Pemerintah Provinsi Bali mengalokasikan dana bantuan bagi lebih dari 1.490 desa adat di Provinsi Bali menyusul pemberlakuan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat di Bali.
Oleh
COKORDA YUDISTIRA
·4 menit baca
GIANYAR, KOMPAS — Pemerintah Provinsi Bali mengalokasikan dana bantuan bagi lebih dari 1.490 desa adat di Provinsi Bali menyusul pemberlakuan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat di Bali. Pengalokasian anggaran dan penyediaan sarana bagi majelis desa adat bertujuan menjaga dan mengukuhkan eksistensi desa adat sebagai benteng budaya, adat, dan kearifan lokal Bali.
Majelis desa pekraman atau pimpinan pengurus desa adat di Bali pun menyambut baik pemberlakuan peraturan daerah (perda) tersebut. Perda itu ditetapkan DPRD Bali dalam rapat paripurna pada 2 April 2019. Keberadaan perda ini menggantikan Perda Bali Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pekraman.
Setelah pendaftaran ke Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan konsultasi antara pihak Pemprov Bali dan Kemendagri, perda itu pun resmi diundangkan dalam Lembaran Daerah Bali Nomor 4 Tahun 2019 pada 28 Mei lalu.
”Setelah perda ini diundangkan, perda resmi dinyatakan berlaku,” kata Sekretaris Daerah Provinsi Bali Dewa Made Indra dalam acara pencanangan pelaksanaan dan penandatanganan prasasti Perda Bali No 4/2019 di gedung wantilan Pura Samuan Tiga, Desa Bedulu, Kecamatan Blahbatuh, Gianyar, Selasa (4/6/2019).
Indra mengatakan, Gubernur Bali memahami perda ini penting bagi masa depan Bali. Karena itu, perda ini harus disampaikan kepada masyarakat sehingga jelas isi dan tujuannya. Acara itu pun dihadiri sejumlah bupati, kepala desa, bendesa (pimpinan) desa adat, dan majelis desa pekraman di Bali.
Gubernur Bali Wayan Koster menerangkan, perda itu menjadi hal khusus yang diberikan pemerintah kepada Bali. Menurut dia, perda itu tidak mengikuti ketentuan Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, tetapi menggunakan ketentuan dalam UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. ”Ini hal luar biasa dan baru pertama kali diberikan ke daerah, yakni Bali,” kata Koster.
Kehadiran perda tentang desa adat di Bali diharapkan membawa sinergi antara pemerintah desa dan pemerintah desa adat di Bali. Dengan mengikuti ketentuan UU No 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah, ujar Koster, pemerintah daerah diberikan kewenangan mengatur institusinya di daerah berdasarkan kearifan lokal.
”Perda tentang desa adat di Bali ini menjadi semacam lex specialis (aturan bersifat khusus),” ujar Koster.
Tri Hita Karana
Perda Bali Nomor 4 Tahun 2019 itu terdiri dari 18 bab dan 104 pasal. Koster mengatakan, perda tersebut mengatur desa adat sebagai subyek hukum. Tiga unsur pokok desa adat, yakni parahyangan (hubungan dengan Tuhan), palemahan (hubungan dengan lingkungan), dan pawongan (hubungan antarorang), merupakan perwujudan konsep Tri Hita Karana.
Berdasarkan perda itu, ujar Koster, akan dibentuk instansi perangkat daerah yang menangani urusan desa adat. Selain itu, Pemprov Bali berkewajiban mengalokasikan anggaran dana untuk desa adat, majelis desa adat, serta memfasilitasi sarana dan prasarana majelis desa adat.
Hal itu dinyatakan menjadi implementasi visi pembangunan Bali, yakni ”Nangun Sat Kerthi Loka Bali” menuju Bali era baru.
Mulai tahun 2020, ujar Koster, Pemprov Bali akan mengalokasikan anggaran sebesar Rp 300 juta untuk setiap desa adat. Adapun saat ini tiap desa adat mendapatkan Rp 250 juta. Pemprov Bali bersama pemerintah kabupaten/kota juga menyiapkan kantor bagi majelis desa adat, sekaligus tenaga administrasi dan kendaraan operasional.
”Majelis desa adat akan satu gedung dengan Parisada (Parisada Hindu Dharma Indonesia) sehingga memudahkan kedua lembaga ini berkoordinasi. Ini harus sejalan karena adat dan agama harus berjalan bersama,” ujar Koster.
Bendesa Agung (Ketua Umum) Majelis Utama Desa Pakraman (MUDP) Bali Jro Gde Suwena Putus Upadhesa menyatakan, majelis desa adat dan masyarakat desa adat di Bali mengucapkan syukur ”Astungkara” karena kehadiran perda tentang desa adat akan menguatkan dan memberikan legitimasi hukum kepada desa adat.
”Sejak dirancang Mpu Kuturan di Pura Samuan Tiga ini, desa adat merupakan wadah pekraman dalam menjaga adat, budaya, dan tradisi yang bersumber dari ajaran agama,” kata Jro Suwena.
Ia menambahkan, penyediaan sarana dan prasarana bagi majelis desa adat serta pengalokasian anggaran bagi desa adat akan membantu majelis desa adat dan desa adat menjalankan tugas dan kewenangannya.