, Pemerintah Kabupaten Bengkalis juga ingin menerabas jalur gajah untuk membangun jalan lingkar luar. Dua proyek itu jelas akan merusak habitat gajah Balai Raja.
Solusinya, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat serta PT Hutama Karya sebagai badan usaha jalan tol menyepakati pembangunan jembatan underpass (perlintasan di bawah jalan tol) khusus untuk gajah. Tidak tanggung-tanggung, 5 jembatan bakal dibangun.
Yang belum memiliki kejelasan adalah jalan lingkar luar Kota Duri. Kepala Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Riau Suharyono tegas menolak rencana proyek itu. Sebab, jika Pemkab Bengkalis membangun underpass di jalur jelajah gajah, pengamanan jalan lingkar luar sangat berbeda dengan jalan tol yang punya akses terbatas. Habitat gajah pasti rusak.
Masih ada satu persoalan lagi yang bakal membuat problem pelik pada masa depan. Sebanyak 19 gajah yang bermigrasi ke Giam Siak Kecil tiga tahun lalu sewaktu-waktu pasti akan kembali ke habitat awal di Balai Raja. Perjalanan gajah mudik itu pasti melewati atau memotong jalur Jalan Lintas Timur Sumatera yang sekarang bertambah ramai.
Sebaiknya pemerintah mulai memikirkan membangun jalur underpass gajah di koridor gajah yang membelah jalan lintas Sumatera. Tujuannya agar gajah dari Giam Siak Kecil dapat berlalu lalang ke Balai Raja dan begitu pula sebaliknya.
Pembangunan jalur khusus gajah itu patut dilakukan sesegera mungkin. Pemerintah mesti semakin peduli terhadap kepentingan populasi gajah yang semakin sedikit. Jangan sampai, gajah-gajah itu punah.
Sir David Frederick Attenborough, salah satu penyiar dan pencinta alam paling andal di dunia dari Inggris, pernah berkata, ”Apakah kalian senang apabila anak cucu kita nanti hanya melihat gajah dari foto-foto di buku?”
(SYAHNAN RANGKUTI)