Bulan Ramadhan 2019 ini menjadi momen yang tepat untuk "move-on" atau melanjutkan hidup dan dan legowo melepas masa yang telah berlalu. Berkah Ramadhan ini pun terasa kian berarti, setelah rangkaian peristiwa terkait Pemilu menyebabkan keretakan di masyarakat.
"Proses ini bisa dimulai dengan lebih membuka diri untuk mengucapkan dan menerima kata “maaf”," kata Koordinator Nasional Jaringan Gusdurian Indonesia Alissa Wahid saat dihubungi di Jakarta, Sabtu (25/5/2019).
Alissa mengatakan, ia merasa bersyukur, ramainya berbagai perbedaan pendapat di masyarakat dalam panasnya Pemilu tahun ini beriringan dengan berlangsungnya Ramadhan. Momen ini membuat orang-orang berpikir untuk menahan diri dari amarah dan hawa nafsu, karena masih menjalani ibadah dalam bulan suci ini. Ia sulit membayangkan bagaimana situasi ini akan berakhir apabila Pemilu ini tak berdekatan dengan Ramadhan.
Menurutnya, akar masalah dari tajamnya perbedaan karena masyarakat terlalu menginternalisasi pilihan politik mereka. Padahal, pilihan politik itu semestinya hasil pemikiran rasional, sehingga tidak perlu dibawa ke dalam perasaan.
Kondisi bertambah parah apabila perbedaan pilihan tersebut terjadi di dalam keluarga. Sebab, seseorang biasanya tampil lebih apa adanya kepada orang-orang terdekat mereka.
Akibatnya, ada kecenderungan untuk lebih menuntut, bahkan memaksakan pilihan politiknya. “Bila pilihan politik terlalu kita internalisasi, dibawa sampai ke hati, maka saat ada perbedaan di keluarga terkait pilihan politik pun menjadi semakin terasa," ujarnya.
Padahal, kata Alissa, toh pihak yang menang nantinya juga akan menjadi presiden seluruh warga Indonesia. Sehingga siapapun yang terpilih sebagai kepala negara juga memiliki tanggung jawab terhadap kesejahteraan setiap warga negara.
Sosiosentrik
Alissa mengatakan, sejak dulu, masyarakat Indonesia memang memiliki ciri sosiosentrik. Ciri ini menimbulkan kecenderungan masyarakat untuk berkelompok berdasarkan daerah tertentu. Dampak ikutannya juga menganggap kelompoknya lebih baik dari yang lain. Perjuangan pahlawan-pahlawan di Indonesia pun dulunya bersifat kedaerahan.
Walaupun begitu, kata Alissa, perlu diingat pula bahwa Indonesia telah disatukan oleh nilai-nilai bersama, yakni Pancasila. Masyarakat Indonesia perlu menyadari bahwa nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila itu telah dirumuskan oleh leluhur untuk menjaga kerukunan Indonesia yang terdiri lebih dari 300 kelompok etnis ini.
“Bila ditanya, bagaimana masyarakat Indonesia semestinya bersikap, maka kita kembali mengacu pada Pancasila. Walau masyarakat kita cenderung sosiosentrik, namun perlu diingat bahwa nilai kebersamaan ini lahir sejak Sumpah Pemuda pada 1928, kemudian kita memiliki kesepakatan bersama dalam Pancasila pada 1945. Tentunya, sebagai masyarakat Indonesia, kita harus menjaga keseimbangan antara menjaga nilai ke-Indonesia-an, di lain sisi juga perlu menjaga nilai kedaerahan masing-masing,”
Mengenai kerukunan, Alissa mengutip pernyataan Gus Dur, "Yang sama jangan dibeda-bedakan, yang beda jangan disama-samakan". Dalam konteks politik, pernyataan itu bisa diterjemahkan bahwa beda pilihan tak seharusnya jadi masalah, selama seseorang itu punya tujuan yang sama dalam memajukan bangsa Indonesia.
"Ya sudah, berarti kita punya kesamaan, sama-sama punya harapan untuk Indonesia. Sama-sama ingin ekonomi maju, sama-sama ingin masyarakat lebih sejahtera, lalu kenapa harus ribut?" katanya. (DIV)