Lagi, Pengelola HTI Diperintahkan Revisi Rencana Kerja Usaha
Oleh
ICHWAN SUSANTO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemegang izin hutan tanaman di area gambut diperintahkan untuk merevisi rencana kerja usaha kehutanan. Ini disesuaikan dengan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 10 tahun 2019 tentang Penentuan dan Penetapan Puncak Kubah Gambut.
Kebijakan ini untuk memfasilitasi ketelanjuran pemberian izin masa lalu yang memperbolehkan pemanfaatan hutan/lahan bergambut untuk izin hutan tanaman industri. Dalam menyusun revisi, pemegang konsesi wajib menyesuaikan dengan peta fungsi ekosistem gambut beserta penentuan puncak kubah gambut maupun dokumen rencana pemulihan gambut.
Sekretaris Jenderal Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Bambang Hendroyono, Senin (3/6/2019), di Jakarta, mengatakan peta fungsi ekosistem gambut hasil verifikasi lapangan terbaru ini sedang disusun Ditjen Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan KLHK. “Atas (peta) fungsi ekosistem gambut terkoreksi ini nanti perusahaan bisa menyusun Rencana Kerja Usaha (RKU) sampai 2026,” kata dia.
Ia pun mengatakan, KLHK juga telah menerbitkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 11 tahun 2019 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.30/Menhut-Ii/2014 tentang Inventarisasi Hutan Menyeluruh Berkala Dan Rencana Kerja Pada Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman Industri. Dalam pertimbangan disebutkan, pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hutan Tanaman perlu merencanakan kembali pengelolaan areal gambut dalam wilayah kerjanya agar fungsi ekologis Ekosistem Gambut dalam mendukung kelestarian keanekaragaman hayati, pengelolaan air, sebagai penyimpan cadangan karbon, penghasil oksigen, dan penyeimbang iklim dapat tetap terjaga.
Ditanya revisi ini merupakan kedua kalinya dalam periode lima tahun ini (Kompas, 23 Februari 2017), Bambang Hendroyono menampiknya. Ia mengatakan RKU saat itu ditumpang-susun dengan peta fungsi lindung dan peta fungsi budidaya untuk menyesuaikan dengan P17 tahun 2017 tentang Perubahan Permen LHK Nomor 12 Tahun 2015 tentang Pembangunan HTI.
Namun atas uji materi yang diusung Dewan Pimpinan Daerah Provinsi Riau-Konfederasi Pekerja Seluruh Indonesia (DPD Riau-K SPSI), Mahkamah Agung membatalkan P17 tersebut. Ketentuan yang menjadi dasar gugatan, antara lain, kewajiban perusahaan HTI mengalihfungsikan kawasan gambut dalam (lebih dari 3 meter) yang semula diberi izin budidaya menjadi fungsi lindung dan perusahaan boleh memanen kayu HTI hanya untuk satu daur dan kemudian menghentikan penanaman (Kompas, 18 Oktober 2017).
Bambang mengatakan, fungsi lindung pada gambut masih boleh dimanfaatkan apabila telanjur dibebani izin. Pemegang konsesi masih diperkenankan mengelola area tersebut hingga izin berakhir dengan menjaga kelembaban dan tata hidrologis gambut.
Fungsi lindung pada gambut masih boleh dimanfaatkan apabila telanjur dibebani izin.
“(revisi) RKU ini makin menjadikan bisnis kuat karena akan terlihat daerah mana yang akan dimanfaatkan dan mana yang dilindungi,” kata dia. Ia pun menandaskan pengelolaan gambut dalam kesatuan hidrologis gambut ini ingin menjaga neraca air tetap merata baik musim hujan dan kemarau.
Revisi RKU ini nanti juga berisi penentuan lokasi puncak kubah gambut yang masih dapat terus dimanfaatkan dengan menggantikan fungsi hidrologis Gambut dari Puncak Kubah Gambut lainnya. Puncak kubah gambut tersebut hanya boleh dimanfaatkan pemegang konsesi kehutanan selama satu daur (lima tahun untuk tanaman akasia) dan hingga izin berakhir untuk perkebunan.
Namun sejumlah aktivis lingkungan memprotes penentuan dan pengelolaan puncak kubah gambut ini. Irwansyah Reza Lubis, Koordinator Program Komunitas, Keanekaragaman Hayati, dan Perubahan Iklim Wetlands International Indonesia, menyayangkan gambut masih bisa dimanfaatkan untuk kegiatan ekstraktif hingga izin berakhir. Pada izin kehutanan yang mencapai 60 tahun dan dapat diperpanjang kembali hingga 100 tahun, ia mengkhawatirkan kerusakan gambut semakin berat dan kian tak terpulihkan.
Terkait puncak kubah gambut, ia mengatakan terminologi ini tak terdapat dalam PP 71 tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut maupun PP 57/2016, penggantinya. Ia menjelaskan puncak kubah pada gambut bukan seperti gunung yang bentuknya sangat piramid dan ada “peak”-nya.
“Kalau gambut itu adanya pun cembung seperti dome. Dan di lapangan pun tidak akan rata. Jadi kami tidak pernah menggunakan kubah sebagai patokan, tapi KHG (Kesatuan hidrologi Gambut). Kalau puncak kubah gambut kan pasti daerahnya paling tinggi, padahal di lapangan itu kenyataannya ada gambut-gambut di pesisir,” kata dia.
Kalau puncak kubah gambut kan pasti daerahnya paling tinggi, padahal di lapangan itu kenyataannya ada gambut-gambut di pesisir.
Direktur Program Hutan dan Perubahan Iklim Yayasan Madani Berkelanjutan Anggalia Putri Permatasari mengatakan P10 tersebut terdapat kerancuan nomenklatur. Semisal pada “pemanfaatan” pasal 8 ayat 3 yang bisa dimaknai penerbitan izin baru atau izin pemanfaatan yang telah diberikan sebelum peraturan diterbitkan.
“Ketidakjelasan ini akan berimplikasi melanggar ketentuan pasal 21 ayat (1) PP 71/2014 Jo PP 57/2019 karena alat ukur yang digunakan dalam PP ini adalah fungsi lindung ekosistem gambut sekalipun dalam pelaksanaannya terlebih dahulu menentukan puncak kubah gambut,” kata dia.