Mudik Kaum Migran: Untuk Apa Datang ke Jakarta?
Sejumlah kota yang dipadati pemudik tidak serta-merta berkorelasi langsung dengan daerah asal para migran. Ada variabel lain yang menyebabkan kota-kota itu dipadati pemudik, yakni kekuatan simpul transportasi.
Sembilan kota yang dinilai sebagai kantong-kantong para pemudik tahun ini memiliki simpul transportasi yang terbilang memadai jika dibandingkan dengan kabupaten/kota di sekitarnya. Ketersediaan bandar udara, pelabuhan penumpang, stasiun kereta api (antarkota dan provinsi), dan terminal bus (tipe A dan B) yang dimiliki oleh hampir sembilan kota tujuan utama mudik tersebut.
Dari sembilan kota yang menjadi tujuan mudik, hanya tiga kota yang tidak memiliki fasilitas bandara, yakni Kota Bogor, Kota Tegal, dan Kota Madiun. Namun, ketiga kota ini memiliki stasiun kereta api dan sejumlah terminal bus. Sebaliknya, tiga kota lain, yakni Cirebon, Semarang, dan Kota Surabaya, memiliki fasilitas moda transportasi terlengkap.
Secara keseluruhan, hadirnya simpul transportasi memungkinkan kesembilan kota tersebut menjadi kota transit bagi para pemudik sekaligus arus keluar-masuk para migran.
Gambaran kemudahan mobilitas penduduk terkait kelengkapan infrastruktur suatu daerah dapat digambarkan dari contoh sederhana berikut. Jika seorang migran asal Kota Klaten ingin mudik dengan menggunakan moda transportasi udara, maka terbuka kemungkinan orang tersebut membeli tiket menuju Bandara Adisutjipto di Yogyakarta atau Bandara Adi Soemarmo di Solo. Sesudahnya, orang tersebut melanjutkan perjalanan ke Klaten dengan menggunakan jalur darat, seperti kereta api, mobil pribadi, atau bus antarkota.
Skema rantai perjalanan (trip chaining) seperti contoh migran asal Klaten di atas sangat besar kemungkinannya akan berlaku pada tiap kesempatan mudik. Tentu saja ada berbagai pertimbangan pola perjalanan para pemudik, antara lain merasa lebih hemat dari segi biaya, tidak sempat membeli tiket perjalanan, atau memang daerah yang dituju harus ditempuh dengan transit di kota besar.
Jakarta ke depan
Pembangunan fasilitas jalan tol Trans-Jawa kini menjadi faktor tambahan yang mendukung arus migrasi dan mudik. Kemajuan infrastruktur kian mempermudah distribusi barang dan pergerakan penduduk. Tidak tertutup kemungkinan, ke depan arus mudik sekaligus migrasi akan semakin kencang seiring laju percepatan pembangunan infrastruktur.
Sementara, pada sisi lain para pemudik yang membawa serta kerabat saat kembali dari daerah menjadi peristiwa yang sering disorot pasca-Lebaran. Dengan berulangnya peristiwa ini, Jakarta terbukti masih menjadi daya tarik bagi pendatang untuk mengadu nasib.
Di tengah wacana kepindahan ibu kota, Jakarta masih menjadi pusat perekonomian yang tentu memberikan tawaran bagi para pendatang. Misalnya, dari segi upah minimum provinsi di DKI Jakarta yang pada 2015 tercatat Rp 2,7 juta per bulan.
Besaran upah minimum itu berada jauh di atas rata-rata upah minimum minimum nasional di tahun yang sama sekitar Rp 1,7 juta per bulan. Bahkan, tahun ini upah minimum buruh DKI Jakarta sudah naik menjadi Rp 3,6 juta per bulan.
Gambaran penghasilan yang lebih besar ketimbang berusaha di daerah asal tak urung membuat sebagian orang tergoda untuk bermigrasi. Kenyataannya, ada sebagian penduduk yang bermigrasi dari daerah-daerah ke DKI Jakarta ini yang berhasil mengadu nasib, tetapi tidak sedikit juga yang gagal.
Kisah pahit para pendatang yang tidak bisa bersaing ditemukan dalam angka pengangguran atau menjadi pekerja di sektor non-formal, seperti pedagang kaki lima. Merujuk pada data Badan Pusat Statistik, angka pengangguran terbuka di Jakarta per Februari 2019, persentase pengangguran di Jakarta masih berada di atas rata-rata persentase nasional kendati sudah mengalami penurunan 0,12 persen.
Migrasi daerah lain
Lalu, apakah hanya Jakarta yang patut menjadi kota tujuan bagi pendatang? Nyatanya, beberapa kota asal migran memiliki daya tarik yang tak kalah jauh daripada ibu kota. Bahkan, aspek pemikat dari kota-kota itu tidak hanya melulu pada ketersediaan lapangan pekerjaan.
Dalam Indeks Kota Cerdas Indonesia 2018 yang dipublikasikan Kompas, sebagian besar kota asal migran menempati posisi atas di setiap kelompok kota. Untuk memberikan penilaian 93 kota seluruh Indonesia (kecuali DKI Jakarta karena terdaftar sebagai kota administratif), IKCI memberikan empat penggolongan kota menjadi kota metropolitan, kota besar, kota sedang, dan kota kecil.
Penggolongan ini berdasarkan jumlah penduduk di kota tersebut sehingga jika merujuk kembali ke kota asal migran, tidak ada yang masuk dalam kategori kota kecil.
Adapun, terdapat enam dimensi yang menjadi tolak ukur penilaian IKCI. Keenamnya ialah lingkungan hidup, mobilitas, pemerintah, ekonomi, masyarakat, dan kualitas hidup. Dalam konsep ini, kota cerdas terkait dengan aneka usaha memecahkan masalah warga kota serta mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan.
Dari tabel di atas, perolehan skor IKCI 2018 kota-kota asal migran dapat dikatakan cukup baik. Paling atas, Kota Surabaya menduduki peringkat pertama dari 93 kota yang dinilai. Bahkan, Kota Pahlawan ini memperoleh skor tertinggi di keenam dimensi yang dinilai.
Sebagai kota cerdas, Surabaya memiliki sejumlah program dan fasilitas yang mendukung kehidupan warganya. Misalnya, adanya Surabaya Single Window (SSW) yang memudahkan warga dalam urusan administratif serta penyediaan infrastruktur untuk layanan publik dan inklusivitas. Kota yang dihuni 1,7 juta penduduk pada 2016 ini berhasil memanfaatkan teknologi sebagai jembatan guna mendorong industri kreatif.
Dari kesembilan kota tujuan pemudik, hanya Kota Tegal yang memperoleh skor IKCI terendah, yakni 43,9 poin. Kendati demikian, bukan berarti kota seluas 39,7 kilometer persegi ini tidak memiliki daya tarik. Peluang justru terlihat jelas karena pemanfaatan teknologi di kota ini belumlah maksimal. Maka, peluang usaha justru terbuka lebar bagi warga-warga yang dapat memanfaatkan teknologi.
Pemanfaatan teknologi di Kota Tegal terlihat dengan munculnya industri kecil menengah (IKM) yang menjadi sektor unggulan. IKM yang paling tampak mulai merangkak naik ialah industri logam yang memproduksi beragam komponen otomotif.
Dalam IKM, Pemerintah Kota Tegal turut membantu pelaku industri dalam mencari ”ayah angkat” atau perusahaan yang ingin bermitra menjadi konsumen yang akhirnya menetapkan mutu dan kualitas produk sehingga layak dipasarkan.
Kembali ke persoalan pemudik dan migran, temuan di atas dapat menjadi rujukan bahwa kota asal migran sesungguhnya menawarkan peluang usaha yang tak kalah menarik dibandingkan Jakarta.
Belum lagi, komponen hidup lainnya di Jakarta juga patut dipertimbangkan, seperti harga hunian, kondisi lingkungan hidup, biaya hidup, dan ketatnya persaingan antarunit usaha. Maka, untuk apa datang ke Jakarta apabila peluang sebenarnya di depan mata? (LITBANG KOMPAS)