Nama Divock Origi tidak setenar trio Liverpool, yakni Mohamed Salah, Roberto Firmino, dan Sadio Mane, yang selalu menghiasi tim utama pada musim ini. Meskipun sering mendapatkan kritik dan terpinggirkan, pemuda 24 tahun asal Belgia tersebut sering menjadi pahlawan bagi pasukan Juergen Klopp.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·5 menit baca
Nama Divock Origi tidak setenar trio Liverpool, yakni Mohamed Salah, Roberto Firmino, dan Sadio Mane, yang selalu menghiasi tim utama pada musim ini. Meskipun sering mendapatkan kritik dan terpinggirkan, pemuda 24 tahun asal Belgia tersebut sering menjadi pahlawan bagi pasukan Juergen Klopp.
Pada musim ini, Origi mencatatkan 5 gol penting yang mampu menyelamatkan Liverpool. Pada 2 Desember 2018 lalu, Origi mencetak gol ke gawang Everton di Liga Premier Inggris setelah memanfaatkan blunder Jordan Pickford pada menit akhir. Gol tersebut diciptakannya setelah masuk menggantikan Roberto Firmino pada menit ke-84.
Pada kompetisi yang sama, Origi kembali melakukan keajaiban ketika bertanding melawan Newcastle. Ia menjadi penentu kemenangan setelah mencetak gol pada menit ke-86. Meskipun dua kemenangan tersebut tidak mampu membuat Liverpool juara Liga Premier, setidaknya ”The Reds” mampu mengajak Manchester City bersaing hingga pekan terakhir.
Di Liga Champions, peran Origi lebih kentara. Ia menjadi penentu kemenangan pada dua laga terakhir yang membuat Liverpool mengangkat trofi ”Si Kuping Besar”. Ia mencetak dua gol yang menjadi mimpi buruk bagi Barcelona dan menutup pertandingan final Liga Champions melawan Tottenham Hotspur.
Sering terpinggirkan dari barisan pemain inti Liverpool, semangat Origi tidak pernah kendur atau memilih hengkang dari Anfield. Ia selalu memancarkan energi positif bagi timnya yang sulit membongkar pertahanan lawan. Origi merupakan tipikal pemain yang lebih mementingkan kebutuhan tim daripada ambisi pribadinya.
”Kami bergabung bersama tim dan pendukung. Saya pikir kami hanya melakukannya sebagai tim, kami membuat langkah maju yang positif,” ujar Origi seusai pertandingan melawan Totthenham Hotspur pada final Liga Champions, Minggu (2/6/2019).
Meskipun sering mengubah jalannya pertandingan, nasib Origi di Liverpool tidak pernah senyaman trio Liverpool. Didatangkan dari Liverpool pada 2014 dari Lille dengan harga 10 juta poundsterling atau setara dengan Rp 180,4 miliar, Origi langsung dipinjamkan ke klub Perancis tersebut selama satu musim.
Dua tahun bermain di Anfield, Origi kembali dipinjamkan ke klub Jerman, Wolfsburg, pada musim 2017/2018. Setelah berjuang bersama Wolfsburg untuk menghindari jurang degradasi, Origi dipanggil kembali ke Anfield.
Di Liverpool, Origi hanya menjadi pelapis trio Salah, Firmino, dan Mane yang menjadi pemain andalan Klopp. Musim ini, ia hanya bermain sebanyak 12 kali di Liga Premier Inggris, 8 kali di Liga Champions, dan 1 kali di Piala FA. Ia menyumbangkan 7 gol di semua kompetisi.
Origi sering mendapatkan kritik tajam dan Klopp diminta segera menjualnya. Salah satunya, ia mendapatkan kritik keras ketika Liverpool kalah dari Wolverhampton Wanderers pada Piala FA tanggal 8 Januari 2019 meskipun Origi mencetak satu gol dalam pertandingan tersebut.
Mantan gelandang Liverpool dan pandit BBC, Paul Ince, memandang, Klopp memainkan Origi dan Daniel Sturridge dalam pertandingan tersebut agar ada klub lain yang melirik mereka. ”Saya pikir Klopp memainkan mereka berdua untuk meletakkannya di jendela transfer,” ujar Ince.
Pandangan Ince tersebut dibalas dengan ejekan pembawa acara BBC, Gary Lineker, dan mantan penyerang Newcastle United, Alan Shearer, bahwa tidak akan ada yang tertarik membeli kedua pemain tersebut.
”Dilihat dari kinerjanya, tidak ada yang akan membelinya. Mereka keluar dari lapangan nyaris tanpa keringat karena mereka belum cukup berlari,” ujar Shearer.
Bakat alam
Origi sering mendapatkan kritik tajam karena gerakannya yang lambat dan kurang lincah. Ia tidak seperti Salah, Firmino, dan Mane yang selalu berlari dan menunjukkan kemampuan individu.
Padahal, Origi merupakan tipikal pemain yang pintar dalam memanfaatkan peluang yang ada dan pandai mencari posisi, seperti mantan penyerang Italia, Filippo Inzaghi. Golnya ke gawang Everton pada Liga Premier Inggris menunjukkan hal tersebut. Pada saat pemain Liverpool lain menganggap tendangan bek Liverpool, Virgil van Dijk, akan mudah ditangkap Pickford, Origi tetap mendekat ke gawang Everton.
Keputusannya tersebut membuahkan hasil. Pickford gagal menangkap bola dan Origi dengan mudah mencetak gol ke gawang Everton tanpa ada rintangan.
Kecermatan dalam memanfaatkan peluang juga terlihat pada proses gol kedua Origi ke gawang Barcelona pada semifinal kedua Liga Champions. Ia mampu menyambar tendangan sudut yang dikirimkan Trent Alexander-Arnold saat pemain lawan lengah. Arnold pun memuji kesigapan Origi yang mampu menyelesaikan umpannya dengan baik.
Kemampuan tersebut telah dimiliki Origi sejak kecil. Ia terlahir dari keluarga pesepak bola. Ayahnya, Mike Origi, merupakan warga negara Kenya yang bermain untuk tim Liga Belgia, KV Oostende.
Origi dibesarkan di Houthalen-Oost yang banyak dihuni warga negara Belgia keturunan Kenya. Minat Origi pada sepak bola dilihat Mike ketika masih berumur 5 tahun sehingga Origi dimasukkan ke tim liga provinsi KFC De Zwaluw Wiemesmeer. Pada usia 6 tahun, Origi dipandang memiliki bakat yang lebih besar daripada anak lainnya.
Melihat kemampuan Origi, Mike memasukkan anaknya ke tim profesional KRC Harelbeke dan KRC Genk. Ia belajar di KRC Genk selama 9 tahun dan melanjutkan kariernya ke Lille pada usia 15 tahun.
Berkat gol tunggalnya ke gawang Rusia pada Piala Dunia 2014 bagi Belgia, Liverpool pun tertarik mengamankan jasanya. Dalam pertandingan tersebut, Origi juga masuk sebagai pemain pengganti. Manajer Liverpool yang saat itu dijabat Brendan Rodgers memandang Origi memiliki bakat yang besar.
Sesungguhnya, Manchester United pernah ingin merekrut Origi pada usia 15 tahun. Namun, ia lebih memilih bergabung ke Lille. Ia ingin berproses di klub tersebut seperti pemain asal Belgia lainnya, Eden Hazard.
Untuk mendapatkan Origi, Liverpool harus bertarung dengan Borussia Dortmund yang juga tertarik kepadanya. Origi pun memilih Liverpool karena dirinya bakal berkembang di kota pelabuhan tersebut.
Melihat perjuangan Liverpool untuk mendapatkan Origi pada masa lalu, akan menjadi sebuah kerugian besar jika Klopp menjualnya dengan cuma-cuma, seperti Liverpool menjual Suso ke AC Milan pada 2015. Klopp hanya perlu melihat bakat besar yang dimiliki Origi, seperti Mike Origi membimbing dan mengasah kemampuan anaknya. (REUTERS/THE GUARDIAN/DAILYSTAR)