Liverpool memastikan diri menjadi raja Eropa setelah menang 2-0 atas Tottenham Hotspur di Stadion Wanda Metropolitano, Madrid, Spanyol, Minggu (2/6/2019) waktu setempat. Kemenangan itu menjadi penebusan manis dan pembuktian Mohamed Salah serta Juergen Klopp.
Oleh
Aguido Adri
·4 menit baca
Liverpool memastikan diri menjadi raja Eropa setelah menang 2-0 atas Tottenham Hotspur di Stadion Wanda Metropolitano, Madrid, Spanyol, Minggu (2/6/2019) dini hari WIB. Kemenangan itu menjadi penebusan manis dan pembuktian Mohamed Salah serta Jurgen Klopp yang berulang kali gagal meraih juara ketika tim sebenarnya sudah berada di final.
Pertandingan belum genap masuk menit ke-2, Liverpool mendapat penalti setelah tendangan Sadio Mane mengenai tangan Mousa Sissoko. Maju sebagai eksekutor, Mohamed Salah mampu menggetarkan jala Tottenham Hotspur yang dikawal Hugo Lloris.
Gol penyerang asal Mesir tersebut membuat dirinya masuk ke dalam jajaran lima besar pemain asal Afrika yang mampu mencetak gol di final Liga Champions atau turnamen antarklub Eropa. Salah bersanding dengan nama lainnya, seperti Rabah Madjer, Samuel Eto’o, Didier Drogba, dan Sadio Mane.
Gol tersebut juga menempatkan Salah sebagai pencetak gol tercepat kedua di final Liga Champions setelah Paolo Maldini. Bek sekaligus kapten AC Milan itu mencetak gol pada detik ke-50 saat berjumpa Liverpool pada final tahun 2005.
Di babak kedua, Divock Origi yang masuk menggantikan Roberto Firmino memastikan kemenangan ”The Reds” setelah sepakan mendatarnya pada menit ke-87 tidak mampu dijangkau Lloris.
Sebuah kemenangan pragmatis yang membawa Liverpool meraih trofi Liga Champions keenam. Statistik mencatat, penguasaan bola Liverpool hanya 35 persen dengan jumlah tembakan langsung ke gawang 3 kali. Sebaliknya, Spurs mendominasi permainan dengan penguasaan bola mencapai 65 persen dan tembakan langsung ke gawang 8 kali.
Malam pembuktian
Stadion Wanda Metropolitan menjadi bukti keceriaan Salah, rona wajahnya tampak gembira. Wajah ini kontras ketika Salah harus ditarik keluar saat timnya melawan Real Madrid pada final di Kiev, Ukraina, tahun lalu.
Ia menangis saat harus meninggalkan lapangan pada menit ke-30 karena cedera bahu yang dialaminya. Cedera itu ia dapat saat berebut bola dengan Sergio Ramos. Namun, final kali ini, ia balas dengan perayaan gol yang tercipta ketika laga baru berjalan 2 menit.
Kekalahan di Kiev menjadi momen yang menyedihkan bagi Salah dan membuat Liverpool kalah 1-3 melawan Real Madrid. Namun, laga melawan Spurs menjadi pembuktian Salah untuk berkontribusi lebih dan membawa Liverpool menjadi yang terbaik di Benua Eropa.
”Sebelum pertandingan, saya melihat foto tahun lalu dan kami sangat kecewa kalah di final. Saya sangat kecewa setelah cedera itu, saya pergi setelah 30 menit dan kami kehilangan permainan. Itu memotivasi saya untuk menang hari ini. Ketika anda tahu bagaimana rasanya kalah, anda berkata pada diri sendiri: ayo pergi dan menangkan itu,” ujar Salah.
Ia menuturkan, mental dan kepercayaan diri pemain adalah kunci. ”Segala sesuatu terjadi karena suatu alasan dan tahun lalu ketika kami kalah di final, saya pikir kami ditakdirkan untuk kembali dan memenangkannya kali ini,” lanjutnya.
Selain kontribusi Salah, perbedaan besar lainnya dari final tahun lalu adalah sosok Alisson Becker di bawah mistar gawang yang memberikan jaminan rasa aman. Kiper asal Brasil tersebut mengubur kenangan buruk kiper Liverpool sebelumnya, Lloris Karius, yang memberikan gol kepada Karim Benzema dan Gareth Bale di Kiev. Sepanjang pertandingan Alisson mampu meredam gempuran para pemain ”The Lily White”. Liverpool tidak sia-sia membeli kiper dari AS Roma ini sebesar 67 juta pounds.
Manajer Liverpool asal Jerman Juergen Klopp pantas berbangga hati atas prestasi yang diraih anak asuhnya. Catatan suram atas kehilangan enam final berturut-turut terhenti ketika Liverpool berhasil dia bawa ke puncak kompetisi Eropa setelah terakhir meraih trofi Eropa 2005.
Klopp harus kehilangan dua final Liga Champions sebelumnya, melawan Bayern Munich sebagai bos Borussia Dortmund pada 2013. Kekalahan juga harus ia terima saat melatih Liverpool saat melawan Real Madrid serta final Liga Eropa 2016. Termasuk tiga final piala domestik di Jerman dan Inggris.
”Saya sangat bahagia untuk anak-anak dan keluarga saya. Mereka menderita setiap tahun ketika kami pergi ke final. Mereka layak mendapatkannya lebih dari siapa pun. Ini mungkin malam terbaik dalam hidupku,” kata Klopp kepada BT Sport.
Pochettino tidak gagal
Sebaliknya bagi Spurs, sekalipun gagal, Mauricio Pochettino layak mendapatkan pujian karena berhasil membawa tim itu ke final Liga Champions untuk pertama kalinya. Apalagi, prestasi itu bisa diraih tanpa harus jor-joran membeli pemain.
”Saya sangat bangga dengan upaya yang sudah dilakukan, bagaimana kami bertarung. Kami bermain sangat baik, terutama di babak kedua. Saya merasa sangat bangga, tidak ada lagi yang bisa dikatakan,” ujarnya.
Terlepas dari hal itu, cukup mengejutkan ketika Pochettino lebih memilih Harry Kane ketimbang memasang Lucas Moura sejak menit pertama.
Padahal, pada laga kedua semifinal melawan Ajax Amsterdam, Moura mencetak tiga gol dramatis sehingga membawa Spurs ke final.
Sementara Kane tidak bermain sejak mengalami cedera pergelangan kaki di laga pertama perempat final melawan Manchester City pada 9 April. Kane yang dipasang sejak menit pertama tidak mampu menunjukkan kelas sebagai penyerang berbahaya. Ia gagal memberikan pengaruh dalam permainan timnya.
Pochettino mengatakan, ini bukan tentang bermain dengan Harry Kane atau Lucas Moura. Menurut dia, Kane dalam kondisi bugar.
”Dia tidak mencetak gol seperti pemain lain, tetapi itu bukan poin untuk dibicarakan terlalu banyak. Keputusan yang saya buat berdasarkan berbagai analisis. Saya tidak menyesali keputusan saya,” kata Pochettino. (AFP/REUTERS)