Langkah realistis jangka pendek yang perlu ditempuh Indonesia adalah menjaga pasar dalam negeri dan memperbaiki atau setidaknya menjaga defisit agar tidak makin dalam.
Oleh
Cyprianus Anto Saptowalyono / Dimas Waraditya
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Para pelaku usaha menilai sulit memacu ekspor di tengah lesunya perdagangan internasional serta kecenderungan perlambatan ekonomi global. Langkah realistis jangka pendek yang perlu ditempuh Indonesia adalah menjaga pasar dalam negeri dan memperbaiki atau setidaknya menjaga defisit agar tidak makin dalam.
Ketua Komite Tetap Pengembangan Ekspor Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Handito Joewono saat dihubungi, Jumat (7/6/2019) menyatakan, dalam jangka menengah dan panjang, Indonesia mau tidak mau harus mengembangkan ekspor. Struktur ekonomi mesti terus diperkuat dengan mendorong produktivitas.
Sebelumnya, Bank Dunia mengoreksi proyeksi pertumbuhan ekonomi global tahun 2019 dari 2,9 persen menjadi 2,6 persen. Perlambatan terutama disebabkan oleh arus perdagangan internasional yang lesu akibat perang dagang antara Amerika Serikat dan China.
Menurut Handito, ketika kondisi ekonomi global menantang seperti saat ini, sulit berharap ekspor meningkat karena permintaan dan volume perdagangan turun. Oleh karena itu, Indonesia dinilai lebih baik mengamankan defisit dengan mengerem impor.
Sepanjang Januari-April 2019, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), defisit perdagangan Indonesia mencapai 2,56 miliar dollar AS. Nilai ekspor Indonesia selama periode itu mencapai 53,2 miliar dollar AS, sementara impornya 55,77 miliar dollar AS.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia, Adhi S Lukman menambahkan, meski dalam jangka pendek akan terdampak perang dagang, Indonesia harus tetap optimistis melihat peluang. Indonesia bisa memanfaatkan perang dagang untuk menarik kerja sama bilateral dengan China maupun AS. “Apalagi, China, AS, dan Jepang adalah tiga besar mitra dagang Indonesia,” kata Adhi.
Investasi
Penjajakan relokasi investasi China ke Indonesia yang sudah dimulai perlu dilanjutkan untuk membuka peluang lebih besar. Menurut Adhi, koordinasi antara pemerintah dan pelaku usaha harus diperkuat untuk menjaga pasar lokal, termasuk mengantisipasi serbuan produk impor akibat perang dagang.
Di tengah perlambatan ekonomi global, Indonesia dinilai turut diuntungkan oleh perbaikan peringkat utang serta daya saing global. Status Indonesia sebagai negara sangat layak investasi diharapkan menjadi magnet penarik arus masuk modal asing.
Meski dalam jangka pendek akan terdampak perang dagang, Indonesia harus tetap optimistis melihat peluang.
Pada akhir Mei 2019, lembaga pemeringkat Standard and Poor’s (S&P) menaikkan peringkat utang Indonesia di atas level layak investasi, sekaligus melengkapi status layak investasi yang sudah lebih dahulu diberikan oleh Fitch Ratings dan Moody’s Investor Service. Sementara International Institute for Management Development (IMD) menaikkan peringkat daya saing Indonesia dari 43 tahun lalu jadi 32 tahun ini. IMD antara lain menggunakan indikator kinerja ekonomi, efisiensi pemerintah, efisiensi bisnis, dan infrastruktur.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution menyatakan, kenaikan peringkat itu akan menarik investasi masuk ke Indonesia. Dia optimistis ekonomi Indonesia bisa tetap tumbuh. Triwulan II-2019, misalnya, perekonomian Indonesia dapat tumbuh 5,2 persen.
Ekonom PT Bahana Sekuritas Satria Sambijantoro menilai, sejumlah investor global berpotensi melihat Indonesia sebagai salah satu negara dengan aset investasi berisiko rendah (safe haven). “Meningkatnya risiko eksternal membuat modal akan masuk ke safe haven,” ujarnya.
Menurut Satria, perbaikan peringkat utang Indonesia bisa jadi momentum menarik modal, baik melalui investasi langsung maupun portofolio. Pemangku kepentingan juga perlu hati-hati dalam memutuskan kebijakan moneter untuk menjaga daya tarik investasi.
Adapun kebijakan fiskal yang perlu ditempuh, kata Satria, adalah konsolidasi untuk menekan defisit anggaran. Tahun ini pemerintah menargetkan defisit anggaran 1,84 persen terhadap produk domestik bruto. (CAS/DIM)