Seperti orang Melayu yang pandai berpantun dan menyelipkan isi pesan di bawah sampiran yang jenaka, begitu pula para pedagang takjil di pasar kampung tua Tanjung Uma, Kota Batam, Kepulauan Riau. Tuntutan pengakuan hak atas tanah leluhur dibenamkan di balik sajian warna-warni penganan yang manis nan lezat.
Waktu shalat Ashar baru saja usai saat jalan desa di Tanjung Uma mendadak riuh, Rabu (15/5/2019). Debu kemerahan mengepul ke udara ketika puluhan mobil dan motor datang ke arah pasar. Tujuannya hanya satu, berburu hidangan laut dan jajanan tradisional untuk berbuka puasa.
Suasana di pasar kecil itu tiba-tiba berubah seperti alun-alun. Warga kampung yang baru pulang dari masjid dengan cepat berganti pakaian untuk berdagang makanan. Tanpa membuang waktu, mereka segera menawarkan dagangan kepada para pembeli yang kian ramai.
”Ada kakap merah, ikan pari, juga sotong. Semuanya segar, sehat, dan bergizi, cocok untuk berbuka atau disimpan buat sahur,” seru salah satu penjual menawarkan dagangannya.
Sejak puluhan tahun lalu, setiap Ramadhan tiba, kampung tua di Kelurahan Tanjung Uma, Kecamatan Lubuk Baja, itu dikenal sebagai surga berburu takjil. Ratusan orang dari berbagai penjuru Batam setiap sore datang membeli takjil di tempat itu.
Kini, momen bulan puasa itu bagi warga kampung tua Tanjung Uma bukanlah sekadar kesempatan untuk mencari penghasilan tambahan. Ada misi besar yang mereka emban di balik kepulan asap kakap bakar dan sotong pedas yang dipajang menggoda mata pembeli.
”Sejak 2004, kami berjuang agar wilayah ini diakui sebagai kampung tua. Dengan semakin banyak orang datang ke tempat ini, harapannya akan banyak pula dukungan yang mengalir,” kata Ketua Rumpun Khazanah Warisan Batam Machmur Ismail.
Yang dimaksud sebagai kampung tua adalah permukiman warga Melayu yang sudah ada sebelum Otorita Batam dibentuk pada 1973. Di Batam, tercatat ada 33 lokasi yang dimohonkan warga untuk ditetapkan menjadi kampung tua. Tujuh lokasi di antaranya saat ini sudah diakui pemerintah.
Dulu, lahan milik warga yang berupa ladang dibeli Otorita Batam seharga Rp 10. Jumlah uang itu cuma cukup untuk beli mancis (korek api).
Machmur menjelaskan, keinginan mereka hanya satu, yaitu memiliki sertifikat hak milik atas tanah leluhur itu. ”Pemerintah boleh menggunakan tanah mana pun untuk membangun apa pun yang mereka mau, tetapi kami mohon jangan di kampung ini,” ujar Machmur.
Selama kurun waktu 2008 hingga 2016, berkali-kali warga kampung tua turun ke jalan untuk menuntut agar aspirasi mereka didengar pemerintah. Pada masa itu konflik antara warga dan pengusaha juga pernah terjadi akibat perebutan hak atas tanah tersebut.
”Dulu, lahan milik warga yang berupa ladang dibeli Otorita Batam seharga Rp 10. Jumlah uang itu cuma cukup untuk beli mancis (korek api). Kami tidak protes karena itu demi kepentingan negara,” kata Machmur.
Pendatang
Seiring perkembangan zaman, kampung tua Tanjung Uma juga ikut berubah. Kini, mayoritas penduduk di lokasi itu adalah pendatang dari sejumlah wilayah di Indonesia. Rumah adat Melayu yang berarsitektur panggung juga tak tampak lagi di lingkungan itu.
Salah satu pendatang asal Riau, Nurdin (61), mengatakan, dia memiliki surat jual beli tanah dengan warga asli di Tanjung Uma. Nurdin mengaku datang pada 1982 saat sebagian besar wilayah itu masih berupa hutan bakau.
”Saya salah satu pendatang pertama. Meskipun pendatang, saya sudah dianggap seperti warga asli di sini. Tidak pernah ada pembedaan, warga asli kampung tua dan pendatang sudah berbaur rukun sejak lama,” kata Nurdin.
Hal senada diungkapkan Machmur. Ia mengatakan, warga pendatang di wilayah tapak perkampungan tua Tanjung Uma yang memiliki bukti jual beli tanah dengan warga asli akan tetap dimohonkan mendapat sertifikat hak milik.
Berdasarkan data yang dikeluarkan Badan Pengusahaan Batam pada 30 April, penyelesaian sengketa kampung tua Tanjung Uma dan lima kampung tua lain akan segera dilakukan. Menurut Machmur, pengukuran sudah dilakukan dan luas kampung tua Tanjung Uma sudah ditetapkan sebesar 63 hektar.
Wisata
Perjuangan warga kampung tua Tanjung Uma selama 15 tahun untuk mendapat pengakuan yang diwarnai aksi unjuk rasa, konflik, dan kekerasan mengajari mereka banyak hal. Pelajaran paling utama yaitu cara berdiplomasi dengan pemerintah yang kini mereka lakukan secara lebih terarah dan efektif.
”Orang Melayu itu tidak suka kekerasan. Kami sangat ramah dan suka ngopi serta mengobrol. Perasaan marah pun kami ungkapkan dengan berpantun,” kata Machmur.
Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Batam Ardiwinata mengatakan, keberadaan kampung tua Tanjung Uma dan 32 kampung tua lainnya disadari oleh pemerintah. Oleh karena itu, berbagai rencana disiapkan agar potensi kampung-kampung tua itu bisa dikelola untuk meningkatkan kesejahteraan warga.
”Menurut rencana, akan dibuat kegiatan home stay bagi wisatawan untuk menginap bersama warga. Dengan begitu, diharapkan budaya Melayu di kampung tua bisa dikenal luas dan menjadi daya tarik wisata baru,” kata Ardiwinata.
Rencana itu pun disambut baik warga kampung tua Tanjung Uma. Semakin kampung itu dikenal luas oleh wisatawan, maka semakin mudah pula mereka mendorong pemerintah untuk segera mengabulkan pengakuan terhadap tanah warisan leluhur itu.