BEIJING, KOMPAS - Keberadaan Republik Rakyat China yang kini mengembangkan sayap ekonominya, dengan membangun sejumlah proyek infrastruktur di banyak negara, terutama negara-negara Asia termasuk ASEAN, diakui menimbulkan fenomena fobia-China. Fobia-China itu, salah satunya muncul dalam persepsi-persepsi yang keliru tentang motivasi China dalam proyek-proyek infrastruktur tersebut.
Menurut Chen Feng, Direktur Konselor dan Divisi pada Departemen Hubungan Asia Kementerian Luar Negeri China, salah satu persepsi keliru itu menganggap China hanya memikirkan kepentingan ekonomi mereka. "Padahal bukan demikian. Di dalam setiap kerja sama dengan negara-negara di manapun, China tidak hanya memikirkan kepentingan sendiri. Di dalamnya pasti ada kepentingan jangka panjang dari negara-negara tersebut," kata Chen, Senin (10/6/2019).
Chen menyampaikan hal itu dalam diskusi informal dengan 11 jurnalis Asia peserta Workshop Media 2019, di kantor Kementerian Luar Negeri RRC di Beijing, Senin sore. Selain Chen, hadir pula Wang Tianxiang, Deputi Direktur Divisi Hubungan Asia Tenggara; dan Hu Hailiang, Deputi Direktur Divisi pada Departemen Hubungan Asia.
Di dalam setiap kerja sama dengan negara-negara di manapun, China tidak hanya memikirkan kepentingan sendiri. Di dalamnya pasti ada juga kepentingan jangka panjang dari negara-negara yang bekerja sama dengan China
Ia mencontohkan keuntungan yang sama-sama diperoleh China dan Indonesia, pada pelaksanaan proyek kereta cepat Jakarta-Bandung. "Selain dari sisi China, Indonesia juga akan mengambil banyak keuntungan, saat kereta cepat itu sudah jadi. Selain mempercepat waktu tempuh Jakarta menuju Bandung dan sebaliknya, dengan kereta cepat itu, Indonesia juga berkesempatan investasi terhadap fasilitas infrastruktur kereta cepat dalam 50, bahkan 100 tahun ke depan," kata dia.
Ditegaskan juga, semua proyek tersebut bisa dievaluasi secara terbuka, dengan pendekatan ilmu pengetahuan dan teknologi. Jadi, lanjut Chen, phobia-China akan dijawab dengan profesionalisme.
Hu Hailiang menambahkan, contoh lain adalah kerja sama China dengan Pakistan. Menurut Hu, kerja sama kedua negara banyak menghasilkan perencanaan ketenagalistrikan di masa depan bagi Pakistan. "Sekarang, di Islamabad yang Ibu Kota Pakistan pun, masih sering listrik mati. Saat delegasi China datang pun, kadang listrik mati," ujar Hu.
Namun, lanjut dia, secara perlahan kerja sama China-Pakistan membuahkan beberapa kemajuan di bidang ketenagalistrikan. Hal yang sama juga diharapkan bisa berlangsung di negara tetangga Pakistan, seperti Afghanistan. Hanya saja, kendala terkait stabilitas politik dan keamanan di Afghanistan, membuat penjajakan kerja sama belum terlalu mulus.
RRC menjalankan lebih dari 20 nota kesepahaman (MoU) terkait Program Sabuk dan Jalan (belt and road). Di dalamnya termasuk proyek kereta cepat Jakarta-Bandung di Indonesia, dan proyek ketenagalistrikan di Pakistan.
Selain itu, beberapa di antaranya, MoU Komisi Nasional Supervisi China dengan koleganya di Filipina dan Thailand terkait pemberantasan korupsi, MoU Kemenlu China dengan Komisi Sosial dan Ekonomi PBB untuk Asia-Pasifik dalam agenda Pembangunan Berkelanjutan 2030, serta berbagai MoU lain dengan banyak negara dan lembaga di berbagai wilayah.