Hari ini adalah hari terakhir dari libur panjang Lebaran. Setelah menikmati kumpul-kumpul dengan keluarga, setelah makan enak dengan gelak tawa, tiba waktunya untuk bekerja kembali. Untuk meninggalkan kampung halaman kembali ke Ibu Kota yang keras, untuk memasak sendiri, untuk bertemu kembali dengan bos dan klien bawel. Seperti kata pepatah, tak ada pesta yang tak pernah bubar.
Kereta cepat vs kura-kura
Saya adalah satu dari sekian banyak orang yang juga menikmati libur panjang Lebaran itu. Meski saya tak ke mana-mana, meski saya tak memiliki keluarga untuk didatangi, saya sangat menikmati 10 hari di Jakarta yang lengang.
Harus saya akui, hari ini saya merasa malas sekali. Mulut saya malah sudah mengeluarkan keluhan, yaahhh... besok kerja lagi. Di tengah mulut yang mengeluh itu, saya tahu pasti, esok hari pun akan saya jalani dan kemudian terbiasa lagi dengan segala aktivitas dan melupakan masa liburan panjang itu.
Jadi, saya belajar sesuatu bahwa semua yang terjadi di dunia ini pasti akan ada akhirnya. Tahun ini sudah berjalan setengah tahun lamanya, dan harus saya akui enam bulan ini kesengsaraan datang bertubi-tubi tanpa belas kasihan. Kesusahan dalam usaha sangat saya rasakan. Penyakit saya bertambah. Semangat saya berkurang. Betul-betul enam bulan yang memberi tekanan hidup dengan luar biasa.
Orang menasihati saya bahwa kesusahan itu untuk membuat saya naik kelas. Mereka mengingatkan saya bahwa selalu akan ada pelangi setelah hujan deras, dan seperti pesta yang selalu akan berakhir, kesusahan yang sedang saya alami pun akan berakhir. Satu dari mereka mengatakan bahwa tak ada satu pun yang abadi, termasuk kesengsaraan.
Saya merasa kalau libur dan senang-senang, itu akan berakhir cepat sekali. Masa 10 hari dalam libur Lebaran ini saja telah saya rasakan berlalu seperti kereta cepat. Berbeda dengan kalau sedang mengalami kesusahan. Rasanya waktu lambat sekali jalannya. Ia seperti kura-kura sedang berjalan.
Seorang teman mengatakan bahwa kesusahan itu bisa dipercepat berakhirnya dengan mengubah sikap saya terhadap kesusahan itu sendiri. Kesenangan atau kesusahan bisa jadi bobotnya sama, tetapi yang membuat itu berbeda adalah sikap saya menghadapi kedua kejadian itu.
Teman saya mengatakan, kesusahan atau problem itu sebaiknya dilihat sebagai kesempatan untuk menunjukkan seberapa besarnya kemampuan seseorang dalam menghadapi tekanan hidup.
Katanya, saya harus menghadapi masalah seperti seseorang yang berniat memiliki tubuh yang indah, dengan mengangkat barbel yang bebannya semakin hari semakin berat. Mereka tahu bahwa itu berat. Mereka tahu bahwa harus melakukan itu berbulan lamanya untuk mencapai hasil.
Belum lagi memikirkan asupan yang tak bisa sembarangan disantap. Namun, kesusahan dan beban itu tetap dijalani karena mereka berkonsentrasi pada hasil yang nanti akan mereka dapati. Jadi, perjuangan memiliki tubuh indah itu pasti akan berakhir, dan kemudian datanglah masanya mereka akan menikmati hasil.
Daging dan roh
Namun, bagaimana dengan masalah kekurangan uang, penyakit yang tak kunjung reda? Teman saya mengatakan bahwa acap kali ketika masalah timbul, orang memilih berkonsentrasi dengan masalahnya. Orang berkonsentrasi pada kekuatan daging dan otak.
Ia mengatakan, manusia itu terdiri dari roh dan daging. Maka, penyelesaian masalah hidup tak bisa dilakukan hanya dengan solusi daging atau solusi akal yang terbatas. Solusinya, ya, harus melalui dua pendekatan itu.
Kemudian ia menambahkan bahwa kesulitan kadang harus terjadi demikian agar seseorang bisa naik kelas. Naik kelas dalam kesabaran, naik kelas dalam melihat kemampuan yang sesungguhnya. Acap kali seseorang merasa kemampuannya hanya sampai batas tertentu. Nah, justru problem yang dihadapi menjadi pembuka mata kalau ternyata seseorang mampu lebih dari yang diperkirakan.
Kesulitan dalam berbagai bentuk juga mencelikkan mata dan hati bahwa kemampuan manusia itu terbatas. Maka, kesulitan akan menjadi pemicu untuk membenahi hubungan vertikal yang mungkin selama ini tak mendapat perhatian atau porsi yang besar.
Manusia itu memiliki keterbatasan, dan kalau manusia bergantung pada sesama manusia, bergantung pada kedagingan, bergantung pada hubungan yang horizontal, itu berarti bergantung pada yang terbatas.
Dan keterbatasan memang acap kali dapat mendatangkan kekhawatiran. Khawatir itu terjadi karena kemampuannya telah mencapai batas maksimal, dan tak tahu apa yang akan terjadi setelahnya.
Maka, berakhirnya problem kemudian menemukan kelegaan bukanlah sekadar berakhirnya sakit kepala dan deg-degan yang berkepanjangan. Hal itu juga menunjukkan berakhirnya seseorang menjalani kehidupan dengan hanya bergantung pada keterbatasan sesama.