Beberapa hari sesudah Hari Raya Idul Fitri, para perantau yang berada di kampung halaman akan kembali ke kota-kota besar tempat mereka bekerja. Namun, saat kembali ke kota, sebagian dari mereka akan mengajak sanak saudaranya untuk ikut mengadu nasib sebagai perantau.
Itulah kenapa, fenomena mudik di Indonesia berkait erat dengan urbanisasi atau migrasi penduduk dari desa ke kota. Sesudah masa mudik usai, biasanya akan terjadi peningkatan jumlah penduduk yang tergerak melakukan urbanisasi ke kota besar seperti Jakarta dan sekitarnya.
Guru Besar Sosiologi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Sunyoto Usman, mengatakan, saat pulang ke kampung halaman, para perantau biasanya “memamerkan” kesuksesan yang mereka raih di kota. Cerita sukses seperti itulah yang kemudian membuat saudara atau tetangga mereka ingin ikut-ikutan merantau ke kota.
“Orang yang mudik itu biasanya menunjukkan keberhasilan. Rupanya keberhasilan itu menjadi stimulan bagi saudara atau tetangganya untuk ikut ke kota,” kata Sunyoto saat dihubungi dari Jakarta, Jumat (7/6/2019).
Sunyoto menuturkan, orang-orang yang melakukan urbanisasi sesudah Lebaran biasanya bekerja di sektor informal. Pekerjaan yang ditekuni para “perantau dadakan” ini pun biasanya sama dengan saudara atau tetangga yang mengajak mereka merantau.
Bahkan, pada masa-masa awal, mereka juga menumpang tinggal di rumah kerabat atau kenalan yang lebih dulu merantau di kota. “Biasanya mereka tinggal di tempat orang yang mengajak. Bahkan pekerjaan mereka itu biasanya sama dengan orang yang diikuti. Kalau yang mengajak jualan bakso, mereka juga jualan bakso,” ujar Sunyoto.
Menurut Sunyoto, keinginan merantau itu muncul karena bekerja di kota dianggap lebih memberi kepastian penghasilan daripada bekerja di desa. Meski begitu, selama beberapa tahun terakhir, sebenarnya kegiatan ekonomi di desa-desa juga terus berkembang dan memberi penghasilan yang lumayan untuk warganya.
Apalagi, sejak tahun 2015, pemerintah telah mengucurkan dana desa yang bisa dimanfaatkan untuk menggerakkan perekonomian desa melalui berbagai sektor, seperti pariwisata, kerajinan, dan pertanian.
“Saya kira usaha-usaha di desa sudah mulai baik sekarang. Ada wisata, ada kerajinan yang sudah mulai ekspor. Cuma mungkin kepastian penghasilan di kota itu lebih menjamin,” tutur Sunyoto yang meraih gelar doktor dari Universitas Flinders, Australia.
Sunyoto menilai, apabila jumlah penduduk yang bermigrasi ke kota terus meningkat, perekonomian desa akan terus tertinggal. Oleh karena itu, perlu berbagai upaya untuk mengerem laju urbanisasi. Salah satu yang bisa dilakukan adalah meningkatkan perekonomian di desa melalui kolaborasi antar-desa.
“Saya kira, usaha desa tidak bisa dibatasi dengan batas administratif. Misalnya pengembangan pariwisata, itu tidak bisa hanya satu desa tapi harus melibatkan beberapa desa sekaligus,” ungkapnya.
Upaya lain yang bisa dilakukan adalah mengembangkan jejaring perekonomian antara desa dan kota. Dengan model ini, aktivitas perekonomian di desa diarahkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat perkotaan. “Seharusnya ekonomi kota itu bisa didukung desa. Misalnya masyarakat desa mengembangkan padi organik, itu kan bisa konsumsi hotel-hotel di perkotaan,” tutur Sunyoto.