Ketenangan Selaras Alam
Di tengah riuhnya pusat dagang Tanah Abang, Masjid Said Naum ibarat oase ketenangan dan kesejukan. Masjid itu didesain dengan cita rasa lokal serta begitu selaras dengan alam sekitarnya.
Rasa penat Ibu Kota sirna begitu masuk ke kompleks Masjid Said Naum di Kebon Kacang, Tanah Abang, Jakarta Pusat.
Masjid itu tak jauh dari pusat dagang Tanah Abang yang sepanjang hari riuh dengan kesibukan. Namun, di dalam kompleks masjid, keriuhan itu tak terdengar lagi. Halamannya lapang dihiasi pepohonan palem, mangga, dan belimbing.
Sementara bangunan masjid bergaya joglo dengan warna didominasi coklat berdiri di atas tanah yang lebih tinggi dari halaman. Peletakannya di tanah yang lebih tinggi merupakan bentuk penghormatan sebagai tempat ibadah.
Jelang shalat Jumat (24/5/2019), jemaah ramai berdatangan. Salah satu anggota jemaah, Suswanto, tak langsung pulang. Ia melanjutkan shalat Jumat dengan berzikir, lalu rebahan di atas permadani merah. ”Di luar panas sekali. Di sini cocok untuk tempat istirahat,” katanya.
Baginya, Masjid Said Naum menjadi tempat pelarian dari penatnya pekerjaan di Ibu Kota. Suswanto tinggal di Tangerang. Ia bekerja sebagai kurir di perusahaan perlengkapan rumah tangga. Ia kerap singgah untuk shalat di tengah pekerjaannya yang mengharuskan dia banyak menghabiskan waktu di jalan.
Sekretaris Dewan Kemakmuran Masjid Said Naum Sumarno mengatakan, setiap waktu shalat, masjid itu ramai. Pada bulan puasa, banyak orang yang beritikaf di sana.
Nama Said Naum berasal dari saudagar berdarah Arab di Batavia pada abad ke-19. Said yang juga dikenal sebagai dermawan itu juga menjabat sebagai Kapitan Arab di Batavia selama periode 1844-1864. Said, yang semasa di Batavia tinggal di Pekojan, Jakarta Barat, kemudian menyumbangkan tanah untuk pemakaman di daerah Tanah Abang.
Direlokasi
Ketika Ali Sadikin sebagai Gubernur DKI Jakarta, kompleks makam itu direlokasi. Relokasi dilakukan sebab seiring perkembangan kota, tempat itu dinilai tak cocok sebagai pemakaman. Sebagai gantinya, dibangunlah masjid.
Masjid Said Naum dibangun pada 1775 dan diresmikan pada 1977. Desain masjid dirancang arsitek Adhi Moersid setelah memenangi sayembara yang digelar Ali Sadikin. Adhi, yang sekarang berusia 81 tahun, mengatakan, saat itu Ali Sadikin menginginkan masjid yang mencitrakan karakter lokal, berbahan lokal, dan sesuai iklim setempat.
Bentuk dasar masjid adalah bangunan joglo persegi empat dengan atap berbentuk tajuk bertingkat. Bagian puncak atap dipotong lalu diputar 45 derajat sehingga membuat ruang di empat sela kakinya.
Ruang itu sekaligus menjadi lubang angin. Atap ditopang tiang kayu jati yang diselipkan pada baja ringan. Selasar dibuat luas sehingga dapat dijadikan tempat istirahat.
Tanpa tiang
Bagian dalam masjid itu tak memakai tiang sama sekali. Baik jendela maupun pintu tak berpenutup sehingga angin bisa masuk dari segala penjuru masjid.
”Masjid ini sangat sejuk karena angin bisa masuk dari segala arah dan keluar dari atas. Tetapi, sayang sekarang sudah dipakai AC (pendingin ruangan),” kata Adhi.
Karena diminta menggunakan material lokal, masjid ini banyak menggunakan kayu jati dari Jepara. Genteng dan ubin juga produksi lokal. Kini, di usia 40 tahun, Masjid Said Naum masih menjadi oase selaras alam di pusat Ibu Kota. (AIN)