Penyedia Platform Diajak Kendalikan Konten Negatif
Tanpa keterlibatan lebih besar dari penyedia platform, pemerintah dinilai akan sulit menyikapi kehadiran konten negatif.
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah mengajak penyedia platform media sosial dan aplikasi pesan instan mengontrol peredaran konten negatif dengan menggunakan teknologi kecerdasan buatan dan mesin pembelajaran. Dengan demikian, penyebaran konten negatif jadi minimal dan terkendali.
Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara di Jakarta, Rabu (5/6/2019), menyatakan, pemerintah terus mengendalikan penyebaran konten negatif. Namun, setelah 22-24 Mei 2019, pemerintah belum memutuskan untuk membatasi lagi akses layanan internet.
Selama pembatasan itu, Kemkominfo menemukan dan menangguhkan 600-700 alamat laman (URL) per hari karena dinilai mengandung konten negatif. Selama masa pembatasan akses, Kemkominfo menemukan sekitar 60.000 nomor akun pesan instan yang digunakan untuk memviralkan konten negatif. Tak hanya hoaks, konten yang ditangguhkan juga mengandung hasutan dan adu domba.
Pemerintah mempertimbangkan ketentuan Undang-Undang (UU) Dasar 1945 dan UU No 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik terkait kebijakan pembatasan akses. Pasal 40 UU No 19/2016, misalnya, menyebutkan bahwa pemerintah memfasilitasi pemanfaatan teknologi informasi dan transaksi elektronik sesuai ketentuan undang-undang dan melindungi kepentingan umum dari segala jenis gangguan akibat penyalahgunaan informasi dan transaksi elektronik.
”Kami sempat bertemu dengan sejumlah penjual barang secara daring dan meminta maaf jika mereka ikut terdampak,” katanya.
Setelah 24 Mei 2019, data Kemkominfo menunjukkan, jumlah URL media sosial yang dipakai menyebarluaskan konten negatif berkurang menjadi 300-an. Dia meyakini, saat ini, jumlahnya sudah lebih berkurang.
Rudiantara menambahkan, pemerintah secara khusus telah berbincang dengan para penyedia platform media sosial dan aplikasi pesan instan agar mereka turut mengontrol peredaran konten negatif menggunakan teknologi kecerdasan buatan dan mesin pembelajaran.
Berdasarkan statistik aduan konten laman Kemkominfo, pada Desember 2018, Kemkominfo menerima 23.415 konten. Jumlah ini terdiri dari aduan konten pornografi (14.760), perjudian (8.035), fitnah (1), penipuan (382), pelanggaran hak cipta (116), dan konten negatif yang direkomendasikan oleh sektor (138).
Ketua Dewan Pengawas dan Peneliti Internet Development Institute M Salahuddien berpendapat, pembatasan akses layanan media sosial dan aplikasi pesan instan dengan cara mengecilkan kapasitas saluran (bandwidth throttling) tidak akan efektif meredam penyebaran konten negatif di dunia maya. Alasannya adalah ada beberapa platform alternatif yang bisa dipakai mendistribusikan konten negatif.
Berkaca pada pengalaman pembatasan akses pada 22-24 Mei 2019, dia memandang, sikap reaktif pemerintah justru berdampak negatif pada program penapisan konten yang merupakan amanat UU No 19/2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Selama waktu pembatasan, masyarakat awam terdampak yang sebenarnya tidak tahu ataupun berkepentingan dalam viral konten negatif dipaksa tahu dan belajar menyiasati penapisan.
Menurut Salahuddien, para penyelenggara jasa internet lokal ikut dirugikan karena penggunaan koneksi antara satu jaringan dan jaringan lain secara privat melalui jaringan internet publik (VPN) yang servernya berlokasi di luar negeri. Ditambah lagi, individu penjual barang dagangan melalui platform daring turut dirugikan.
Tanpa keterlibatan lebih besar dari penyedia platform, pemerintah akan sulit menyikapi kehadiran konten negatif.
Dia mengemukakan, cara paling efektif melawan konten negatif adalah dikendalikan dan bukan penapisan ataupun pembatasan akses layanan. Aktivitas pengendalian dilakukan oleh tim panel yang beranggotakan tenaga kompeten. Mereka bisa mewakili instansi pemerintah atau komunitas. Tim panel inilah yang sehari-hari menimbang dan memutuskan konten negatif mana yang perlu disikapi beserta caranya.
”Tanpa adanya keterlibatan lebih besar dari penyedia platform, akan sulit menyikapi kehadiran konten negatif. Pemerintah perlu menagih janji tanggung jawab penyedia platform agar mau bekerja sama dan lebih responsif terhadap pelaporan konten negatif,” tutur Salahuddien.
Dia menambahkan, aparat penegak hukum semestinya tegas kepada tokoh publik yang memiliki akun teridentifikasi, namun secara terang-terangan, mereka selalu aktif dalam proses viral konten negatif.
Kebijakan
Mengutip TechCrunch (Kamis, 6/6/2019), Head of Communications Youtube Chris Dale mengatakan, sebagai platform terbuka, Youtube banyak menerima unggahan konten bersifat opini atau pandangan menyinggung awam. Konten yang dia maksud biasanya dikemas komedi stand-up, lagu, dan kata-kata kasar politik lainnya. Kemasan pernyataan tersebut digabung dengan gambar. Namun, Youtube menilai, secara individual, konten mereka tidak selalu melewati batas kaidah yang dimiliki Youtube.
Pernyataan Chris tersebut menanggapi viral komentator konservatif Steven Crowder setelah ia membuat komentar homofobik dan rasis tentang reporter Vox Carlos Maza dalam beberapa video.
Chris menyebutkan, Youtube mengambil langkah tegas ketika berhadapan dengan konten mengandung pelecehan dan ujaran kebencian. Untuk pelecehan, Youtube melihat apakah tujuan dari video adalah untuk menghasut pelecehan, mengancam, atau mempermalukan seseorang. Youtube juga mempertimbangkan apakah video berisi informasi pribadi yang diungkapkan. Youtube memeriksa keseluruhan video.
Baca juga: Media Arus Utama Jadi Acuan Informasi
Sementara itu, terkait ujaran kebencian, kata dia, Youtube melihat apakah tujuan utama dari video adalah untuk menghasut kebencian terhadap, mempromosikan supremasi atas kelompok yang dilindungi, dan berusaha mengadu domba kekerasan.
CEO Twitter Jack Dorsey, dalam wawancara khusus di acara TED, Selasa (16/4/2019), mengakui bahwa Twitter telah menjadi ”platform rusak”. Di dalamnya terdapat banyak konten percakapan ”beracun” dan ”mengerikan”. Dia mengakui pula bahwa hal itu tidak diantisipasi 13 tahun lalu ketika platform itu didirikan. Bersama tim, dia berusaha mencari cara menyelesaikan.
Jack menegaskan, tim sedang fokus menjadikan Twitter sebagai platform menampung percakapan sehat. Setahun yang lalu, Twitter tidak secara proaktif memantau penyalahgunaan platform untuk penyebaran konten negatif menggunakan pembelajaran mesin sama sekali. Alih-alih, pemantauan sepenuhnya bergantung pada pelaporan manusia. Dia akui bahwa hal itu tidak adil bagi para korban.
Dia menyampaikan, sekitar 38 persen tweet kasar sekarang secara proaktif dikenali oleh algoritma mesin pemelajaran. Selain itu, dia mengklaim, sekarang, tiga kali lebih banyak akun berkonten kasar ditangguhkan dalam waktu 24 jam setelah dilaporkan dibandingkan pada 2018.