Vietnam Pemenang Perang Dagang AS-China, Indonesia Belum Berhasil
Oleh
M Paschalia Judith J
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS -- Pengalihan impor dari Amerika Serikat (AS) dan China akibat tensi perang dagang dua negara itu memberikan keuntungan tertinggi bagi Vietnam. Sementara Indonesia belum dapat memanfaatkan atau menangkap peluang dari situasi perang dagang AS-China tersebut.
"Saya belum melihat eksportir Indonesia memanfaatkan (pengalihan impor) itu. Lonjakan permintaan dari China maupun AS belum ada," kata Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Oke Nurwan, Rabu (12/6/2019) di Jakarta.
Komentar Oke untuk menanggapi hasil riset Nomura yang dipublikasikan pada Juni ini. Nomura mendata 30 negara memperoleh keuntungan tertinggi dari pengalihan perdagangan akibat perang dagang AS-China. Lima di antaranya dari Asia Tenggara, yaitu Vietnam, Malaysia, Singapura, Thailand, dan Filipina.
Nomura merupakan lembaga keuangan skala internasional dan berkantor pusat di Asia. Kontributor laporan Nomura terdiri dari Head of Global Macro Research sekaligus Co-head of Global Markets Research Nomura Rob Subbaraman, Chief India Economist Nomura Sonal Varma, dan Asia ex-Japan Macroeconomic Research Analyst Nomura Michael Loo.
Dalam daftar 30 negara yang disebutkan Nomura, Vietnam menempati posisi pertama dan Malaysia di posisi ketiga teratas. Sedangkan posisi kedua ditempati Chile, Amerika Selatan. Menurut Nomura, proyeksi tambahan nilai dagang Vietnam karena pengalihan impor akibat situasi perang dagang mencapai nilai tertinggi, yakni setara dengan 7,9 persen dari produk domestik brutonya.
Chile, Argentina, Hong Kong, Meksiko, Korea Selatan, Brasil, Kanada, Afrika Selatan, Arab Saudi, Portugal, Australia, Perancis, India, Mesir, Kolombia, Norwegia, Swedia, Turki, Jerman, Italia, Inggris, Rumania, Rusia, Ceko, dan Polandia termasuk 30 negara yang dipublikasikan Nomura. Secara keseluruhan, peralihan impor China dan AS berdampak pada rantai pasok global.
AS cenderung mengalihkan impornya ke negara-negara di benua Asia. Adapun komoditas terbanyak yang diimpor Amerika Serikat dan dialihkan dari China meliputi barang-barang elektronik, permesinan, dan furnitur.
Sebaliknya, China cenderung mengarah ke kawasan Amerika Latin. Impor terbanyak China yang dialihkan dari AS ke negara-negara tersebut meliputi antara lain kacang kedelai, pesawat dan komponennya, serta biji-bijian.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, ekspor Indonesia ke China sejak Januari hingga April 2019 turun dari 8,16 miliar dollar AS menjadi 7,27 miliar dollar dibandingkan tahun lalu. Ekspor ke AS juga turun dari 5,85 miliar dollar menjadi 5,54 miliar dollar.
Menurut Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita, Indonesia mesti meningkatkan kualitas produk ekspornya sehingga lebih berdaya saing di tingkat internasional. Selain kualitas, dia mengharapkan, margin keuntungan produk tersebut diturunkan agar harganya menarik bagi pasar global.
Sekalipun demikian, Indonesia juga tetap mengambil kesempatan dalam pengalihan impor antara China dengan AS. Enggartiasto mencontohkan, pihaknya meningkatkan impor kapas dari AS. Sebagai balasan, Indonesia meminta AS menaikkan dan memprioritaskan impor produk tekstil Indonesia.
Menurut Wakil Ketua Umum Bidang Hubungan Internasional Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Shinta Widjadja Kamdani, Indonesia masih berpeluang untuk mengekspor produk konsumsi (consumer products) seperti tekstil, perikanan, alas kaki, dan furnitur yang sebelumnya diimpor oleh AS dari China. Namun, eksportir Indonesia mesti memacu skala produksi serta efisiensi dan efektivitas produksi dalam negeri agar lebih berdaya saing.
Di sisi lain, Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (UI) Fithra Faisal berpendapat, pemerintah mesti lebih agresif dalam menyederhanakan regulasi dan proses birokrasi sehingga mampu memberikan kepastian berusaha dan konsistensi kebijakan pada pelaku industri. Langkah ini merupakan solusi jangka pendek agar Indonesia menjadi pilihan alternatif basis produksi China atau AS selama perang dagang.
Secara jangka panjang, Fithra mengatakan, produktivitas daya saing sumber daya manusia yang tidak membebani ongkos produksi menjadi sorotan untuk segera dibenahi. "Pertumbuhan produktivitas tenaga kerja jauh lebih lambat dibandingkan kenaikan upah. Hal ini membuat ongkos produksi di Indonesia tinggi," katanya.