"Semua rumah (berarsitektur) China, seluruh jalan, parit, dan kanal, bertaburan mayat orang China, yang telah terbunuh dengan segala macam cara atau bunuh diri. Sementara itu, pria lain sibuk merampas harta benda para korban. Ini berlangsung sepanjang hari," demikian kesaksian Johann Heinrich Schröder yang ditulis Mary Somers Heidhues, ahli sejarah asal Jerman, dalam jurnal Archipel 77 yang terbit tahun 2009.
Schröder termasuk salah satu serdadu Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) yang turut melakukan "pembersihan" warga China di Batavia, sebutan lama untuk Jakarta, pada 9-22 Oktober 1740. Pembunuhan massal terjadi karena kecemburuan VOC terhadap kemajuan ekonomi etnis China dan pelonjakan imigran China di Batavia.
Hembing Wijayakusuma dalam Pembantaian Massal 1740 menyebut tak kurang dari 10 ribu jiwa menjadi korban atas tragedi kemanusiaan tersebut. Tua-muda, pria-wanita, bahkan bayi hingga lansia, dihabisi dengan membabi-buta dalam tragedi yang terkenal dengan nama "Geger Pecinan" itu.
Lambat laun, warga China yang ingin selamat pun harus membaur dengan penduduk Nusantara. Mereka meleburkan diri dengan memeluk agama yang dianut oleh penduduk setempat.
Adolf Heuken SJ dalam Mesjid-mesjid Tua di Jakarta menuliskan, sesudah pembunuhan massal orang China pada tahun 1740, banyak orang China pindah ke agama Islam supaya dianggap penduduk Nusantara dan kemudian merasa lebih aman.
Adolf Heuken SJ dalam Mesjid-mesjid Tua di Jakarta menuliskan, sesudah pembunuhan massal orang China pada tahun 1740, banyak orang China pindah ke agama Islam supaya dianggap penduduk Nusantara dan kemudian merasa lebih aman.
Sepakat dengan hal itu, pemerhati sejarah Batavia, Andy Alexander, mengungkapkan, salah satu tempat yang disasar saat itu adalah Kampung Arab di Pekojan, Jakarta Barat. Kampung tersebut diketahui menjadi tempat permukiman orang-orang Arab Yaman dari Hadramaut yang diyakini telah berdatangan ke Nusantara sejak abad 13.
"Mereka (orang-orang China) menyamarkan identitasnya dengan menjadi mualaf dan membaur di Kampung Arab itu. Belanda tak ada kekuatan untuk mengejar orang Muslim. Kalau berhadapan dengan muslim, urusannya makin luas," ujar Andy dalam kegiatan "Pelesiran Tempo Doeloe" yang digagas Yayasan Sahabat Museum pada akhir Mei lalu.
Jejak itu tampak dari sejumlah masjid bergaya campuran, Arab dan China, yang dibangun pada abad ke-18, di antaranya Masjid Angke atau Masjid Al-Anwar (1761), Masjid Tambora (1761), Masjid Krukut (1785), dan Masjid Jami Kebon Jeruk (1786).
"Kebanyakan adalah sumbangan dari orang-orang China atau arsitekturnya orang China," tutur Andy.
Saudara ibu
Irisan itu rupanya tak hanya tampak dari tempat ibadah, tetapi juga tempat tinggal. Para keturunan Arab dan peranakan China terus hidup berdampingan hingga sekarang di Kampung Arab.
Bagi peranakan China, kawasan Pekojan dinilai sebagai kawasan Kepala Naga, yang membawa peruntungan bagi bisnis mereka. Tak heran, kawasan itu ramai dijumpai pertokoan.
Sedangkan, bagi para keturunan Arab, rumah yang ada merupakan warisan leluhur sehingga patut dijaga.
"Usia rumah ini sekitar 175 tahun. Mayoritas (kondisi rumah) masih utuh sampai atap dan gentingnya. Kami harus jaga karena ini warisan," tutur Idrus bin Ali Shahab (48), keturunan generasi keempat dari marga Shahab.
Shahab merupakan salah satu marga Alawiyin alias keturunan Nabi. Selain Shahab, ada pula Al Attas, Al Jufri, Assegaf, Al bin Jidan, Al Habsyie, Al Basurah, dan Al Bayti.
Idrus menyebut, dalam satu rumah seluas 500 meter persegi itu, diisi dua keluarga, dengan total ada tujuh orang di dalamnya.
Hanya sekitar 200 meter dari rumah Idrus, ada satu rumah Arab Betawi yang berdekatan dengan Masjid An-Nawier, salah satu masjid tua di Batavia yang dibangun pada tahun 1760. Di sekitaran itu, pertokoan warga China peranakan juga ikut menghiasi.
Pemilik rumah Arab Betawi, Husein bin Sholeh Al-Habsyi (50) menegaskan, dari dulu, tak pernah ada masalah perbedaan antara warga China peranakan dengan keturunan Arab, bahkan dengan warga dengan etnis lain sekalipun. Bagi kalangan Arab, mereka adalah ahwal atau saudara ibu.
Bagi kalangan Arab, mereka adalah ahwal atau saudara ibu.
"Jadi, tak ada perbedaan. Kita malah membaur. Jadi, sejak dulu kekuatan toleransinya kental sekali. Kami saling menghormati saja. Karena perkataan Nabi, siapa yang menghargai, mencintai, daripada keturunanku, aku pun akan menghargai dan mencintai keturunannya," kata Husein.
"Jadi, tak ada perbedaan. Kita malah membaur. Jadi, sejak dulu kekuatan toleransinya kental sekali. Kami saling menghormati saja. Karena perkataan Nabi, siapa yang menghargai, mencintai, daripada keturunanku, aku pun akan menghargai dan mencintai keturunannya," kata Husein.
Toleransi
Ternyata, kekuatan toleransi itu juga dirasakan oleh Natalia (57), peranakan China yang mulai hidup di Kampung Arab pada umur 7 tahun, tepatnya pada tahun 1969. Dia bercerita, selama lebih 10 tahun tinggal di Kampung Arab, tak ada sekat antara etnis satu dengan yang lain. Semua bermain bersama.
"Kami berbaur antara China pendatang, Arab Pekojan, penduduk asli Betawi, dan China Betawi. Empat unsur ini. Kami main tanpa ada, \'kamu siapa, aku siapa\'. Orang tua kami juga enggak khawatir kalau kami bermain bersama," ujar Natalia yang kini tinggal di Australia.
Bahkan, Natalia ingat betul, setiap Lebaran tiba, dirinya dan keluarga tak pernah absen mengunjungi rumah-rumah para keturunan Arab di kampung. Hal sebaliknya juga dilakukan para keturunan Arab saat dia merayakan Imlek.
"Jadi, kami giliran saja sebagai bentuk penghormatan satu sama lain," tutur Natalia.
Hingga pada saat Peristiwa Malapetaka 15 Januari 1974 (Malari) berkecamuk, Natalia benar-benar memperoleh kenyamanan dan keamanan saat berada di kampungnya. "Kami sekeluarga sudah ketakutan karena banyak terjadi pembakaran. Tetapi, ketika kami sampai di kampung sendiri, lega rasanya, aman," katanya.
"Kami sekeluarga sudah ketakutan karena banyak terjadi pembakaran. Tetapi, ketika kami sampai di kampung sendiri, lega rasanya, aman," katanya.
Kampung Arab telah menunjukkan sejatinya sebuah kampung tak hanya sekadar menjadi tempat tinggal, tetapi tempat untuk saling berbagi, terutama berbagi rasa, entah itu kebahagiaan, maupun ketakutan. Semua harus saling menjaga demi kenyamanan bersama, tanpa ada sekat. Semoga Kampung Arab tak hanya menjadi rumah toleransi di Batavia, tetapi menular ke seluruh Nusantara.