Perbaikan Peringkat Jadi Penawar di Tengah Pelambatan Ekonomi
Pelambatan ekonomi global secara otomatis dapat menekan neraca perdagangan Indonesia yang berimbas pada pelemahan nilai tukar rupiah. Untungnya, di tengah situasi ini, peringkat utang Indonesia semakin membaik.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pelambatan ekonomi global secara otomatis dapat menekan neraca perdagangan Indonesia yang berimbas pada pelemahan nilai tukar rupiah. Untungnya, di tengah situasi ini, peringkat utang Indonesia semakin membaik.
Status Indonesia sebagai negara sangat layak investasi diharapkan menjadi magnet penarik arus masuk modal asing di tengah lesunya pertumbuhan ekonomi global.
Pada akhir Mei 2019, lembaga pemeringkat Standard and Poor’s (S&P) menaikkan peringkat utang Indonesia di atas level layak investasi, yakni dari BBB- menjadi BBB. Perbaikan peringkat Indonesia juga didukung oleh tingkat beban utang pemerintah yang rendah dan kinerja fiskal yang moderat.
Adapun pada awal pekan lalu, dalam laporannya, Bank Dunia mengoreksi proyeksi pertumbuhan ekonomi global 2019, yakni dari 2,9 persen pada Januari lalu menjadi 2,6 persen.
Ekonom PT Bahana Sekuritas, Satria Sambijantoro, menilai, sejumlah investor global berpotensi memandang Indonesia sebagai salah satu negara dengan aset investasi berisiko rendah (safe haven). Terlebih, perusahaan investasi global diharuskan memiliki portofolio di negara berkembang.
”Pelambatan ekonomi membuat likuiditas global akan lebih ketat karena investor asing cenderung menghindari risiko. Meningkatnya risiko eksternal membuat arus modal di luar akan lari masuk ke safe haven,” ujarnya di Jakarta, Jumat (7/6/2019).
Pelambatan ekonomi global tahun ini disebabkan oleh lesunya arus perdagangan internasional akibat perang dagang antara Amerika Serikat dan China.
Situasi ini menyebabkan menurunnya permintaan ekspor, terutama komoditas mentah, seperti batubara dan minyak kelapa sawit yang menjadi andalan Indonesia.
Di sisi lain, kata Satria, perbaikan peringkat utang Indonesia bisa jadi momentum untuk menarik arus modal, baik dalam bentuk penanaman modal asing (PMA) maupun melalui instrumen portofolio.
Dalam kondisi ini, pemangku kebijakan ekonomi perlu bersikap hati-hati dalam memutuskan kebijakan moneter. Untuk menjaga daya tarik aset investasi domestik, ruang penurunan suku bunga acuan Bank Indonesia sebaiknya tetap bersifat terbatas.
”Keputusan dalam menurunkan tingkat suku bunga acuan masih akan bergantung pada seberapa besar arus modal masuk pada instrumen portofolio,” ujar Satria.
Adapun kebijakan fiskal yang perlu ditempuh, menurut Satria, adalah konsolidasi untuk menurunkan defisit anggaran. Tahun ini, pemerintah telah menargetkan defisit anggaran dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) sebesar 1,84 persen terhadap produk domestik bruto (PDB).
Situasi berbeda
Berdasarkan data historis, ekonom PT Samuel Aset Manajemen, Lana Soelistianingsih, menilai kondisi pelambatan ekonomi global saat ini jauh berbeda dengan situasi krisis ekonomi global di tahun 1998. Saat itu, pertumbuhan ekonomi global mencapai 2,5 persen.
”Pelambatan ekonomi global tahun ini terjadi secara bertahap dan terprediksi. Berbeda dari tahun 1997-1998 saat krisis keuangan mendera regional Asia. Krisis membuat bursa saham dan nilai aset lain jatuh,” ujarnya.
Sementara pada tahun 2008, lanjut Lana, terjadi koreksi struktural yang tajam terhadap pertumbuhan ekonomi akibat krisis ekonomi yang terjadi di AS menjalar hingga pasar keuangan global secara mendadak dan tidak terprediksi sebelumnya.
Pada tahun tersebut, pertumbuhan ekonomi berada di level 3,5 persen, turun drastis dari tahun 2007 (4,9 persen) dan tahun 2006 (5 persen).