Pesta Jemaah Band Metal di Pengujung Libur Lebaran
Masa libur Lebaran identik dengan acara kumpul-kumpul, baik dengan keluarga besar, maupun dengan teman-teman lama. “Keluarga besar metal” juga berkerumun di acara seperti itu. Acaranya di gedung olahraga, bintang tamunya band dari Eropa.
“Minal aidin wal faidzin. Selamat Lebaran bagi yang merayakan. Ini lagu lama dari kami, ‘Human Suffering’,” ujar Nino Aspiranta dari atas panggung. Dia adalah vokalis band death metal lawas dari Jakarta bernama Trauma. Kaus band Deicide yang ia kenakan makin seram dengan aksesoris paku-paku di kedua lengannya.
Trauma adalah salah satu penampil di acara festival rock dan metal bernama The Karnival. Acaranya dihelat oleh kolektif Holy Labels di Gedung Olah Raga Universitas Muhammadiyah Surakarta, Kabupaten Sukoharjo, Jateng, tepat di penghujung liburan Lebaran, Minggu (9/6/2019).
Karena masih bersuasana Lebaran, nyaris semua penampil mengucapkan selamat Idul Fitri, serta tak lupa memohon maaf. Atmosfernya jadi agak janggal, namun menyenangkan. Betapa tidak, para jemaah metal ini bertongkrongan sangar—baju hitam-hitam, rambut gondrong, sebagian bertato, kalau nyanyi kayak orang marah-marah—tapi tulus memberi dan meminta maaf kepada sesama sembari tersenyum. Terlihat marah, tapi sebenarnya ramah.
Contohnya adalah band Trauma itu. Lagu-lagu bergaya death metal yang mereka usung umumnya bertema hal-hal seram, seperti kematian, penderitaan, hingga siksa neraka. Mereka mengusung kengerian dalam bentuk ekstrem; musik yang bising dan ngebut, dan cara bernyanyi yang menggeram. Genre ini tergolong extreme metal.
Rupa metal yang ekstrim lainnya juga dipertontonkan band Misanthropic Imperium dari Malang, Jatim. Throne, vokalisnya yang juga basis, tampil bertelanjang dada. Wajahnya dipupur putih dan hitam. Karena hawa pengap, riasannya agak meluntur, tapi malah jadi lebih sangar.
Setelah kuartet black metal dari Malang itu, giliran band Metallic Ass dari Yogyakarta yang main. Mereka memainkan musik thrash metal. Pengaruh dari empat dedengkot genre ini—Metallica, Megadeth, Slayer, dan Anthrax—terdengar di banyak bagian lagu-lagu Metallic Ass. Menyenangkan.
“Mohon dimaafkan lahir dan batin, kecuali untuk drummer kami karena dia sering salah (ketukan),” seloroh vokalis Denizone. Dalam lagu-lagunya, mereka membubuhkan humor satire. Kemarin, mereka membawakan lagu seperti “Asu! Parkirnya Sepuluh Ribu!”, “Thrash Metal 1983”, dan “Distorsi Menendang Bokong”.
Musik racikan Metallic Ass sebenarnya enak betul untuk lari-larian mengitari arena, atau mengentak-entakkan kepala. Tapi hanya segelintir penonton saja yang melakukan itu. Sebagian lainnya duduk-duduk berlindung dari matahari yang masih terlalu terik di luar gedung.
Respons lebih seru terlihat ketika band tuan rumah, Down for Life naik panggung. Stephanus Adjie, vokalisnya, meminta kerumuman penonton membelah di sisi kiri dan kanan. Kerumuman itu lantas bertubrukan ketika musik mengentak kembali di lagu “Pasukan Babi Neraka”, sebuah anthem untuk para pendengar setia Down for Life.
Walau tergolong akamsi alias “anak kampung sini”, rupanya itu adalah kali pertama mereka manggung di lingkungan kampus tersebut. “Salut buat The Karnival yang bikin acara seperti ini, halal bihalal di sini. Selamat Idul Fitri,” ucap Adjie, yang juga mengenalkan gitaris ketiga mereka.
Selepas Down for Life, acara diistirahatkan. Jika mengikuti jadwal, setelah break itu adalah giliran buat band Jecovox, lantas jeda lagi. Namun, masa jeda itu digabung sekaligus, sehingga Jecovox tampil sekitar jam 19.00.
Makin malam, penonton makin ramai. Arena penonton seluas tiga perempat lapangan basket itu mulai penuh, walaupun tidak sesak. Jecovox, band bentukan Roy Jeconiah, bekas vokalis Boomerang tampil penuh tenaga, seolah menanggung tugas menghangatkan lagi gairah penonton setelah jeda sekitar sejam itu.
Dipangkas
Malam sepertinya milik kerumuman rock lawas. Setelah Jecovox yang juga membawakan lagu-lagu lama Boomerang, tampil band asal Semarang, Powerslaves. Heydi Ibrahim dan kawan-kawan memainkan lagu asyik “Kereta Rock n Roll”. Namun mereka tak melupakan tembang rock romantis seperti “Impian”, dan “Malam Ini”.
Ketika Heydi melengkingkan larik “malam ini akulah milikmu, lupakan yang ada”, Firman Abdillah memilih mengaso di sudut arena. “Nyimpen tenaga buat nanti pas Pestilence main,” kata penonton berkaus band Suffocation yang datang dari Boyolali itu. Dilihat dari tampilannya, Firman dan rombongannya lebih berkubu pada extreme metal.
Pestilence adalah bintang utama festival itu yang berasal dari Belanda. Band dengan gaya death metal berimbuhan thrash ini tampil terakhir. Patrick Mameli dan kawan-kawan berkali-kali meminta penonton meliar. “Ayolah, kami sudah jauh-jauh datang ke sini,” pintanya. Segelintir saja yang bereaksi.
Penampilan apik mereka harus dipangkas karena sudah hampir jam sebelas. Semestinya, mereka tampil sekitar jam sembilan, tapi baru naik panggung jam sepuluh lebih. Pemangkasan durasi juga terjadi pada band sebelumnya, Devilish Impressions dari Polandia.
Paduan penampil kubu rock dan metal di festival ini memang menarik. Sayangnya, jeda antarband terasa terlalu lama sehingga jadwal tampil setiap band bergeser. Bagi penonton, yang membayar tiket termahal hampir Rp 200.000, jeda itu bisa memengaruhi mood. Tapi tak apalah, mengingat festival ini baru pertama kali dihelat. Lagi pula, sajian musik cadas di sini bisa melengkapi asupan santan selama Lebaran.