Pengurus wihara di Malang dan kelenteng di Jakarta berinisiatif menyediakan hidangan berbuka kepada warga Muslim yang beribadah puasa. Dengan prinsip welas asih, mereka berbagi tanpa ada sekat perbedaan.
Jarum jam masih menunjuk pukul 16.30. Namun, Mistin (57) dan belasan warga Muslim lain sudah bersiap untuk berbuka puasa bersama di Wihara Bodhimanda-Sanggar Suci, Lawang, Kabupaten Malang, Jawa Timur, Kamis (23/5/2019). Acara berbuka bersama itu digelar Paguyuban Metta yang sebagian besar anggotanya umat Buddha.
Menjelang waktu berbuka puasa, warga yang datang semakin ramai. Panitia mulai menata hidangan. Puluhan piring diisi nasi lengkap dengan sayur. Menu yang disajikan selalu berbeda setiap hari. ”Kemarin menunya bakmoy, terkadang rawon dan menu lain. Kalau teh hangat selalu ada,” kata salah seorang panitia.
Mistin rutin mengikuti kegiatan berbuka puasa di Wihara Sanggar Suci sejak awal Ramadhan. ”Sudah empat tahun saya juga ikut berbuka di sini,” ujar Mistin. Selain Mistin, sebagian besar peserta berbuka puasa adalah warga dengan ekonomi lemah, anak jalanan, sopir angkutan kota, dan pengguna jalan yang melintas.
Warga setempat antusias dan mengapresiasi sikap toleransi dari Paguyuban Metta untuk menyajikan hidangan berbuka puasa. ”Rasanya enak. Tidak masalah siapa pun yang memasak dan apa agamanya. Ini gambaran sikap toleransi,” ucap Sulis (40), warga Desa Turirejo, Lawang, yang juga ikut berbuka puasa di wihara itu bersama istri dan anaknya.
Hampir setiap hari panitia menyediakan sekitar 150 piring nasi secara gratis untuk mereka yang berpuasa. ”Setiap hari rata-rata habis beras 18-20 kilogram,” ujar Awi, salah seorang panitia yang juga anggota Paguyuban Metta.
Buka puasa tahun ini merupakan yang ke-21 yang diselenggarakan Paguyuban Metta. Pendeta Winantea Listiahadi yang mencetuskan ide buka bersama itu pertama kali. Gagasan tersebut muncul pada awal Ramadan tahun 1998 yang juga menjadi momen bersejarah bagi Indonesia karena krisis moneter dan demonstrasi besar-besaran.
Sang Pendeta yang memimpin Wihara Sanggar Suci sejak tahun 1974 hingga 2015 tergerak karena melihat banyak makanan sumbangan dari umat Buddha yang tersisa dan menumpuk. Ia lalu berinisiatif membagikan makanan itu dalam kegiatan berbuka puasa.
Winantea memberi tahu anggota Paguyuban Metta lain terkait dengan ide itu. Rupanya gagasan tersebut disambut baik. Saat itu, Paguyuban Metta menyiapkan 80 bungkus nasi dan habis dalam waktu singkat. Dana yang tadinya diperkirakan habis Rp 6 juta membengkak menjadi Rp 22 juta sebulan. Semua dana berasal dari donasi anggota paguyuban.
Kini, menjelang Lebaran, tidak hanya hidangan buka puasa yang diberikan, tetapi juga bingkisan, seperti beras dan makanan. Apa yang mereka lakukan turut mewarnai kehidupan toleransi di Malang.
Berbuka di kelenteng
Tidak hanya di Malang, kegiatan berbuka puasa yang digelar warga non-Muslim juga ada di Kelenteng Kim Tek Le atau dikenal sebagai Wihara Darma Bhakti di Jalan Petak Sembilan, Glodok, Jakarta.
Selama bulan Ramadhan, Kelenteng Kim Tek Le membagikan hidangan berbuka puasa kepada umat Muslim setiap hari. Sehari disediakan sekitar 300 porsi. Makanan berbuka itu dibagikan gratis kepada siapa saja yang datang.
Setiap orang mendapatkan satu piring nasi, kolak, teh manis, dan air mineral. Umat Muslim dan Buddha makan bersama di kelenteng itu. Mereka berbaur tanpa ada sekat perbedaan agama. Suasana penuh keakraban begitu terasa. Pendar lampion merah menerangi suasana toleransi itu.
Asep (46), warga Kebon Nanas, Jakarta Timur, mengaku sudah dua kali ikut berbuka puasa di kelenteng. ”Menunya enak, lagian tidak perlu bayar,” kata Asep yang bekerja di Pasar Glodok.
Kegiatan buka puasa bersama di kelenteng juga menarik minat wisatawan lokal. Seperti Andri, warga Bandung, seorang penulis lepas. ”Ketika kelenteng yang menyediakan makanan berbuka puasa, itu menunjukkan hubungan umat beragama di sini cukup harmonis,” kata Andri.
Koordinator kegiatan di Kelenteng Kim Tek Le, Lucas Tjang, mengatakan, kegiatan berbuka puasa bersama di kelenteng telah berjalan dua tahun. Penyediaan makanan buka puasa sebagai bentuk penghargaan kepada umat Muslim yang sedang beribadah puasa.
”Dalam ajaran Buddha ada istilah welas asih atau berbagi kasih sayang kepada sesama. Jadi, ini bentuk kasih sayang kepada sesama umat,” kata Lucas Tjang. (WER/AIN)