Visi Membangun Manusia
Setidaknya lima tahun ke depan, ”membangun sumber daya manusia (SDM)” akan menjadi kunci di republik ini. Bukan karena diusung Jokowi-Ma’ruf Amin yang memenangi Pilpres 2019, melainkan karena esensi substansi: Kemajuan adalah milik bangsa dengan manusia berkualitas. Membangun manusia adalah jalan memajukan bangsa.
Visi politik ini harus diterjemahkan menjadi arah kebijakan dan program. Bagaimana caranya? Ada tiga kunci. Pertama, Indonesia seperti apa yang ingin diwujudkan; kedua, seperti apa manusia Indonesia yang dibutuhkan; dan ketiga, bagaimana membangun manusia seperti itu?
Visi tentang Indonesia
Seperti apa Indonesia masa depan? Semua punya angan. Para ilmuwan muda merumuskan 45 pertanyaan kunci yang mesti dijawab dalam mempersiapkan 100 tahun Indonesia merdeka dan menuangkannya dalam SAINS45 (Kompas, 10/9/2015). Para diaspora mengajukan aspek pokok yang harus dibangun menuju Indonesia 2045. Banyak kelompok dan organisasi lain menawarkan hal serupa. Presiden Jokowi pun punya Mimpi Indonesia 2015-2085 yang disampaikan di Merauke pada awal kepemimpinannya. Bappenas menerjemahkannya dalam visi Indonesia 2045.

Semua memiliki cita-cita sama: Indonesia yang lebih sejahtera, maju, berdaulat, adil dan makmur, serta lebih berprestasi. Gambaran ideal ini lantas coba diberi angka. Angan-angannya, pada 2045, Indonesia yang akan dihuni 319 juta penduduk menjadi ekonomi terbesar kelima dunia, dengan produk domestik bruto (PDB) lebih dari 7,3 triliun dollar AS dan pendapatan per kapita di atas 25.000 dollar AS. Saat itu, 70 persen penduduk tinggal di kota, angka kemiskinan turun di bawah 5 persen, dan usia harapan hidup mencapai 73 tahun. Indonesia akan berada di antara negara maju dunia (Bappenas, 2019).
Tak berlebihan mengatakan Indonesia tengah mengarah ke sana. Meski masih ada sejumlah pekerjaan rumah (PR) terkait penegakan hukum, perlindungan hak minoritas, dan penanganan konflik, indikator pembangunan menunjukkan kemajuan. Setelah membangun infrastruktur fisik dan perlindungan sosial untuk menangani masalah utama kemiskinan dan kesenjangan, hasilnya terlihat.
Sejak 2015, pertumbuhan ekonomi stabil di kisaran 5,1 persen di tengah gejolak ekonomi dunia. Angka kemiskinan ditekan hingga pertama kali di bawah dua digit di 9,66 persen. Ketimpangan turun ditandai turunnya koefisien Gini dari 0,41 ke 0,38. Inflasi terkendali sekitar 3 persen dan pengangguran mencapai angka terendah sejak reformasi di angka 5,34 persen (Laporan empat tahun Jokowi-JK, 2018).
Kinerja pembangunan manusia juga menunjukkan sejumlah kemajuan. Angka harapan hidup naik: perempuan dari 72,2 tahun pada 2012 ke 73,06 tahun pada 2017 dan laki-laki dari 68,29 tahun ke 69,16 tahun. Lama bersekolah naik dari 7,9 pada 2015 jadi 8 tahun pada 2018. Indeks Pembangunan Manusia (HDI) naik dari 0,686 pada 2015 jadi 0,694 pada 2017 (UN, 2018). Sementara BPS (2018) menyatakan Indeks Kebahagiaan, yang mencakup kepuasan hidup (life satisfaction), perasaan (affection), dan makna hidup (eudaimonia), juga naik dari 68 (2014) menjadi 70 (2017).
Negeri ini memang menjadi lebih baik: naik status dari negara berpenghasilan rendah ke menengah. Namun, ia tak akan otomatis jadi negara kaya atau maju. Banyak peringatan tentang jebakan penghasilan menengah (middle income trap) yang siap menyergap jika lengah. Dengan 260 juta penduduk saat ini, bonus demografi hanya akan dinikmati hingga 2031, dengan dependency ratio terendah pada 2028 (Bappenas, 2017). Untuk menghindari jebakan itu, pembangunan harus inklusif dan berfokus pada kualitas manusia. Jelaslah, membangun Indonesia masa depan berarti membangun manusianya.
Membangun manusia Indonesia
Di zaman ekonomi digital ini, yang cepatlah yang menentukan. Bukan yang sekadar pintar, apalagi hanya ”besar”. Revolusi Industri 4.0 meminggirkan mereka yang lambat. Perubahan drastis yang semula terjadi hanya di sektor bisnis dan manufaktur kini merambah ke semua sektor, termasuk pemerintah dan pembangunan secara keseluruhan. Tidak hanya profesional dan pebisnis, tapi dosen dan guru, dokter, petani dan nelayan, bahkan aktivis dan pegawai pemerintah juga dipaksa beradaptasi dengan kemajuan ini. Dan tampaklah siapa yang cepat dan meraih manfaat, dan siapa yang tertatih-tatih mengejarnya.
Implikasinya jauh menusuk ke jantung perkara: manusia Indonesia seperti apa yang harus dibangun, dan bagaimana? Sehat dan cerdas saja tak cukup. Harus produktif dan berkarakter agar tidak dilibas zaman serba 4.0 ini. Bagaimana strateginya? Saya tawarkan tiga prinsip: (1) perbaikan mendasar di hulu untuk semua; (2) mendorong keunggulan (excellence) hingga ke hilir; dan (3) lompatan kebijakan dan tata kelola.
Pertama, masalah di hulu harus tuntas ditangani. Artinya, memprioritaskan kualitas layanan kesehatan dan pendidikan serta penurunan kemiskinan. Sejak 2015-2018, Rp 233 triliun dialokasikan untuk pembangunan kesehatan dan Rp 564 triliun untuk pendidikan. Hingga 2018, Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) telah melindungi lebih dari 219 juta penduduk dengan 97 juta lebih ditanggung pemerintah. JKN menjadi asuransi kesehatan terbesar di dunia. Dalam periode yang sama, lebih dari 18 juta murid dan santri menerima Kartu Indonesia Pintar dan 368.000 yang berprestasi mendapatkan beasiswa.
Selain itu, jejaring pengaman sosial bagi yang paling miskin tetap harus dipastikan berfungsi baik. Program Keluarga Harapan (PKH) dengan total anggaran Rp 45 triliun dari 2015-2018 telah membantu hidup 10 juta keluarga miskin penerima manfaat (KPM). Anggaran ini terus naik, pada 2019 saja Rp 34,4 triliun. Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT) sebagai pengganti rastra/raskin (beras sejahtera/beras rakyat miskin) sebagai terobosan terbesar di bidang bantuan sosial Jokowi-JK telah dinikmati 10 juta KPM hingga 2018 dan akan diperluas hingga 15 juta KPM pada 2019.
Ke depan, JKN harus seluruh warga tanpa kecuali (universal health coverage); pendidikan formal hingga sekolah menengah (K12) harus wajib dan gratis untuk semua. Mereka yang lulus sekolah menengah dan meneruskan kuliah jurusan apa saja harus dijamin negara hingga lulus. Janji Kartu Indonesia Pintar (KIP) Kuliah harus merealisasikan ini, khususnya untuk mereka yang sebelumnya tak berani mimpi meneruskan kuliah karena miskin. Kartu Sembako Murah adalah upaya meningkatkan kualitas dan manfaat BPNT agar rakyat miskin dapat tak saja beras dan telur, tetapi juga asupan layak dan sehat, seperti sayur, buah, ayam, daging, ikan, dan sumber protein dan karbohidrat lain.
Permasalahan di hulu lain ialah revitalisasi pendidikan dan pelatihan vokasi. Komite Vokasi Nasional yang dibentuk harus memastikan link and match lulusan vokasi dengan DUDI (dunia usaha dunia industri) karena sumber terbesar pengangguran adalah lulusan SMK. Manajemen dan kurikulum Balai Latihan Kerja harus dirombak agar sesuai perkembangan industri. Di sini pentingnya Kartu Prakerja untuk memastikan sekitar 130 juta angkatan kerja punya keterampilan sesuai kebutuhan dan revolusi industri di ”zaman now”.
Prinsip kedua, excellence hingga ke hilir. Inilah operasionalisasi visi yang berfokus pada SDM. Setelah, atau sembari, memenuhi hak semua warga untuk hidup layak, sehat, dan mendapatkan pendidikan, negara harus menjaring mereka yang muncul sebagai yang terbaik agar jadi lokomotif kemajuan di semua sektor: dari seni dan budaya, olahraga, akademik, riset dan inovasi, industri, hingga aparatur sipil negara (ASN).
Profil SDM Indonesia secara makro memang masih rendah. Global Talent Competitiveness Index menunjukkan Indonesia jauh tertinggal, posisi ke-77 dari 119 negara (INSEAD, 2018). Beberapa faktor yang memengaruhi adalah kemampuan menumbuhkan talenta lokal menjadi global dan kemampuan menarik talenta global di mana Indonesia di peringkat ke-61 dari 119 negara dan ke-84 dari 118 negara. Di sinilah pentingnya ekosistem untuk mengembangkan talenta nasional. Harus ada kemauan politik serta kebijakan dan tata laksana untuk mengelola dan mengembangkan talenta Indonesia.
Kemauan politik bisa ditunjukkan lewat keberanian pemimpin kementerian/lembaga/pemda (K/L/D) untuk memercayakan peran strategis kepada ASN muda yang kompeten dan berintegritas. Sektor swasta sudah lama memulai. General Electric, misalnya, saat ini memercayakan 89,9 persen pemimpinnya kepada yang berusia muda, dengan rerata 38 tahun.
Pemerintah bisa melakukan hal sama. Sejumlah K/L/D merekrut anak-anak muda potensial, baik sebagai ASN lewat open bidding, atau dalam project management office (PMO). Dampaknya sudah terasa, seperti percepatan pembangunan infrastruktur, reformasi sejumlah kementerian, perbaikan kinerja pemda. Selain menyuntikkan darah segar ke birokrasi, ada investasi pada generasi muda untuk belajar memimpin dan membangun mentalitas yang kuat dan teruji.
Dari sisi kebijakan dan tata laksana, perlu dipastikan agar grand design, strategi, dan peta jalan manajemen talenta jadi prioritas nasional. Tantangannya, tak ada satu formula yang berlaku untuk semua saat bicara talenta.
Janji politik Jokowi-Ma’ruf tentang Empat Dana Abadi bisa dimanfaatkan secara strategis untuk mengakselerasi proses excellence ke hilir ini. (1) Dana Abadi Pendidikan untuk meningkatkan pokok modal Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) dari Rp 60 triliun ke Rp 100 triliun pada 2024 adalah enabler untuk melahirkan talenta di bidang akademis. (2) Dana Abadi Penelitian bisa menjadi skema fleksibel untuk mendorong kinerja penelitian agar makin fokus menghasilkan terobosan inovatif, melengkapi inisiatif DIPI (Dana Ilmu Pengetahuan Indonesia) yang sudah diluncurkan. (3) Agar bisa duduk di peringkat ke-500 atau bahkan ke-300 dunia, Dana Abadi Perguruan Tinggi bisa digunakan kampus untuk membangun kapasitas mereka. (4) Dana Abadi Kebudayaan, yang sudah umum di negara maju, harus diarahkan untuk membangun prasarana dan ruang berkarya bagi pekerja seni dan budaya, sekaligus untuk meningkatkan kapasitas mereka.
Melompat ke depan
Prinsip ketiga membangun manusia Indonesia adalah lompatan kebijakan dan tata kelola yang harus mengikuti visi, bukan sebaliknya. Dari semesta pembangunan, saya pilih tiga terpenting: kesejahteraan sosial; iptek, inovasi, dan seni; serta pemerintahan dan reformasi birokrasi. Kebijakan di sektor kesejahteraan sosial harus membedakan jelas antara supply dan demand. K/L pelaksana mengikuti kebijakan ini. Tugas K/L penyedia layanan harus fokus pada pembenahan kualitas layanan: kesehatan, pendidikan dasar-menengah, pendidikan tinggi, ketenagakerjaan. Sementara K/L yang menangani demand perlindungan sosial harus meningkatkan akurasi data, khususnya penggunaan NIK dan BDT sebagai basis penerima manfaat. Kedua jenis K/L ini harus dipisah. Tidak boleh lagi yang menangani demand sekaligus mengurus supply, seperti Kartu Indonesia Pintar.
Sektor iptek, inovasi, dan seni butuh perombakan. Masalahnya bukanlah dana negara yang terbatas, melainkan perlunya ekosistem. Terimalah fakta bahwa inovasi, seni, dan perkembangan pengetahuan tak akan pernah bisa dipaksakan. Yang bisa dilakukan adalah membangun ekosistem agar kreativitas tumbuh, inovasi muncul, dan gagasan baru dilahirkan. Untuk itu, peran komunitas epistemik penting. Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI), Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI), ataupun Dewan Riset Nasional (DRN), seperti halnya Dewan Kesenian, harus dipastikan independen, by expertise, dan sungguh mendapatkan ruang untuk menilai validitas gagasan yang akan mendapatkan dukungan pendanaan dan untuk memastikan prinsip fleksibilitas pendanaan iptek dan seni.
Terakhir, reformasi birokrasi dan pemerintahan yang harus bisa mengejar kemajuan zaman. Singkatnya, kata Presiden Jokowi, ”Pemerintahan Dilan: digital melayani”. Dibandingkan swasta, pemerintah dan birokrasi memang paling lambat mengadopsi dan mengadaptasi kemajuan teknologi. Karena itu, pemerintah harus memastikan ketersediaan data dan peta yang terbuka dan bebas diakses publik. Selain mendigitalisasi layanan publik, perencanaan pembangunan harus memanfaatkan big data analytics.
Indikator keberhasilan e-government bukan hanya penghematan anggaran IT dan integrasi teknologi, tetapi meningkatnya kepercayaan rakyat kepada pemerintah yang makin terbuka, dekat, mudah dijangkau, dan melayani.
Menurut survei Gallup International (2017), Indonesia bangsa paling optimistis di dunia, di atas AS, Swedia, dan Italia dalam memandang kondisi negaranya, khususnya ekonomi dan kesejahteraan, di tengah perkembangan global.
Optimisme ini dampak positif dari pembangunan selama ini yang memberi harapan lebih baik. Namun, meski capaian sudah banyak, kerja belum selesai. Mewujudkan visi membangun manusia adalah kunci meraih kemajuan masa depan bangsa.
Yanuar Nugroho Deputi II Kepala Staf Kepresidenan RI Bidang Sosial, Budaya, dan Ekologi Strategis