Toleransi di Dusun Buneng, Desa Boro, Kecamatan Selorejo, Kabupaten Blitar, Jawa Timur, telah berlangsung sejak lama. Hal ini tidak saja diwujudkan dalam kegiatan sosial sehari-hari berupa gotong royong, tetapi juga saat hari raya tiba.
Oleh
DEFRI WERDIONO
·4 menit baca
Kompas
Warga Desa Boro, Kecamatan Selorejo, Kabupaten Blitar, Jawa Timur, Senin (27/5/2019) siang, tengah melintas di jalan desa setempat. Selama ini warga Boro dikenal memiliki toleransi tinggi dalam beragama.
Spanduk bertuliskan ”Selamat Hari Raya Trisuci Waisak 2563 BE/2019” terbentang di atas jalan desa menuju Dusun Buneng, Desa Boro, Kecamatan Selorejo, Kabupaten Blitar, Jawa Timur, yang kontur tanahnya tidak rata dan sedikit menikung, Senin (27/5/2019).
Begitu memasuki dusun, suasananya meriah oleh umbul-umbul yang didominasi tiga warna, yakni hijau, ungu, dan warna-warni. Jumlahnya mencapai puluhan buah dan menghiasi sepanjang jalan.
Umbul-umbul yang ditancapkan di depan setiap rumah warga ini menjadi penanda bahwa warga setempat tengah menghadapi hari raya keagamaan. Ya, benda tadi bukan sekadar hiasan, melainkan merepresentasikan keyakinan setiap pemilik rumah.
Umbul-umbul warna hijau bertuliskan Rahmatan Lil Alamin dipasang oleh warga beragama Islam, ungu dengan gambar salib dipasang oleh warga beragama Kristen, dan umbul warna-warni merah putih dipasang oleh warga yang beragama Buddha.
Tidak hanya umbul-umbul, begitu kita cermati lebih jauh, sejumlah spanduk bertuliskan ”Selamat Menunaikan Ibadah Puasa dan Selamat Hari Raya Idul Fitri 1440 H” juga terbentang di depan beberapa gereja dan wihara.
Kompas
Warga Desa Boro, Kecamatan Selorejo, Kabupaten Blitar, Jawa Timur, Senin (27/5/2019) siang, melintas di jalan desa setempat. Selama ini warga Boro dikenal memiliki toleransi tinggi dalam beragama.
Bahkan di pagar salah satu rumah warga Kristiani terpasang spanduk ucapan selamat menjalankan ibadah puasa dan hari raya Idul Fitri berdampingan dengan spanduk bertuliskan selamat hari raya Waisak.
”Umbul-umbul dan spanduk itu dipasang jelang puasa. Kebetulan waktu puasa tahun ini bersamaan dengan Waisak. Jadi, nuansa keagamaan dua keyakinan ini masih terasa kental,” ujar Rusmiati (63), salah satu warga yang beragama Islam. Saat puasa, biasanya warga non-Muslim juga menyumbangkan takjil di masjid dan mushala setempat.
Menurut Rusmiati, toleransi di dusunnya telah berlangsung sejak lama. Hal ini tidak saja diwujudkan dalam kegiatan sosial sehari-hari berupa gotong royong, tetapi juga saat hari raya tiba.
Kompas
Dua warga Kristiani Desa Boro, Kecamatan Selorejo, Kabupaten Blitar, Jawa Timur, Senin (27/5/2019) siang, tengah berdiri di dekat spanduk ucapan selamat hari raya Idul Fitri dan Waisak. Selama ini warga Boro dikenal memiliki toleransi tinggi dalam beragama.
Saat Idul Fitri biasanya warga beragama Kristen, Buddha, dan Hindu akan datang beranjangsana ke rumah warga Muslim. Mereka akan menyampaikan ucapan selamat sekaligus meminta maaf.
Begitu pula saat umat yang memiliki keyakinan lain merayakan hari raya, umat Islam akan datang ke rumah mereka untuk menyampaikan ucapan selamat. Hal ini tidak saja dilakukan oleh warga, tetapi juga tokoh-tokoh agama di Dusun Buneng dan tiga dusun lainnya di Desa Boro.
”Sebagaimana yang Islam, warga non-Muslim yang ada di luar daerah juga mudik saat Lebaran tiba,” katanya.
Dari sisi sosial, Rusmiati mencontohkan saat pembangunan Tempat Belajar Al Quran yang berada di sisi selatan Masjid Miftahul Huda—di depan rumah Rusmiati—beberapa bulan lalu, warga non-Muslim juga ikut serta bergotong royong mengecor beton. Tindakan serupa dilakukan saat pembangunan sarana ibadah warga yang lain.
Tekat Harjoutomo (90), salah satu warga Kristiani yang pagar rumahnya tertempel spanduk ucapan selamat kepada dua agama lainnya, menuturkan, semua dilakukan sebagai bentuk penghormatan kepada umat beragama lain. Begitu pula dengan umbul-umbul, tidak bermaksud untuk membeda-bedakan, tetapi menghormati satu sama lain.
Keluarga Tekat sendiri berasal dari dua keyakinan berbeda. Adiknya, beragama Islam. Saat Lebaran tiba, tidak hanya Tekat dan sang istri, Simpen (80), yang mengunjungi rumah adiknya yang berada di bagian lain dari Dusun Buneng, tetapi keluarga adiknya juga berkunjung ke rumah Tekat. ”Jadi suasananya pasti ramai. Apalagi saya dukun bayi, jadi banyak yang ke sini,” ucap Simpen.
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Umat lintas agama berbincang di patung Garuda Pancasila di Gereja Katedral, Jakarta, saat kumpul menjelang buka bersama lintas agama dengan tema Menguatkan Toleransi, Persaudaraan, dan Solidaritas Kemanusiaan, Jumat (1/6/2018). Berkumpulnya umat lintas agama pada saat Hari Lahir Pancasila ini menjadi salah satu bentuk nyata kuatnya kebersamaan lintas iman yang penting menguatkan persatuan dan kesatuan bangsa.
Meski terdiri dari keyakinan berbeda, selama ini tidak pernah ada masalah di antara warga. Mereka sadar akan perbedaan dan saling menghargai satu sama lain.
Desa Boro yang terletak di tepi Waduk Selorejo terdiri atas empat dusun, yakni Buneng, Jarangan, Boro, dan Mintoragan. Desa itu dihuni oleh sekitar 5.000 jiwa. Dari jumlah tersebut, 70-80 persen di antaranya merupakan Muslim. Sisanya beragama Kristen, Katolik, Buddha, dan Hindu. Di Dusun Buneng sendiri terdapat 2 buah masjid, 4 mushala, 2 gereja, dan 1 wihara.
Selain Boro yang terletak di dekat perbatasan Kabupaten Blitar dan Malang, jauh di sisi timur terdapat desa lain yang juga menghargai perbedaan. Ialah Desa Wirotaman di Kecamatan Ampelgading, Kabupaten Malang. Desa yang berada di sisi selatan Gunung Semeru ini sejak Desember 2017 dideklarasikan menjadi Desa Keberagaman.
Wirotaman yang terbagi dalam tiga dusun dihuni oleh sekitar 4.000 warga dengan keyakinan berbeda. Sebanyak 75 persen adalah warga Muslim serta sisanya Kristen sebanyak 600-an orang dan Hindu 300 orang.
DEFRI WERDIONO
Suasana gapura pintu masuk Desa Wirotaman di Kecamatan Ampelgading, Kabupaten Malang, Jawa Timur, Minggu (23/12/2018).
Seperti halnya Boro, warga Wirotaman juga saling kunjung antarsesama warga saat hari raya keagamaan. Warga yang berlainan agama juga turut serta menyukseskan kegiatan peribadah umat lain, salah satunya dengan ikut membersihkan tempat ibadah dan menjaga parkir sepeda. Semua itu berjalan tanpa dikomando.
Kepala Desa Wirotaman Ahmad Soleh mengatakan, di wilayahnya terdapat 5 masjid, 16 mushala, 3 gereja, dan 3 pura. ”Toleransi di sini sudah terjalin sejak lama. Selama 20 tahun terakhir saya di sini tidak pernah ada gesekan antarwarga akibat perbedaan keyakinan,” ucap Ahmad.