Drama Brexit memasuki babak baru. Rakyat Inggris menyaksikan ”kontes” pencarian pemimpin lagi setelah perdana menteri mereka mundur gara-gara Brexit.
Theresa May resmi mundur sebagai Ketua Partai Konservatif dan otomatis melepaskan jabatan perdana menteri pada 7 Juni lalu. Sekarang statusnya adalah pelaksana tugas, sampai terpilihnya pejabat baru sekitar Juli. Sebelum May, David Cameron merupakan PM Inggris pertama yang mengundurkan diri gara-gara Brexit. Cameron mundur sehari setelah pelaksanaan referendum Brexit, 23 Juni 2016.
Kali ini May mundur karena gagal meyakinkan mayoritas parlemen Inggris untuk menerima proposal yang disetujui Uni Eropa (UE). Sumber pertentangan adalah isu perbatasan Republik Irlandia-Irlandia Utara (wilayah Inggris). Proposal yang disetujui UE menghendaki tak ada pemeriksaan di perbatasan itu. May pun menyetujuinya karena menghormati Perjanjian Jumat Agung, kesepakatan damai 1998 yang mengakhiri kekerasan tiga dekade. Lewat perjanjian ini, orang dan barang dapat melintasi perbatasan tanpa halangan.
Saat Inggris nanti keluar dari UE, hal itu menjadi masalah karena harus dibuat pengecekan perbatasan yang tegas. Brussels bersedia perbatasan dihapus dengan syarat Irlandia Utara masuk dalam hukum UE. Garis keras Brexit, termasuk sejumlah politisi Partai Konservatif, seperti Boris Johnson, menentangnya. Langkah memberikan perkecualian terhadap Irlandia Utara akan mengancam kesatuan Inggris.
Lebih kurang tiga tahun berkuasa, May gagal menghasilkan kompromi meski beberapa kali bernegosiasi di Brussels, dan menghadapi pemungutan suara di parlemen. Laporan menyebutkan, ada 11 tokoh Partai Konservatif siap menggantikan May. Setelah penutupan pencalonan pada awal pekan ini, daftar kandidat diperkecil oleh anggota parlemen Konservatif menjadi tinggal dua. Lalu, 124.000 anggota partai di penjuru negeri memilih satu dari dua orang itu untuk memimpin partai dan otomatis menjadi perdana menteri.
Mengingat mayoritas anggota Konservatif menginginkan Inggris hengkang dari UE, besar kemungkinan anggota parlemen Konservatif akan meloloskan dua tokoh pro-Brexit. Alasannya, siapa pun calon pro-Eropa yang diloloskan dalam dua besar pasti kalah dalam pemilihan oleh anggota partai.
Lalu, 124.000 anggota partai di penjuru negeri memilih satu dari dua orang itu untuk memimpin partai dan otomatis menjadi perdana menteri.
Dalam pemahaman tersebut, hingga kini ada tiga tokoh paling berpeluang menjabat sebagai perdana menteri baru, antara lain Boris Johnson yang siap melakoni Brexit tanpa kesepakatan.
Ada pula Jeremy Hunt yang juga siap menjalani Brexit tanpa kesepakatan, tetapi yakin bisa membuat Brussels sadar bahwa memberlakukan perbatasan yang tegas di Irlandia Utara merupakan bagian dari kepentingan UE. Tokoh ketiga ialah Michael Gove yang menolak tenggat 31 Oktober, tetapi yakin UE menginginkan Brexit dengan kesepakatan.
Drama Brexit berlangsung cukup panjang dan melelahkan. Kini dunia menanti bagaimana Inggris menjalani babak baru Brexit setelah May mundur.