Ferry Sugeng Santoso, Sang Empu Alam Batik
Alam raya selalu memberikan keseimbangan bagi penghuninya. Ada siang, ada malam. Ada hitam, ada putih. Begitu pula dalam selembar kain batik, ada yang berkreasi mengikuti selera pasar, ada pula yang konsisten menjaga filosofinya. Ferry Sugeng Santoso (39) memilih menjadi bagian yang tetap menjaga nilai-nilai filosofi batik.
Pemangku Padepokan Alam Batik di Dusun Pajaran, Desa Gunting, Kecamatan Sukorejo, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur itu adalah satu dari segelintir pembatik yang membuat karya dengan penuh filosofi. Setiap akan membatik, Ferry melaksanakan tahapan layaknya pembatik pada zaman dahulu.
Dalam pembuatan satu lembar kain batik, dia tidak bisa memastikan lama waktu pengerjaannya. Seperti seorang empu yang membuat senjata, Ferry harus menjalani beberapa tahapan, seperti berpuasa, tirakat, dan begadang, yang semuanya adalah bagian dari budaya kejawen dalam pembuatan batik.
Bila dalam proses pembuatan batik tidak ada petunjuk untuk berhenti, maka proses membatik tidak akan dihentikan untuk sementara. Begitu pula jika tiba-tiba ada pentunjuk untuk berhenti, maka proses membatik harus dihentikan untuk sementara hingga ada petunjuk untuk memulainya kembali. “Proses pembuatannya ada yang bisa sampai dua tahun baru selesai,” kata Ferry, Sabtu (25/5/2019) saat ditemui di Surabaya.
Bagi Ferry, batik bukan hanya memiliki fungsi sebagai fashion, namun batik juga merupakan sebuah karya seni yang memiliki filosofi. Oleh sebab itu, pembuatan selembar kain baik harus mengikuti kaidah-kaidah serta motif yang digoreskan dari canting harus memiliki nilai filosofis bagi pemiliknya. Hal ini, bagi Ferry, merupakan bentuk sinergi energi antara alam dengan manusia.
“Tak jarang ketika saya mulai membatik, cuaca di sekitar dusun bisa berubah drastis, dari panas tiba-tiba bisa hujan,” ujar Ferry yang dalam kesehariannya selalu mengenakan sarung.
Tidak semua pelanggan Ferry Batik bisa mendapatkan batik bermotif sesuai pesanan. Ferry selalu bertirakat untuk meminta petunjuk dari Tuhan mengenai motif yang cocok pagi pemesan. Tidak jarang, pesanan harus ditolak karena petunjuk yang didapat adalah tidak memperbolehkan si pemesan meminta batik dari Ferry.
Pengguna dan motif batik adalah dua hal yang tak terpisahkan dalam membuat batik. Sebab batik tidak hanya berfungsi sebagai pakaian, namun mencerminkan kepribadian pemakainya. Motif batik bisa mewakili identitas dan memancarkan aura bagi penggunanya. Maka tidak semua motif batik bisa digunakan oleh sembarangan orang. “Dibayar berapa pun, kalau tidak cocok tidak akan saya buat,” ucap Ferry.
Perkenalan Ferry dengan batik tercipta sejak 2006. Kala itu, dia mewakili orangtuanya yang pengusaha batik Dinar Agung untuk mengikuti lokakarya pewarnaan batik menggunakan warna alami di Yogyakarta. Sesampainya di tempat pelatihan, Ferry ternyata harus ikut membatik, padahal dia sama sekali belum pernah membatik.
Dia kemudian mulai membatik sesuai instruksi yang diberikan oleh pelatih. Hingga akhirnya, ketertarikan terhadap dunia batik pun muncul. Tiga tahun berselang, didirikanlah Padepokan Alam Batik di rumahnya yang berada di Pasuruan.
Motif batik pertama yang dibuat adalah Tali Sukma yang dikerjakan selama satu tahun. Batik motif ini sempat ditawar oleh seorang pecinta batik, namun tidak dilepas karena batik tersebut dianggap sangat personal dan belum tentu cocok dengan pembelinya. Kini, motif batik yang diproduksi teralh berkembang, antara lain daun Dilem, bunga Krisan, dan bunga Padma (teratai).
“Untuk mendapatkan ide pembuatan motif-motif baru, saya kembali melakukan tirakat untuk meminta petunjuk. Alam begitu banyak memberikan inspirasi terhadap karya batik saya,” tutur peraih Nayaka Pariwisata 2018 tersebut.
Ciri khas batik buatan Ferry terletak pada pewarnaan yang menggunakan bahan alami. Dia menggunakan batang dan daun Matoa untuk menghasilkan warna kuning, emas, sampai hitam. Bahan lain yang digunakan adalah kayu tegeran untuk membuat warna kuning. Jika ingin membuat warna kuning muda, maka dicampur dengan batu tawas yang mengandung alumunium.
Pewarna alam itu ternyata membuat nilai jual batik meningkat karena amat digemari pembeli dari dalam dan luar negeri. “Saya tidak pasang harga. Ketika sudah selesai, dikasih amplop, ternyata pembelinya memberikan harga Rp 250 juta. Jadi yang memberikan harga adalah konsumen sendiri. Biasanya mereka yang tahu batik dan filosofinya” katanya.
Hingga saat ini, karyanya telah mendapatkan apresiasi di sejumlah negara seperti Korea, Australia, Malaysia, Singapura, dan sejumlah negara di Eropa. Batik dengan pewarna alam memang lebih dihargai di negara-negara tersebut. “Eropa tidak mau sintetis, maunya warna alam” ujar Ferry yang juga Duta UMKM Sampoerna ini.
Ia mengakui, dengan idealismenya ini, produk yang dihasilkan tidak selalu mengikuti keinginan pasar. Produk yang dihasilkan hanya diminati oleh sebagian kecil pasar yang diisi oleh para pecinta batik. Tak pelak, pendapatan yang diperoleh menjadi kian tak menentu.
Untuk menyiasatinya, Ferry juga membuat batik dengan harga yang lebih murah. Batik-batik tersebut tidak melalui proses tirakat yang membutuhkan waktu lama agar harganya bisa lebih murah. Batik tulis itu dijual mulai dari ratusan ribu hingga jutaan rupiah per lembar. Penjualan dari batik tersebut untuk menghidupi 15 karyawan yang ikut dengannya saat ini sekaligus membumikan batik agar lebih banyak digunakan masyarakat.
Pemuda putus sekolah
Keahlian yang dimiliki Ferry juga ditularkan kepada tetangga-tetangga sekitar. Ada 15 tetangganya yang kini menjadi karyawan Padepokan Alam Batik. Mayoritas adalah pemuda-pemuda putus sekolah. Ferry sengaja memilih pemuda-pemuda yang mayoritas bertato untuk bergabung di padepokannya agar bisa menjadi penopang kebutuhan ekonomi keluarga.
“Kalau pemuda yang punya ijazah mungkin lebih mudah mendapatkan pekerjaan, namun pemuda putus sekolah harus harus diberi keterampilan agar bisa menopang kehidupan keluarganya, agar tidak salah jalan dan bermanfaat,” kata Ferry.
Pemberdayaan kepada pemuda-pemuda sekitar sekaligus menjadi solusi penyediaan tenaga kerja. Di Pasuruan yang menjadi salah satu pusat industri di Jatim, tenaga kerja terampil di bidang batik tidak mudah diperoleh. Kebanyakan pemuda-pemuda memilih bekerja di pabrik-pabrik.
Sama seperti wirausahawan lainnya, Ferry juga ikut berbagai pelatihan yang diadakan oleh pemerintah dan swasta. Salah satunya yakni Pusat Pelatihan Kewirausahaan Sampoerna yang didirikan di kota tempat tinggalnya. “Jaringan dari pemerintah dan swasta penting untuk meningkatkan kompetensi sekaligus memperluas pasar,” ucap Ferry.
Batik memang sulit dipisahkan dari Ferry. Selain bisa berkarya, jalan batik yang dipilih Ferry merupakan tirakatnya untuk mempertahankan budaya leluhur yang kini telah diakui dunia sebagai warisan budaya Indonesia. Dia berharap suatu saat bisa menggelar pameran tunggal batik-batik karyanya. “Saya sudah pesan kepada pembeli batik untuk meminjamkannya suatu saat jika saya ingin menggelar pameran,” ujar Ferry.
Ferry Sugeng Santoso
Lahir: Pasuruan, 13 April 1980
Pendidikan:
SDN Pekuncen, Pasuruan
SMPN 1 Pasuruan
SMAN 2 Pasuruan
Santri di Pondok Pesantren Pondok Pesantren Darut Taqwa, Pasuruan
Penghargaan:
Nayaka Pariwisata 2018
Duta UMKM Sampoerna sejak 2017