Hoaks harus diperangi oleh media bersama dengan masyarakat. Kemampuan mendeteksi hoaks pun dipandang perlu diberikan kepada siswa sejak dini.
Oleh
Aloysius Budi Kurniawan
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS Kewajiban jurnalisme saat ini bukan hanya menyampaikan informasi, tetapi juga melawan hoaks. Namun, agar media arus utama tidak berjuang sendirian dalam memerangi hoaks, maka masyarakat perlu dibekali kemampuan untuk mendeteksi peredaran serta kecenderungan munculnya hoaks.
Hasil Riset Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) menunjukkan, total peredaran hoaks selama 2018 mencapai 997 hoaks. Memasuki 2019, peredaran hoaks terus belanjut. Antara Januari-Maret 2019, beredar 207 hoaks politik dan 113 hoaks lainnya.
Pengajar Etika Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, J Haryatmoko SJ, mengatakan, di era post-truth, literasi media dan literasi digital harus mulai diperkenalkan kepada siswa sejak sekolah menengah pertama. “Anak-anak muda perlu dilatih memiliki kemampuan untuk mendeteksi informasi hoaks,” tuturnya.
Pertanyaan kritis
Cara yang paling mudah untuk memverifikasi fakta, menurut dia, adalah dengan memeriksa apakah media arus utama memuatnya atau tidak. ”Kalau tidak memuatnya, kita boleh curiga. Pertanyaan berikutnya, siapa yang bicara dalam berita itu? Kepentingannya mengatakan hal itu apa? Siapa yang diuntungkan dan siapa yang dirugikan? Pertanyaan-pertanyaan sederhana ini bisa diperkenalkan dan dijadikan pola supaya orang waspada,” papar Haryatmoko.
Pertanyaan-pertanyaan kritis tersebut sangat membantu untuk membongkar ideologi di balik teks atau berita yang berseliweran di berbagai media maupun jejaring media sosial. Cara-cara pengungkapan seperti ini dapat menyingkap strategi kekuasaan di balik sebuah wacana.
Supaya tidak berjuang sendirian, menurut Haryatmoko, media arus utama harus membuat metode jurnalisme kritis masuk ke dalam pemahaman masyarakat. Caranya, selalu terapkan sistematika pengecekan terhadap fakta, verifikasi data, dan premis-premis pernyataan narasumber.
“Cara membongkar kebohongan bisa dilakukan melalui verifikasi ketat terhadap inkonsistensi laporan dan mengecek ontentisitas informasi, apakah sungguh demi pelayanan dan kebaikan publik atau tidak,” ujarnya.
Karena itu, sangat diperlukan kemampuan jurnalisme untuk melemahkan mereka yang memproduksi kebenaran bias atau berita palsu.
Ketua Presidium Mafindo Septiaji Eko Nugroho mengatakan, belajar dari pelaksanaan Pemilu 2019, peredaran hoaks ternyata dipicu tak hanya karena rendahnya literasi digital, tetapi juga karena fanatisme politik berlebihan. “Hal ini menjelaskan bagaimana orang-orang berpendidikan tinggi ikut menjadi aktor penyebaran hoaks politik,” paparnya.
Fenomena tersebut memberikan catatan penting di tengah bangsa Indonesia yang memiliki keberagaman dari sisi etnis, suku, maupun agama. Fakta menunjukan masih begitu banyak kalangan dari masyarakat yang belum bisa mengendalikan diri dalam menyikapi aneka informasi di media sosial dan grup-grup percakapan.
Peredaran hoaks ternyata dipicu tak hanya karena rendahnya literasi digital, tetapi juga karena fanatisme politik berlebihan.
Mafindo mendeteksi bagaimana peredaran hoaks berlangsung jauh hari sebelum Pemilu 2019 digelar. Peredaran hoaks turut memengaruhi sikap publik terhadap hasil pemilihan Presiden.
Munculnya unjuk rasa dan ketidakpuasan sedikit banyak dipengaruhi oleh peredaran hoaks yang berlangsung sejak sebelum pemilu. Peredarannya semakin luas pascapilpres.
Mencerahkan Publik
Menurut Septiaji, tak dimungkiri, di tengah situasi politik yang memanas, media yang seharusnya independen dan menjadi pilar demokrasi sebagian justru tidak malu-malu menunjukkan sikap partisannya. Situasi ini memunculkan antipati dari sebagian masyarakat.
Di lain sisi, di tengah tuntutan untuk beralih ke digital, banyak media daring yang akhirnya terburu-buru memuat informasi, sebelum diverifikasi. Mereka terlanjur mengunggah berita yang belum jelas kebenarannya dan terlanjur bergulir menjadi viral.
“Ketika ada klarifikasi, informasi tambahannya susah dilihat karena telah terlanjur viral,” papar Septiaji.
Semestinya, menurut dia, sebuah media jangan sampai terpancing oleh media lain yang pertama menampilkan berita tak pasti kebenarannya dan mendapatkan trafik besar. Media justru harus menjadi bagian edukasi masyarakat dengan berhati-hati menampilkan berita.
Ia menjelaskan, demokrasi bisa berjalan baik jika media bertindak benar. ”Kita butuh ekosistem demokrasi tumbuh kembali, kepercayaan masyarakat muncul lagi. Media mesti menjadi pilar demokrasi yang mencerahkan,”papar Septiaji.