Berjarak ”Sehat” dengan Demokrasi
Selama ini kita meyakini bahwa demokrasi adalah sumber kesetaraan dan kebebasan yang harus diamini bersama-sama. Namun, kesetaraan dan kebebasan tanpa batas dalam demokrasi membuat orang kehilangan arah dan patokan.
Kritik inilah yang lontarkan Friedrich Wilhelm Nietzsche (1844-1900). Menurut dia, demokrasi adalah simtom untuk melihat adanya ”manusia rata-rata” yang butuh pegangan.
Filsuf Jerman itu menganalisis bahwa keyakinan tentang demokrasi; kesetaraan manusia; dan konsep tentang pemerintahan dilakukan oleh, untuk, dan dari rakyat berasal dari keyakinan teologis bahwa semua jiwa adalah sama dan setara di hadapan Tuhan.
Dalam praktik sehari-hari, pada akhirnya muncul dua ekstrem kelompok dalam menyikapi demokrasi. Pertama adalah mereka yang mempercayai sepenuh-penuhnya demokrasi sehingga mereka masuk dalam proseduralisme yang melelahkan dan tidak membawa kemajuan. Kedua, muncul pula kelompok orang yang marah-marah pada demokrasi, meneriakkan revolusi, dan bahkan menghalalkan pertumpahan darah.
Dalam praktik sehari-hari, pada akhirnya muncul dua ekstrem kelompok dalam menyikapi demokrasi.
”Manusia demokratis terkoyak-koyak dalam anonimitas atomis. Mereka bertumbuh menjadi manusia ’berkebutuhan khusus’ (akan identitas). Dan, ini tidak ada hubungannya dengan ras, suku, atau tingkat intelektualitas. Tak jarang ada orang pandai tetapi mentalnya justru seperti ’anak baru gede’. Gelarnya profesor atau doktor tetapi perilaku sehari-harinya serba galau, butuh perhatian, teriak-teriak seperti anak puber yang butuh afeksi. Orang seperti ini gampang jatuh memeluk ide-ide secara fanatik,” kata pengajar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, A Setyo Wibowo SJ, Kamis (30/5/2019), di Jakarta.
Menurut Setyo, Nietzsche menawarkan kepada siapa pun untuk bisa menghidupi demokrasi, tetapi dengan jarak yang sehat supaya tidak jatuh pada pribadi yang oportunis atau sebaliknya pribadi yang pemarah. Nietzsche menyarankan agar kita menjadi ’roh bebas” yang memiliki spirit aristrokrasi, insting untuk menghormati pada apa yang harus dihormati, mampu mengambil jarak atas apa pun (juga pada dirinya sendiri).
’Hanya orang yang respek pada diri sendiri bisa mengambil jarak terhadap hal di luar dirinya, hal-hal untuk dihormati atau hal-hal lain yang perlu dibuang saja lewat pandangan mata. Maka, terhadap demokrasi pun kita mesti memberi jarak yang sehat supaya kita tidak jatuh menjadi manusia setengah-setengah, atau malah terpuruk dalam gerombolan pemuja yang fanatik buta pada satu tokoh atau ajaran. Gejala setia buta pada capres masing-masing atau maraknya fanatisme agama menunjukkan besarnya kebutuhan akan pegangan di rezim demokrasi,” kata Setyo.
Terhadap demokrasi pun kita mesti memberi jarak yang sehat supaya kita tidak jatuh menjadi manusia setengah-setengah atau malah terpuruk dalam gerombolan pemuja yang fanatik buta pada satu tokoh atau ajaran.
Gagalnya ”aufklärung”
Jatuhnya masyarakat modern pada dua ekstrem demokrasi memunculkan pertanyaan besar apakah peristiwa pencerahan akal budi manusia atau aufklärung benar-benar sudah terjadi atau belum? Selama ini, aufklärung diyakini sebagai momen penanda lahirnya masyarakat modern dengan ciri pokok rasionalitas.
Budayawan Sindhunata dalam peluncuran majalah Basis tahun ke-68, 2019, di Fakultas Teologi Wedabhakti Universitas Sanata Dharma, Senin (27/5/2019), menyebut aufklärung seakan menemui jalan buntu. Bertolak dari pemikiran dua tokoh Teori Kritis Sekolah Frankfurt, Max Horkheimer dan Thedor Wiesengrund Adorno, dua ratus tahun lebih perjalanan aufklärung seperti berakhir dengan kesia-siaan.
”Aufklärung yang mau membebaskan rasio dari mitos justru berbalik menjadi menjadi mitos. Usaha manusia rasional nyungsep ke dalam keirasionalitasan. Peradaban mundur menjadi barbar,” ujarnya.
Menurut Horkheimer dan Adorno, aufklärung adalah paradoks. Apa yang bermula dengan optimisme pada akhirnya justru menjerumuskan manusia pada pesimisme.
Dua tokoh tersebut menyoroti jatuhnya akal budi yang melulu menjadi instrumentalis. Akibatnya, banyak hal dalam kultur, politik, dan ekonomi terjerumus ke dalam krisis atau situasi chaos.
Tanda-tanda kritis itu dapat terbaca dengan mudah saat manusia-manusia terancam keindividuannya. Ia bukan lagi menjadi individu bebas, tetapi budak dari ekonomi, politik, dan ilmu pengetahuan yang serba instrumentalis.
”Akal budi instrumentalis mempraktikkan cara-cara kerja ekonomi pasar. Mana untung dan mana rugi menjadi kategori berpikirnya. Cara kerja demikian membuat akal budi cenderung untuk memanfaatkan, menindas, dan menguasai. Akal budi akhirnya tidak bisa berpikir dalam keseluruhan. Yang dipikirkan hanyalah fragmen-fragmen yang terlepas satu sama lain,” kata Sindhunata.
Rasionalitas yang berbalik menjadi irasionalitas, pencerahan yang terjungkir menjadi mitos itu kiranya dapat banyak kita temukan dalam realitas masyarakat supermodern zaman ini. Tak heran, dua abad setelah masa pencerahan masih banyak sekali irasionalitas-irasionalitas yang terjadi di sekitar kita.