Anomali Dunia Tenis Putri
Juara Grand Slam putri selalu berganti. Tidak ada lagi petenis yang mampu mendominasi. Motivasi dan ambisi mereka dinilai tak cukup kuat untuk bertahan di level tertinggi.
Ketika Naomi Osaka menjuarai Australia Terbuka 2019, muncul harapan lahirnya penerus Serena Williams. Asa itu menghilang ketika Perancis Terbuka melahirkan Ashleigh Barty sebagai juara baru Grand Slam. Tenis putri pun kembali pada anomalinya, juara cepat berganti, cepat pula hilang.
Gelar juara Australia Terbuka menjadi gelar kedua beruntun Osaka di Grand Slam setelah yang pertama diraihnya pada Amerika Serikat Terbuka 2018. Prestasi itu setidaknya menjadi penggugah asa bahwa penonton tenis tak hanya melihat lahirnya juara Grand Slam baru, lalu setelah itu menghilang seperti yang sering terjadi sejak 2016.
Namun, Osaka masih jauh dari konsisten untuk tampil baik di semua jenis lapangan. Di lapangan tanah liat Roland Garros, Paris, dia tak pernah bisa melewati babak ketiga sejak debut pada 2016. Tahun ini, petenis nomor satu dunia itu dikalahkan Katerina Siniakova, petenis Ceko peringkat ke-42 dunia pada babak ketiga.
Roland Garros pun melahirkan juara baru tunggal putri, Barty, yang juga juara baru Grand Slam. Dalam final, yang lebih mirip pertandingan kelas babak kualifikasi, Barty mengalahkan petenis 19 tahun, Marketa Vondrousova.
Kedelapan
Barty menjadi juara baru kedelapan dari 14 Grand Slam sejak awal 2016. Sebelumnya, para juara baru yang lahir adalah Angelique Kerber ketika menjuarai Australia Terbuka 2016, Garbine Muguruza (Perancis Terbuka 2016), Jelena Ostapenko (Perancis Terbuka 2017), Sloane Stephens (AS Terbuka 2017), Caroline Wozniaki (Australia Terbuka 2018), Simona Halep (Perancis Terbuka 2018), dan Osaka (AS Terbuka 2018).
”Menarik bukan? Siapapun yang berada dalam undian tunggal putri bisa menjadi juara. Rentang permainan yang satu dengan yang lain semakin dekat. Saya rasa semua pemain harus membiasakan berada dalam kondisi ini lalu mengambil kesempatan untuk menang sebanyak mungkin,” tutur Barty setelah menjuarai WTA Premier Miami, Maret.
Meratanya persaingan tersebut, dikatakan Barty, memotivasinya untuk muncul pada turnamen level tertinggi seperti yang dilakukan petenis lain.
”Mengapa bukan saya? Saya juga seharusnya bisa,” kata Barty dalam ESPN.
Lahirnya juara-juara baru Grand Slam tunggal putri dimulai ketika kekuatan lama, satu per satu, menghadapi masalah. Juara Australia Terbuka 2012 dan 2013, serta finalis AS Terbuka tahun yang sama, Victoria Azarenka, menurun sejak didera cedera pada 2014 kaki. Sejak pertengahan 2016 hingga 2017, mantan petenis nomor satu dunia itu lebih banyak absen dari turnamen karena hamil dan terkena masalah hak asuh anak dengan kekasihnya.
Maria Sharapova, salah satu dari lima tunggal putri yang meraih gelar dari semua Grand Slam pada era Terbuka, menghilang sejak menjalani skors doping selama 15 bulan sejak Januari 2016. Dia juga didera cedera bahu, yang pada tahun ini membuatnya baru tampil pada tiga turnamen pada Januari.
Adapun Serena belum kembali ke tangga juara sejak kembali ke turnamen pada Maret 2018. Dia absen karena hamil dan melahirkan, setelah menjuarai Australia Terbuka 2017.
Pada masa itu, wajah-wajah segar berusia 20 tahunan, pun lahir. Muguruza berusia 22 tahun saat menjuarai Perancis Terbuka 2016, Ostapenko dan Osaka berusia 20 tahun saat masing-masing menjuarai Perancis Terbuka 2017 dan AS Terbuka 2018. Adapun Stephens berusia 24 tahun ketika juara AS Terbuka 2017.
Kondisi ini bertolak belakang dengan dunia tenis putra yang didominasi para legenda, yaitu Novak Djokovic, Rafael Nadal, dan Roger Federer sejak 2004. Saat ini, tiga peringkat teratas itu berusia diatas 30 tahun.
Tak kuat mental
Di putri, tak ada juara yang bertahan lama. Muguruza tersingkir pada babak kedua dua Grand Slam setelah Perancis Terbuka 2016. Dia menjurai Wimbledon 2017, lalu menurun lagi. Kini, Muguruza hanya berperingkat ke-25 dunia.
Ostapenko tak lebih baik. Petenis peringkat ke-39 dunia itu selalu tersingkir pada babak pertama Grand Slam 2019.
Robert Lansdrop, yang pernah melatih petenis-petenis nomor satu dunia, seperti Tracy Austin, Lindsay Davenport, dan Pete Sampras, menilai, saat ini, tak ada petenis yang bisa bertahan lama di persaingan level tertinggi.
”Saya sebenarnya tak mau mengatakan ini, tetapi mental mereka tak cukup kuat. Ibaratnya, mereka memiliki semua kekuatan dengan kecanggihan raket dan bola saat ini, tetapi tak tahu bagaimana cara mengontrolnya,” kata Lansdrop.
Mantan petenis nomor satu dunia, Chris Evert, menyoroti motivasi dan ambisi mereka. “Dulu, ada satu faktor pasti untuk mengukur apakah seseorang akan menjadi legenda atau tidak, yaitu apakah satu keberhasilan akan mengubur atau memperbesar ambisi? Mereka yang akan menjadi petenis besar adalah yang memiliki keinginan untuk terus lebih baik. Tak ada alasan bahwa usia masih muda sehingga masih memiliki banyak waktu,” kata Evert, 18 kali juara Grand Slam pada usia 19 hingga 31 tahun. (YULIA SAPTHIANI)