Naik Kereta Api dengan Bu Ani: Penuh Cerita
Kisah perjalanan wartawan Kompas, J Osdar, saat meliput kegiatan Ny Ani Yudhoyono. Banyak cerita menarik di dalamnya yang di antaranya sekaligus menunjukkan karakter dari Ny Ani.
Dua kali saya naik kereta api bersama Ibu Negara (2004 -2014) Nyonya Ani Yudhoyono, dua kali perjalanan itu sangat berkesan di hati. Terlebih di setiap perjalanan itu, saya diberi waktu lama berbincang-bincang secara eksklusif.
Perjalanan pertama, Jakarta-Cirebon, Jawa Barat, pergi dan pulang. Perjalanan kedua, dari Jakarta ke Pekalongan, pulang pergi juga. Kedua perjalanan itu untuk meninjau pusat-pusat batik di Cirebon dan Pekalongan, Jawa Tengah. Namun, bukan hanya untuk meninjau tempat orang membatik dan menjualnya. Tapi, ada pula acara lain dan jumpa pers.
Perjalanan itu terjadi menyusul ramainya pembicaraan di Indonesia bahwa Malaysia berusaha mengklaim batik milik negeri jiran tersebut.
”Kita sering marah kalau ada peristiwa itu. Tapi, kita tidak pernah melakukan sesuatu agar hak kita resmi diakui oleh dunia bahwa batik itu berasal dari Indonesia,” tutur Ny Ani Yudhoyono berkali-kali dalam acara-acara perjalanan dengan kereta api tersebut.
Dua perjalanan itu cukup meriah, bukan hanya membawa para pejabat pemerintah, tapi juga puluhan wartawan dari dalam dan luar negeri. Ny Ani ingin batik Indonesia terkenal di seluruh dunia.
Bagi saya pribadi, kedua perjalanan ini adalah kesempatan untuk menyampaikan pesan dari bos saya, Pemimpin Umum Kompas Gramedia Jakob Oetama. Sebelum bertemu Bu Ani, saya selalu pamit dulu dengan Pak Jakob atau kami biasa memanggilnya, Pak JO.
”Sampaikan ke beliau (Ny Ani) ya, saya sering jumpa dengan ayah beliau Pak Sarwo Edhie. Saya kagum pada Pak Sarwo. Ketika Pak Sarwo akan bertugas ke Medan untuk menjadi panglima di Sumatera Utara, Pak Sarwo bilang Pak Jakob saya berangkat dengan membawa satu koper dan selesai tugas saya akan pulang ke Jakarta dengan satu koper yang sama. Ternyata benar, Pak Sarwo kembali ke Jakarta beberapa tahun kemudian dengan membawa satu koper yang sama,” cerita Pak JO, yang ingin disampaikan ke Bu Ani.
Apa yang dikatakan oleh Pak Sarwo, kata Pak JO, juga ditulis dalam tajuk rencananya di Kompas.
Baca juga: Ketika Flamboyan Itu Telah Pergi...
Dalam pertemuan dengan Bu Ani di kereta api dan berbagai kesempatan lain, juga di pesawat terbang dalam perjalanan kerja Presiden ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono ke luar negeri, saya selalu jumpa dengan Ibu Ani. Pesan Pak Jakob pun selalu saya sampaikan ke Bu Ani.
Jawab Bu Ani juga selalu sama. ”Semua yang ditulis Pak Jakob kami perhatikan dan kami dokumenkan.”
Dalam perjalanan kereta api itu, Bu Ani juga bilang, ”Begini saja, nanti kita atur pertemuan dengan Pak Jakob, saya juga ingin mendengar pesan Pak Jakob itu tentang Pak Sarwo.”
Suatu saat dalam acara buka puasa bersama dengan para insan pers, Pak JO duduk satu meja dengan Bu Ani. Pak JO secara spontan mengulangi pengalamannya dengan Pak Sarwo itu. Bu Ani memberi jawaban yang sama. ”Pengalaman Pak Jakob itu, yang tertulis di koran sudah kami dokumenkan secara lengkap,” kata Ny Ani.
Dalam beberapa kali rapat redaksi Kompas, Pak JO pun beberapa kali mengulang pengalamannya bertemu dengan Pak Sarwo.
Saya juga sering bertemu dengan Pak Sarwo, ayah Bu Ani, ketika beliau memimpin BP7, lembaga yang berkaitan dengan Pancasila. Kantor itu ada di sebelah Kementerian Luar Negeri di Pejambon, Jakarta.
Unjuk rasa
Kembali cerita tentang perjalanan kereta api dengan Bu Ani. Di salah satu perjalanan kereta api itu, Bu Ani bercerita tentang kesedihan hatinya saat terjadi unjuk rasa di Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta. Ketika itu, para pengunjuk rasa membawa seekor kerbau dan diberi label ”Si Buya” dengan singkatan (SBY).
”Itu, kan, mempersamakan suami saya dengan kerbau,” ujarnya terbata-bata saat itu.
Baca juga: Jokowi: Flamboyan Telah Pergi Namun Tetap Hidup di Hati
Dalam perjalanan itu, kebetulan beberapa kali terlihat pemandangan sawah yang baru saja panen padi. Banyak kerbau di sawah-sawah itu. Melihat kerbau-kerbau itu, rupanya Bu Ani ingat unjuk rasa yang menentang pemerintahan Yudhoyono. Tapi, menarik sekali, para pengunjuk rasa itu tidak ditangkap polisi atau aparat keamanan.
Dalam perjalanan, Bu Ani sempat pula beberapa kali bertanya pada saya.
”Bung Osdar kok tidak bawa alat tulis atau kamera? Kok tidak mencatat apa yang saya katakan. Padahal, ada kenikmatan lho mencatat dan memotret itu. Saya hobi dengan dua kegiatan itu,” ujarnya, yang saya sambut dengan tertawa.
Dalam hati saya mengatakan, saya memang tidak wawancara, tapi ngobrol yang akan saya tulis dengan penuh imajinasi saya.
Senyum Ibu Ani
Dalam perjalanan kereta api ini, Bu Ani juga mengingatkan pada saya tentang berita utama Kompas yang berjudul, ”Indonesia Termasuk dalam Negara Gagal”. Berita itu muncul ketika saya mengikuti perjalanan ke Amerika Latin, Los Palos, Meksiko, Brasil, dan negara-negara di Benua Amerika lainnya.
Dalam jumpa pers, Pak Yudhoyono menyinggung panjang lebar dengan menahan emosi soal berita Kompas itu.
”Kalau Indonesia negara gagal, kita sudah diusir untuk ikut dalam pertemuan-pertemuan internasional dalam perjalanan ini,” ujar Yudhoyono dalam jumpa pers di pagi hari, di Brasil.
Baca juga: SBY: Selamat Jalan Istri Tercinta, "Goodbye..."
Dalam sesi tanya jawab, saya yang pertama mendapat kesempatan untuk bertanya. Saya lihat Ibu Ani yang hadir saat itu memandang saya (boleh dong sedikit GR) dengan senyum. Senyum Bu Ani saat itu memberi inspirasi pada saya untuk mengatakan sesuatu yang sifatnya menghindari polemik berita ”Indonesia Negara Gagal” tersebut.
”Selamat pagi Bapak Presiden. Saya senang sekali dalam perjalanan ini, setiap rapat delegasi saya diikutkan. Mungkin dalam catatan saya mengikuti perjalanan dari masa Pak Harto, Habibie, Gus Dur, dan Megawati, hal ini baru saya alami saat ini. Wartawan menjadi bagian tak terpisahkan dengan delegasi Indonesia,” kata saya sambil selalu melihat Bu Ani.
”Dalam pidato-pidato Bapak Presiden, saya kira isinya cukup bagus di setiap pertemuan. Tapi sayang sekali, gaya, cara, dan artikulasi dalam berpidato Bapak Presiden masih harus belajar dari Ibu Ani Susilo Bambang Yudhoyono,” kata saya disambut senyum oleh Pak Yudhoyono dan Bu Ani.
Saya pun melihat Bu Ani berkata,”Terima kasih.”
Peristiwa ini saya bahas dengan Bu Ani dalam perjalanan kereta api itu. Sempat pula secara bercanda, ”Kepiawaian Ibu berpidato adalah modal untuk bisa jadi presiden.”
Bu Ani tertawa dan berkata, ”Ah tidak. Saya jadi pendamping rumah tangga Pak SBY saja.”
Baca juga: Pujian Mengalir bagi Ani Yudhoyono
Suatu saat, saya bertemu salah seorang Staf Khusus Presiden SBY, Daniel Sparinga. Saya ceritakan candaan saya itu. Daniel saat itu bertanya apa alasan saya menyampaikan bahwa Ibu Ani bisa jadi calon presiden? Saya mengatakan, Ibu punya gaya pidato yang menarik dan saat ini sejumlah pemerintahan di dunia sedang bermunculan presiden atau perdana menteri perempuan. Dunia sedang dikuasai kaum perempuan, kata saya.
Beberapa hari kemudian muncul berita, termasuk di Kompas (jadi berita utama), yang berisi, Presiden Yudhoyono tidak menginginkan sanak saudaranya, atau keluarganya, mencalonkan jadi presiden. Itu yang dikatakan Yudhoyono saat itu.
Beberapa hari setelah setelah Bu Ani masuk di rumah sakit di Singapura, saya mengirim pesan ke WA Bu Ani. ”Doa saya, semoga cepat sembuh Ibu”.
Bu Ani membalas dengan gambar simbol dua tangan dirapatkan yang artinya terima kasih. Kemudian saya mengirimkan kembali profile picture yang ada di WA Bu Ani. Gambar itu adalah foto Bu Ani dan Pak Yudhoyono dengan busana serba biru dan berkacamata hitam.
Saya bilang dalam pesan WA saya, foto ini bagus banget dan ekspresif. Bu Ani membalas dengan mengirim foto beliau yang sedang tersenyum dengan kalimat, ”Thank You!”
Baca juga: Bu Ani Kerap Jadi Penengah
Saya tanya, ”Ini yang memotret siapa?” Beliau jawab ”Kalau nggak Anung ya Abror”. Dua fotografer yang mengikuti Pak Yudhoyono dan Bu Ani sejak masih di Istana.
Kemudian Bu Ani mengirimkan foto buku-buku kumpulan pidato beliau selama jadi Ibu Negara. ”Masih menyimpannya?” tanya beliau.
Saya jawab, ”Iya Ibu, saya masih selalu membuka buku-buku Ibu.”
”Bung Osdar sudah punya buku Ibu yang terakhir?” tanya Bu Ani dalam WA lagi. Saya jawab belum. ”Kapan-kapan saya kirimi. Alamatnya?” kata Ibu Ani.
Baca juga: Ani Yudhoyono di Mata Wong Cilik
Saya beri alamat Kantor Redaksi Kompas di Palmerah, Jakarta Pusat. Beberapa hari kemudian, Tika, staf pribadi Ibu Ani Yudhoyono, mengirim pesan kepada saya mau mengirimkan buku Ani Yudhoyono 10 Tahun Perjalanan Hati.
Yang saya terima lima buku berisi pidato-pidato Bu Ani. ”Akan saya baca lagi Bu Ani dan selamat jalan.”