Sisa Makanan Dominasi Sampah Selama Lebaran di Jakarta
Berat sampah di DKI Jakarta selama dua hari Lebaran, 5-6 Juni 2019, yang dikirim ke TPA Bantargebang, Bekasi, Jawa Barat, mencapai 3.895,78 ton dan didominasi sampah organik. Di antara sampah organik itu, sampah sisa makanan yang paling banyak.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Berat sampah di DKI Jakarta selama dua hari Lebaran, Rabu hingga Kamis, 5-6 Juni 2019, yang dikirim ke Tempat Pembuangan Akhir Bantargebang, Bekasi, Jawa Barat, mencapai 3.895,78 ton dan didominasi sampah organik. Di antara sampah organik itu, sampah sisa makanan adalah yang paling banyak.
Kepala Unit Pengelola Sampah Terpadu Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta Asep Kuswanto, saat dihubungi di Jakarta, Jumat (7/6/2019), mengatakan, jumlah sampah pada Lebaran tahun ini lebih sedikit dibandingkan dengan periode yang sama pada Lebaran 2018, yaitu 4.004,26 ton. Namun, yang perlu menjadi perhatian, sampah itu tetap didominasi sampah organik.
”Secara umum, sampah Jakarta itu 55 persen lebih adalah sampah organik. Kalau untuk jenis sampahnya, yang terbanyak adalah sampah makanan. Sampah makanan mencapai 65 persen dari total sampah organik,” ujar Asep.
Asep menjelaskan, penyumbang terbesar sampah organik berasal dari rumah tangga. Sampah itu bisa berupa buah-buahan, sisa makanan, dan daun-daun kering.
Hal itu bisa terjadi karena inefisiensi pola konsumsi makanan dan tidak adanya tempat pengolahan sampah organik mulai dari rumah.
”Jadi, pengelolaan sampah organik kita di hulu memang masih buruk. Itu sebabnya masalah ini tidak selesai-selesai, baik pada hari biasa maupun pada masa Lebaran,” tutur Asep.
Sementara itu, Kepala Seksi Pengendalian Pengoperasian Kebersihan dan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun Suku Dinas Lingkungan Hidup Jakarta Selatan Ali Yudho menambahkan, di kawasan Jakarta Selatan saja, dari 400 ton sampah yang terkumpul pada Lebaran kedua, sampah organik bisa di atas 60 persen.
”Hampir seluruhnya dari rumah tangga. Dan, (total sampah) 400 ton itu belum dari semua rumah karena masih banyak tukang sampah yang mudik,” lanjut Ali.
Pengomposan
Menurut Ali, perlu upaya yang serius dalam mengelola sampah organik mulai dari tingkat hulu atau rumah, salah satunya dengan program pengomposan. Sebab, kehadiran bank sampah saja tidaklah cukup.
”Karena sehebat-hebatnya kita membuat bank sampah, sampah organik yang bisa dikurangi itu hanya 20 persen. Sisanya bagaimana? Kita perlu ada program untuk composting (pengomposan) berskala rumah tangga se-Jakarta,” kata Ali.
Secara terpisah, Direktur Pusat Teknologi Lingkungan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Rudi Nugroho menilai, penimbunan sampah organik di TPA Bantargebang tidak baik karena turut mengakibatkan efek rumah kaca.
”Sampah organik itu kalau dibiarkan akan menjadi gas metan yang mempercepat pemanasan global,” ucap Rudi.
Oleh karena itu, menurut Rudi, Bantargebang seharusnya memiliki pengolahan sampah organik tersendiri lewat model anaerobic digester untuk produksi biogas. Dengan demikian, gas itu dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi listrik.
”Sisanya yang tak bisa diproses lagi bisa menjadi pupuk cair atau kompos. Yang terpenting, mengurangi potensi rumah kaca itu sendiri,” ujar Rudi.