Akhir Minggu ketiga Mei 2019, Artscience Museum di kompleks Marina Bay Sands, Singapura, dibanjiri pengunjung. Mereka penasaran menyaksikan pameran balon-balon udara unik yang memenuhi galeri museum berbentuk bunga lotus tersebut.
Oleh
Aloysius Budi Kurniawan
·5 menit baca
Akhir Minggu ketiga Mei 2019, Artscience Museum di kompleks Marina Bay Sands, Singapura, dibanjiri pengunjung. Mereka penasaran menyaksikan pameran balon-balon udara unik yang memenuhi galeri museum berbentuk bunga lotus tersebut.
Dari 40 karya seni yang dipajang di Artscience Museum, delapan di antaranya adalah balon-balon raksasa dalam berbagai bentuk. Seperti tema yang diangkat Floating Utopias, karya-karya itu mengajak siapa pun untuk berimajinasi sekaligus berefleksi menggunakan sarana balon udara.
Ahmet Öǧüt, seniman Turki, menampilkan foto dan video karya instalasinya berjudul ”Castle of Vooruit”, sebuah balon helium berbentuk batu besar dengan sebuah kastil di bagian atasnya. Karya ini terinspirasi dari lukisan surealis legendaris Rene Magritte berjudul ”Castle of the Pyrenees” tahun 1959.
Ahmet menamai karyanya ”Kastil Vooruit” karena merujuk pada sebuah bangunan legendaris di kota Ghent, Belgia, bernama Vooruit, sebuah pusat seni dan festival yang didesain dan dibangun Ferdinand Dierkens pada 1911. Vooruit dibangun sebagai simbol perlawanan terhadap kapitalisme. Pada awal 1900-an, kaum buruh bebas makan, minum, dan menikmati seni budaya di tempat itu dengan harga terjangkau.
”Tahun 2012, saya pernah menampilkan karya ini di Belgia. Sayang sekali, setelah seminggu mengudara, balon ini ditembak orang, di dalamnya ditemukan enam butir peluru,” ucap Ahmet.
Karena alasan keamanan publik, Ahmet tak bisa memajang langsung karyanya di Artscience Museum. Meski demikian, dengan dokumentasi karyanya, ia mencoba menunjukkan bagaimana obyek yang melayang di udara pun bisa menyampaikan pesan tentang sebuah gerakan perlawanan kelas.
Ahmet Öǧüt mencoba menunjukkan bagaimana obyek yang melayang di udara pun bisa menyampaikan pesan tentang sebuah gerakan perlawanan kelas.
Instalasi unik lainnya berjudul ”Mirror Barricade” karya Artúr van Balen dan Tomás Espinosa yang merupakan susunan 18 balon perak berbentuk kubus. Pada Juni 2016, balon-balon perak ini digunakan warga Dortmund, Jerman, sebagai barikade dalam sebuah unjuk rasa melawan rasisme dan xenofobia.
Ketika gerakan Neo Nazi menguat tiga tahun lalu, sekelompok pelajar, guru, dan seniman menggelar aksi demonstrasi menggunakan barikade cermin berupa balon-balon kubus perak. Pada awalnya, mereka menggelar diskusi tentang xenofobia, kemudian bersama-sama membuat barikade cermin untuk sama-sama menciptakan suasana kerja sama, keterbukaan, dan keceriaan sehingga mereka merasa nyaman berbicara tentang isu-isu rasisme serta diskriminasi.
Dari ruang diskusi dan keceriaan membuat balon-balon barikade cermin, mereka kemudian bergerak turun ke jalan menghadapi kelompok Neo Nazi. Hanya dalam periode beberapa detik, mereka bisa membentuk barikade pengamanan menggunakan kubus-kubus perak itu. ”Mirror Barricade” menjadi sarana anak-anak muda di Dortmund membangun pertemanan, saling mendukung satu sama lain untuk berdiri membela multikulturalisme dan inklusi.
Balon penyelamat
Masih di ajang Floating Utopias di Artscience Museum, perupa yang menamai dirinya The Yes Men menampilkan balon lucu berjudul ”SurvivalBall”. Instalasi seni ini berbentuk semacam makhluk gendut bertangan enam dan berkaki dua yang tengah melayang di udara. Di antara dua matanya, tersembul wajah manusia berwarna hitam.
Benda melayang yang lucu dan menggemaskan itu ternyata menyimpan pesan bagaimana manusia mesti bersiap-siap menghadapi bencana iklim di masa depan. Instalasi tersebut menyimbolkan upaya manusia menyelamatkan diri dari bencana menggunakan gelembung udara.
Di salah satu galeri Artscience Museum juga berdiri sepasang kelinci raksasa berwarna pink karya seniman Jepang, Momoyo Torimitsu. Melihat ukurannya yang superjumbo, kesan lucu yang biasa melekat pada sepasang kelinci itu justru hilang.
Torimitsu berusaha mengoyak stereotip publik tentang kelucuan dan kebahagiaan menggunakan ironi serta humor. Kelinci adalah salah satu hewan yang sering diidentikkan dengan kelucuan dan kegembiraan, sesuatu yang manis dan tanpa dosa. Akan tetapi, dengan menciptakan sosok kelinci raksasa yang nyaris memenuhi ruangan, ia hendak memberi kritik sosial tentang semakin terbatasnya ruang di dunia modern kota-kota besar Asia.
Di Jepang, apartemen-apartemen kecil sering disebut dengan ”kandang kelinci”, sebuah sebutan konotatif yang menggambarkan betapa sempitnya ruang-ruang domestik di sana. Dengan karya instalasinya yang berjudul ”Somehow, I Don’t Fell Comfortable” ini, Torimitsu memberi perhatian pada tekanan dan desakan kehidupan masyarakat urban.
Di ujung galeri, karya instalasi perupa Inggris, Luke Jerram, berjudul ”Museum of the Moon”mengajak pengunjung untuk hening sejenak, tenggelam dalam ketakjuban replika bulan berdiameter 6 meter. Jerram membuat karya tersebut dalam rangka peringatan 50 tahun pendaratan manusia pertama kali di Bulan pada 1969.
Replika Bulan besar itu disusun dengan sangat detail menggunakan resolusi tingkat tinggi dengan referensi foto NASA tentang permukaan Bulan. Bola Bulan tiga dimensi itu ditampilkan menggantung di tengah-tengah galeri. Di bawahnya dipasang beberapa kursi malas yang setiap saat bisa dipakai pengunjung untuk merebahkan diri sembari memandangi karya dengan iringan efek suara seperti memasuki lorong ruang angkasa.
”Benda-benda berisi udara ternyata bisa menjadi material yang menarik bagi publik. Dengan materi-materi ini, para seniman bisa melampaui batas-batas, menggunakan kekuatan mereka untuk mengangkat berbagai macam isu,” kata kurator pameran Floating Utopias Anna Hoetjes.
Pameran Floating Utopias di Artscience Museum digelar mulai 25 Mei 2019 hingga 29 September 2019. Pameran yang menyuguhkan lebih dari 40 karya dari 15 seniman dunia ini digelar bersama Neue Gesellschaft für bildende Kunst, sebuah asosiasi seni visual di Jerman.
Honor Harger, Direktur Eksekutif Artscience Museum mengatakan, Floating Utopias adalah pertemuan serangkaian karya seni obyek-obyek berisi udara yang menakjubkan dan secara dramatis memenuhi ruang-ruang museum.
”Patung-patung melayang di udara, dikompresi ke dalam ruang yang tidak nyaman, miring pada sudut yang tidak biasa, dan tenggelam di dalam museum. Aneka macam karya seni yang dipamerkan diharapkan menginspirasi, mengganggu, membatasi, dan memberanikan pengunjung untuk menjelajahi sejarah benda-benda tiup, fungsi sosial mereka dan bagaimana mereka telah mengubah cara kita memandang di dunia,” paparnya.