Pemerintah Kabupaten Purwakarta menggelar malam takbiran bertajuk Festival Dulag, Selasa (4/6/2019). Momen ini diharapkan dapat menyatukan berbagai perbedaan untuk menyambut hari yang fitri dan penuh kemenangan.
Oleh
MELATI MEWANGI
·2 menit baca
PURWAKARTA, KOMPAS — Pemerintah Kabupaten Purwakarta menggelar malam takbiran bertajuk Festival Dulag, Selasa (4/6/2019). Momen ini diharapkan dapat menyatukan berbagai perbedaan untuk menyambut hari yang fitri dan penuh kemenangan.
Festival ini pertama kali digelar tahun 2009. Tahun ini, festival digelar di sepanjang 350 meter Jalan KK Singawinata, Purwakarta. Dulag atau beduk menjadi primadona yang digunakan dalam festival ini. Sejumlah elemen masyarakat dan dinas pemerintahan ikut berpartisipasi.
Perbedaan hiasan tak berarti ingin menonjolkan kelompok tertentu. Justru perbedaan itu melebur dalam satu tujuan, yaitu menyambut kemenangan.
”Malam ini menjadi momentum untuk mempersatukan berbagai elemen masyarakat pascapemilu. Tidak ada lagi demi kepentingan kelompok, tapi kita sama-sama meraih kemenangan,” kata Anne Ratna Mustika, Bupati Purwakarta.
Suasana malam itu ramai dengan tabuhan beduk yang dimainkan warga. Berbagai ornamen yang menghiasi beduk menjadi daya tarik tersendiri bagi pengunjung. Ada yang dihiasi dengan pohon pisang dan buahnya, lampu kerlap-kerlip, hingga anyaman janur.
Menurut Sekretaris Daerah Purwakarta Iyus Permana, tabuhan dulag atau beduk diharapkan dapat menggaungkan semangat kebajikan dan meningkatkan nilai keimanan.
Beduk, kata Iyus, merupakan simbol dan tradisi kebudayaan agama Islam di Indonesia yang harus dilestarikan. Adanya kegiatan ini diharapkan dapat merangsang dan memotivasi masyarakat untuk meneruskan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.
Kebersamaan
Mayoritas pengunjung larut dalam kebersamaan. Sebagian ada yang penasaran memainkan beduk secara langsung. Hendra (33), warga Kecamatan Nagri Kaler, misalnya, datang ke festival itu bersama istri dan anaknya. Dia begitu antusias mencoba berbagai beduk sampai keringat mengalir dari pelipisnya.
Bagi Hendra, acara tersebut menjadi ajang tersendiri dalam mengenalkan nilai budaya dan agama kepada anaknya. ”Anak saya sering melihat beduk di masjid, tapi di sini lebih berwarna. Semoga budaya ini tetap berlangsung sampai anak saya dewasa,” katanya.
Hal serupa dirasakan Tatang (40), warga Jakarta yang tengah mudik ke Purwakarta. Setiap tahun, dia bersama keluarganya selalu menyempatkan mampir ke festival itu. Kebersamaan antarwarga, lanjutnya, sangat terasa di sini, berbeda dengan yang dia rasakan di Jakarta.
”Di sini, kami bisa bertemu dan mengobrol dengan masyarakat lain, padahal kami tidak saling mengenal,” ujarnya.