Berbeda dengan malam-malam biasanya, halaman rumah-rumah di Kampung Ketang Baru, Singkil, Manado, dihiasi cahaya lilin-lilin kecil pada Senin (3/6/2019) malam. Itulah tradisi tumbilotohe, dalam bahasa Gorontalo, secara harfiah berarti ”menyalakan lampu”.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·4 menit baca
Seorang boleh saja tinggal ratusan atau ribuan kilometer dari tempat asal-usul leluhurnya, namun tetap mempertahankan adat istiadatnya. Begitulah warga keturunan Gorontalo di Manado, Sulawesi Utara, yang setia menyalakan terang lilin selama tiga hari menjelang kemenangan di hari raya Idul Fitri.
Berbeda dengan malam-malam biasanya, halaman rumah-rumah di Kampung Ketang Baru, Singkil, Manado, dihiasi cahaya lilin-lilin kecil pada Senin (3/6/2019) malam. Itulah tradisi tumbilotohe, dalam bahasa Gorontalo, secara harfiah berarti ”menyalakan lampu”.
Sebagian warga menggunakan botol bekas minuman suplemen energi yang diisi minyak tanah atau minyak kelapa untuk membakar sumbu lilin di tutup botol sepanjang malam. Sebagian lainnya mengambil cara lebih sederhana. Bahan bakar dituang ke dalam gelas untuk mempertahankan nyala sumbu lilin beralaskan seng tipis yang mengapung di atasnya.
Ahmad Abdulsamad (65), warga Ketang Baru Lingkungan V, menyalakan enam lilin dalam gelas di depan teras rumahnya. ”Ini melambangkan anggota keluarga saya. Saya tinggal bersama istri, dua anak, dan dua cucu saya,” kata Ahmad.
Orangtua Ahmad berasal dari Banjarmasin. Mereka sekeluarga pindah ke Manado saat Ahmad berusia 15 tahun. Setengah abad setelahnya, ia tak lupa tradisi tanah kelahirannya, Gorontalo.
”Saya ndak begitu mengerti siapa yang memulai (tradisi tumbilotohe). Pokoknya tiga hari menjelang Lebaran, saya selalu nyalakan lilin. Ini bertepatan juga dengan lailatulkadar, yaitu malam ke-27 Ramadhan saat diturunkannya Al Quran,” katanya.
Berjarak empat rumah dari Ahmad, Zainuddin Husain (42) juga menyalakan lilin yang terpisah ke dalam 14 gelas. Sebelum menuangkan minyak kelapa, ia mengisi gelas dengan air yang diberi pewarna makanan sehingga nyala lilin terkesan berwarna-warni.
Zainuddin yang lahir dan besar di Manado tak pernah tinggal di Gorontalo. Namun, ia tetap memegang teguh tradisi tempat asalnya itu.
”Di mana pun orang Gorontalo tinggal, pasti melaksanakan tumbilotohe. Kami selalu ingat dengan kampung halaman dan tradisi nenek moyang kami. Ini juga berarti orang Gorontalo mampu hidup di mana pun di bumi ini,” kata Zainuddin.
Penerang
Ketua Pengurus Hari-hari Besar Islam Manado Amir Liputo mengatakan, budaya ini dimulai sekitar abad ke-16 saat Islam masuk ke Gorontalo. Penyebar agama saat itu adalah para pedagang dari Gowa, Makassar, Tidore, dan Ternate.
”Mulanya, warga memakai kayu damar dan sejenis janur yang disebut daun woka. Kalau dibakar, baunya harum. Namun, sekarang orang lebih praktis menggunakan minyak kelapa atau minyak tanah,” kata Amir.
Ia menambahkan, tradisi ini juga menerangi jalan menuju masjid bagi masyarakat Gorontalo yang saat itu tidak memiliki listrik.
Sementara itu, Zainuddin yang pernah belajar di Pesantren Arrahman, Bailang, Manado, mengatakan, tradisi ini sudah dimulai dari pengalaman Nabi Muhammad SAW. Saat Nabi Muhammad sedang dalam perjalanan dari Mekkah ke Madinah bersama beberapa sahabatnya, mereka mendengar suara seorang perempuan membaca Al Quran di padang gurun.
Nabi pun meminta sahabat-sahabatnya mencari sumber suara itu. Karena saat itu gelap, mereka menggunakan obor untuk menerangi jalan.
”Perempuan itu membaca Al Quran di rumahnya. Nabi Muhammad akhirnya meminta sahabat-sahabatnya untuk meletakkan obor yang menyala di depan rumahnya sebagai tanda bahwa rumah itu menjadi tempat beribadah untuk memuliakan Allah,” katanya.
Adapun Ahmad lebih menekankan kaitan tumbilotohe pada lailatulkadar. Malam ke-27 Ramadhan itu penuh kemuliaan karena bertepatan dengan pewahyuan atau diturunkannya Al Quran. Karena itu, tiga hari sebelum Lebaran, warga keturunan Gorontalo di Ketang Baru melaksanakan ibadah secara individual, misalnya iktikaf di masjid, tadarus atau shalat Tahajud.
”Kalau ada lampu, malaikat akan lewat di depan rumah kami mengikuti arah cahaya menuju masjid sehingga ibadah kami lebih diberkahi,” katanya.
Imam Masjid Al-Muhajirin Ketang Baru, Ahmad Sulaiman Ali (75), mengatakan, berkah ibadah itu akan diganjar pahala lebih besar daripada ibadah selama 1.000 bulan.
”Ini tertulis dalam Surat Al Qadr: 1-5. Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Malam itu penuh kesejahteraan sampai terbit fajar,” katanya.
Asimilasi
Tumbilotohe di Manado tidak sebesar di Gorontalo. Di Gorontalo, warga menyalakan lilin tidak hanya di teras rumahnya sesuai jumlah keluarga, tetapi juga di sepanjang jalan menuju ke masjid terdekat. Warga Gorontalo juga menyalakan ratusan, bahkan ribuan lilin di tanah lapang sebagian ditata membentuk masjid atau Al Quran.
Namun, yang membuat tumbilotohe di Manado spesial adalah asimilasi dengan budaya setempat. Sesuai dengan status Manado sebagai wilayah urban, Zainuddin mengatakan, beberapa warga mulai menggunakan lampu elektrik kelap-kelip sebagaimana digunakan umat Kristen saat Paskah dan Natal. ”Ini bentuk bercampurnya tradisi kami dengan budaya modern,” katanya.
Di sisi lain, budaya ini juga mudah diterima melampaui sekat-sekat kultural. Ahmad Sulaiman mengatakan, orang Ternate atau orang Jawa di Manado dan menikah dengan orang Gorontalo pasti akan mengikuti tradisi ini juga. ”Ini menunjukkan, kultur Gorontalo ini mudah diterima oleh siapa pun,” katanya.