Sekitar 20 orang, mungkin lebih, meninggal karena gelombang udara panas (heatwave). Awal Juni dibuka dengan cerita ”teror” iklim. Sekitar 15 monyet mati di hutan, diperkirakan menjadi korban konflik memperebutkan air. Jalan harus disiram air agar aspal tidak meleleh. Seorang pria di India bagian selatan tewas karena menegur orang yang mengambil air banyak-banyak di tengah kekeringan.
Di sebagian wilayah barat laut India, suhu udara mencapai rekor, lebih dari 50 derajat celsius—sebagai catatan, suhu udara Jakarta yang dikeluhkan panas menyengat berkisar 34-37 derajat celsius. Berita bertubi mengabarkan tentang India yang ”terpanggang”. Gelombang panas sebenarnya bukanlah fenomena baru karena merupakan bagian dari sistem iklim dunia.
Apa yang terjadi awal bulan ini di India telah dituliskan dalam laporan Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) pada Oktober 2018. Hal itu untuk memenuhi permintaan dari lembaga Konvensi Kerangka Kerja Perubahan Iklim PBB (UNFCCC) guna memberikan gambaran apa yang bakal terjadi saat suhu Bumi bertambah 1,5 derajat celsius di atas suhu Bumi di era pra-Revolusi Industri.
Selain dampak gelombang udara panas, penyakit tropis pun akan meluas ke lintang-lintang tinggi, ke daerah sub-tropis. Lebih banyak manusia akan terpapar penyakit-penyakit malaria, chikunguya, penyakit dari virus Ziaka, dan penyakit lain dengan vektor nyamuk karena habitat nyamuk meluas akibat semakin hangatnya suatu wilayah.
Gelombang udara panas yang mematikan bisa menyerang lebih dari 350 juta manusia karena kota-kota besar, seperti Shanghai (China) dan Lagos (Nigeria), akan mengalami gelombang udara panas ini pada 2050. Jika suhu naik 2 derajat celsius, Karachi (Pakistan) dan Kalkutta (India) diperkirakan mendapat serangan udara panas setiap tahun separah kejadian tahun 2015—ketika lebih dari 2.500 orang meninggal.
Ketika ancaman telah nyata di depan mata, ternyata manusia tak juga bergerak cepat untuk berubah. Yang dibutuhkan adalah perubahan drastis. Kabar tentang perubahan iklim sudah terungkap sejak lebih dari tiga dekade, tetapi hingga kini tidak ada gerakan perubahan yang berarti untuk mengatasinya.
Aronoff menuliskan opininya di The Guardian bahwa para miliuner, investor pemilik perusahaan, menunjukkan keengganan berganti haluan. Kelompok pemikir Australia dari Breakthrough National Center for Climate Restoration dengan lugas mengatakan, ”Kita semua akan mati”. Kemungkinan yang bakal terjadi pada tahun 2050 jika dalam 10 tahun ini dunia gagal mencapai kondisi netral-karbon, berarti tak terjadi penambahan gas rumah kaca di atmosfer. Dengan kata lain, kita saat ini sedang menyongsong ”kepunahan” kita manusia.