Liga Champions, Milik Siapa?
Haruskah sekaya Liverpool dan Hotspur agar dapat menjadi finalis Liga Champions?
Pertanyaan semacam itu menggemakan keprihatinan Michel Platini sepuluh tahun lalu saat masih menjadi Presiden Persatuan Asosiasi Sepakbola Eropa (UEFA). Platini mengkritik dominasi klub-klub kaya yang selalu berhasil menjadi juara Liga Champions.
Ia mendambakan kompetisi yang lebih setara di antara klub-klub Eropa dan mencegah doping finansial dalam sepakbola. Bahkan, ia menyatakan ingin “melindungi sepakbola dari bisnis”.
Platini sendiri kemudian tersandung skandal korupsi dan mengundurkan diri dari posisi Presiden UEFA pada 2016. Akan tetapi, warisannya telah diterapkan UEFA sejak 2011 hingga sekarang: Financial Fair Play (FFP).
Setelah FFP mulai diterapkan pada 2011, bagaimana hegemoni klub-klub kaya dalam kompetisi Liga Champions? Setelah mulai dengan penjelasan tentang asal-usul FFP, akan dilihat dampak pelaksanaan FFP dalam hal sanksi, perubahan pendapatan klub, serta tren juara Liga Champions sebagai liga paling bergengsi di dunia.
Fair Play dalam Keuangan
FFP yang digagas oleh Platini ini diterapkan dengan semangat ingin menyelamatkan jiwa sepakbola Eropa dari kekuatan modal dan pasar bebas. Dengan semangat tersebut, aturan FFP didesain untuk mencegah klub mengeluarkan uang melebihi kemampuan mereka.
Secara positif, aturan FFP bertujuan meningkatkan kemampuan ekonomi dan keuangan klub di Eropa selain juga meningkatkan transparansi dan kredibilitas klub.
Menyandang istilah fair play (Financial Fair Play), semangat yang dibawa dalam aturan ini sama dengan fair play dalam pertandingan. Ketika para pemain sepakbola dituntut bertanding dengan semangat fair play, dalam keuangan pun, diharapkan semangat tersebut juga diterapkan. Dengan demikian, jiwa dan semangat fair play menjadi pegangan baik bagi para pemain maupun bagi pemilik dan eksekutif klub sepakbola.
Dalam sepuluh tahun terakhir, juara Liga Champions diraih bergantian oleh lima klub kaya di Eropa
Semangat fair play yang dibawa dalam FFP ini dapat dicari landasan filosofisnya dalam konsep keadilan sebagai fairness menurut John Ralws. Dalam konsep tersebut, keadilan sebagai fairness memuat dua prinsip, yakni kebebasan (liberty) dan kesempatan yang sama (equality of opportunity). Dalam konteks FFP, prinsip kedua, yakni kesempatan yang sama lebih berperan.
Dengan demikian, menjadi nyata bahwa UEFA ingin memberikan kesempatan yang sama kepada tiap klub yang berkompetisi untuk berkiprah di tingkat Eropa. Dengan “memaksa” tiap klub untuk mandiri dan sehat secara keuangan, diharapkan klub tetap dapat bertahan sehingga kompetisi tetap dapat berlangsung.
Selain itu, klub yang sehat secara keuangan akan lebih kompetitif dalam pertandingan dan pada gilirannya memberikan peluang yang sama untuk dapat meraih piala paling bergengsi di Eropa, Liga Champions. Secara praktis, bagaimana semangat tersebut diwujudkan melalui FFP?
Batasan Pengeluaran
FFP ingin memberikan kesempatan yang sama bagi setiap klub sepakbola di Eropa untuk berkompetisi dengan dasar kesehatan finansial yang sama. Oleh karena itu, aturan FFP membatasi kerugian yang boleh dialami oleh klub dalam setiap periode asesmen (tiga musim).
FFP yang mulai diterapkan pada musim pertandingan 2011/12 itu dievaluasi setiap tiga musim kompetisi. Di dalamnya mencakup penilaian terhadap pengeluaran klub terkait transfer dan upah, pendapatan dari hak siar dan pertandingan, serta pendapatan yang dihasilkan dari bagian komersial. Pengeluaran selain yang disebutkan di atas, seperti misalnya pembangunan stadion maupun pembinaan pemain muda, tidak masuk evaluasi FFP.
Dengan aturan FFP, pengeluaran setiap klub dibatasi dengan prinsip pengeluaran sesuai dengan pemasukan. Akan tetapi, FFP masih memberikan kelonggaran dengan memperbolehkan klub mengeluarkan lebih besar dari pendapatan mereka dengan limit tertentu yang semakin lama semakin kecil.
Dalam jangka panjang, aturan FFP ingin membatasi limit pengeluaran setiap klub sejumlah lima juta euro lebih besar daripada pendapatan klub dalam periode asesmen (tiga tahun). Sebelum mencapai nilai ideal tersebut, limit pengeluaran sedikit demi sedikit diperkecil. Limit mulai dari 45 juta euro pada musim 2013/14 dan 2014/15 kemudian dikurangi menjadi 30 juta euro pada musim 2015/16, 2016/17, dan 2017/18.
Untuk memastikan bahwa pendapatan klub bersifat berkelanjutan, FFP juga mengatur pendanaan langsung dan terkait dengan pemilik. Secara umum, sumber pendanaan klub sepakbola dapat digolongkan menjadi tiga, hak siar, pertandingan, dan komersial.
Pendanaan langsung dari pemilik klub bisa dilakukan dengan sokongan langsung atau memberikan sponsorship dari perusahaan pemilik atau yang terkait dengan pemilik dengan jelas dan harga wajar. Yang harus digarisbawahi adalah harga pasar yang wajar dan jelas dinyatakan dalam pembukuan.
Dengan aturan FFP ini, pemilik dan perusahaan yang terkait dengan pemilik tidak dapat lagi seenaknya memberikan gelontoran dana apabila tidak jelas disebutkan di awal laporan keuangan serta dengan harga yang wajar.
Aturan tersebut mencegah penggelembungan harga sponsor melebihi harga pasar serta praktik pencucian uang. Bagi klub, ini berarti mencegah terjadinya kerugian di kemudian hari apabila klub berpindah tangan atau sang pemilik jatuh miskin.
Untuk memastikan pelaksanaan FFP, UEFA membentuk badan independen bernama Club Financial Control Body (CFCB). Independensi CFCB tampak dari prinsip tidak adanya campur tangan eksekutif UEFA, baik tingkat presiden maupun sekjen UEFA yang dapat memengaruhi hasil keputusan CFCB.
CFCB sendiri terdiri dari dua dewan (chamber). Dewan pertama bertugas untuk menilai dan menyelidiki (investigatory) pelaksanaan/disiplin terhadap aturan UEFA. Dewan kedua bertugas untuk menegakkan hukum (adjudicatory) hasil dari rekomendasi bagian pertama.
Apabila sebuah klub terindikasi melanggar FFP, CFCB investigatory akan mengadakan penyelidikan resmi terhadap klub tersebut. Hasil penyelidikan berupa rekomendasi yang diserahkan kepada CFCB adjudicatory. CFCB Adjudicatory akan memutuskan hukuman paling tepat yang akan diterima oleh klub sesuai pelanggarannya.
Apabila terbukti melanggar aturan FFP, klub di bawah UEFA akan diberi sanksi mulai dari peringatan, denda, pemotongan uang hadiah, larangan pendaftaran pemain baru, pembatasan jumlah pemain, hingga yang paling keras dilarang bertanding di kompetisi Eropa. Dengan aturan yang sedemikian ketat, bagaimana pelaksanaan FFP hingga saat ini?
Sanksi FFP
Dari data kasus yang dikerjakan oleh CFCB adjudicatory hingga 2019, terdapat 60 klub yang telah dianggap melanggar aturan FFP dan dikenai hukuman oleh CFCB adjudicatory. Kebanyakan klub diganjar hukuman karena melanggar komitmen pembayaran yang belum dilunasi, salah satunya terkait pembayaran gaji pemain.
Akan tetapi, tak seluruh klub langsung dijatuhi sanksi karena biasanya terdapat batasan waktu dalam pelaksanaan. Klub yang dapat memenuhi tenggat waktu pembayaran akan terhindar dari sanksi.
Dari pemberitaan berkala yang dirilis UEFA 2013-2018, terdapat 19 klub yang dikenai sanksi karena melanggar FFP. Mereka didenda sejumlah uang, bervariasi mulai dari 15.000 hingga 150.000 euro. Selain itu, sebagian besar dari 19 klub tersebut juga dilarang berpartisipasi dalam kompetisi yang digelar UEFA.
Dengan adanya sanksi tegas FFP tersebut, EUFA menunjukkan perannya sesuai misi awal pendiriannya, menjadi the guardian of football in Europe yang membawahkan 55 asosiasi sepakbola di Eropa. UEFA melalui FFP menjadi pengayom para pemain dengan menjamin pembayaran gaji mereka.
Bertolak belakang dengan fungsi penjaga bagi para pemain, bagi klub-klub kecil, FFP yang dikeluarkan UEFA lebih terasa sebagai beban.
Dengan melihat sanksi CFCB di atas dengan lebih detail, kebanyakan kasus yang muncul adalah kasus telat bayar. Artinya, klub tersebut secara finansial tidak kuat, atau masuk dalam kategori klub miskin. Klub-klub tersebut juga tak pernah masuk dalam daftar 20 klub yang secara tahunan dikeluarkan oleh lembaga konsultan Deloitte.
Selain itu, nama-nama klub yang dikenai sanksi jarang terdengar dalam pemberitaan sebagai klub yang berprestasi di kancah Eropa. Kemungkinan besar, mereka lebih banyak berkompetisi di negaranya masing-masing.
Kebanyakan klub yang dijatuhi sanksi berasal negara-negara Eropa Timur, Tengah, dan Semenanjung Balkan, seperti Lavia, Lituania, Ukraina, Polandia, Azerbaijan, Bulgaria, Makedonia Utara, dan Rumania. Tercatat, hanya tiga klub dari Eropa Barat yang dikenai sanksi terkait FFP, yakni Vitória SC, SC Braga, dan Sporting Clube de Portugal. Ketiganya dari Portugal.
Dengan sanksi yang kebanyakan diterima oleh klub-klub kecil dan miskin, FFP belum menyasar titik kesetimbangan yang diangankan oleh penggagas FFP. Klub-klub miskin belum memiliki kesempatan yang sama dengan klub-klub kaya untuk unjuk gigi di tingkat Eropa karena bahkan untuk membayar gaji pemain pun mereka masih kesulitan.
Klub-klub kaya, yang dengan mudah mendatangkan pemain bintang serta kebanyakan menjuarai kompetisi-kompetisi Eropa, belum banyak terpengaruh aturan FFP.
Memang ada satu dua klub berprestasi dan kaya yang kemudian terbukti melanggar aturan FFP, Paris Saint-Germain dan Manchester City pada 2013. Akan tetapi, denda dan sanksi yang diberikan tidak banyak mempengaruhi performa maupun pendapatan kedua klub.
Bahkan, terindikasi bahwa Presiden FIFA Gianni Infantino, pada saat menjabat sekjen UEFA, ikut campur tangan terhadap CFCB yang seharusnya independen untuk menutupi kasus tersebut. Artinya, karena kebesaran dan kekayaannya, klub-klub tersebut lebih berpeluang untuk bernegosiasi terkait sanksi. Bagaimana dengan klub-klub kaya lain?
Pendapatan Klub Kaya
Identifikasi terhadap klub sepakbola kaya di dunia dapat dilihat dari daftar yang telah dibuat oleh lembaga konsultan keuangan Deloitte. Sejak musim pertandingan 1996/97 hingga saat ini, Deloitte setiap tahun mengeluarkan daftar 20 klub sepakbola terkaya di dunia.
Dari penelusuran data yang dikeluarkan Deloitte, dua besar klub yang selalu menduduki posisi puncak adalah Real Madrid (Madrid) dan Manchester United (MU). Dua klub tersebut bergantian menduduki posisi puncak klub sepakbola terkaya. Ada juga FC Barcelona yang sering menempati posisi ke-2 dan ke-3, tetapi tidak pernah menduduki posisi puncak.
Posisi lima besar, dalam 15 tahun terakhir, ditempati beberapa klub, seperti FC Barcelona, Bayern Munchen, Chelsea, Arsenal, Paris Saint-Germain, Manchester City, Juventus, dan AC Milan, di luar Madrid dan MU. Akan tetapi, dalam 10 tahun terakhir, tersisa dominasi FC Barcelona, Bayern Munchen, Paris Saint-Germain, Chelsea, dan Manchester City yang bergantian mengisi posisi lima besar klub terkaya di luar Madrid dan MU.
Dari sisi pendapatan dalam 10 tahun terakhir, proporsi pendapatan lima klub paling kaya dari sisi komersial semakin meningkat, meninggalkan jauh pendapatan dari sisi pertandingan. Pada musim 2007/08, pendapatan rata-rata lima klub paling kaya dari sisi pertandingan 96,84 juta euro, atau 31 persen dari total pendapatan lima klub tersebut.
Nilai tersebut hampir mendekati nilai rata-rata pendapatan dari sisi hak siar sebesar 102 juta euro atau 33 persen. Nilai itu juga tak jauh dari nilai rata-rata pendapatan dari sisi komersial sebesar 112,9 juta euro atau 36 persen. Dapat dikatakan, pada kurun waktu 10 tahun yang lalu, tiga lini pendapatan klub sepakbola paling kaya hampir merata, baik dari sisi pertandingan, hak siar, maupun komersial.
Di musim 2017/18, rata-rata proporsi lini pendapatan klub mengalami perubahan. Rata-rata proporsi pendapatan dari sisi pertandingan, walaupun nilainya naik dari 96,8 juta euro menjadi 118,9 juta euro, turun hampir separuh dari 10 tahun lalu dari 31 persen menjadi 18,5 persen.
Sebaliknya, peningkatan terjadi pada rata-rata proporsi pendapatan dari sisi komersial yang meningkat dari 36 persen pada musim 2007/08 menjadi 47,5 persen pada musim 2017/18. Dari sisi nilai, rata-rata nilai pendapatan dari sisi komersial selama 10 tahun terakhir naik dari 112 juta euro menjadi 306 juta euro. Kenaikan nilai rata-rata tersebut hampir mencapai tiga kali lipat.
Rata-rata proporsi yang cenderung tetap terjadi pada sektor pendapatan dari sisi hak siar. Pada musim 2007/08, rata-rata proporsi pendapatan dari sisi hak siar berada di posisi 33 persen. Proporsi kemudian naik menjadi 34 persen pada musim 2017/08. Akan tetapi, dari sisi nilai pendapatan dari sisi hak siar naik dua kali lipat dari rata-rata 102,98 juta euro menjadi 222,38 juta euro dalam 10 tahun terakhir.
Kesimpulan pertama data di atas adalah bahwa rata-rata pendapatan dari sisi komersial mengalami peningkatan, baik dari sisi proporsi maupun nilai. Mengingat pendapatan komersial merupakan pendapatan yang didapatkan dari sponsor dengan cara kerja sama merek, pemodal besar dan pemilik merek papan atas yang lebih banyak terlibat dalam peningkatan pendapatan di sisi ini.
Kesimpulan selanjutnya, rata-rata pendapatan dari sisi hak siar mengalami peningkatan sebesar dua kali lipat, akan tetapi proporsinya cenderung tetap. Hal ini dapat dimaklumi mengingat semakin luasnya jaringan televisi sehingga meningkatkan jumlah penonton sehingga televisi dapat meningkatkan harga iklan. Pada gilirannya, hal ini juga meningkatkan harga program televisi, salah satunya pertandingan sepakbola.
Kesimpulan ketiga, rata-rata nilai pendapatan dari pertandingan cenderung tetap, bahkan secara proporsi turun. Hal ini menunjukkan bahwa pendapatan dari pihak fans, atau dari sisi penonton pertandingan tak meningkat. Data tersebut dapat juga dilihat sebagai sulitnya klub untuk mendongkrat pendapatan dari para fans atau penontonnya.
Dengan menyelidiki pendapatan lima klub paling kaya selama 10 tahun terakhir, ternyata sulit bahkan terasa tak mungkin untuk menceraikan bisnis dengan sepakbola. Peran pemodal besar malah semakin tampak dengan menambah pendapatan klub dari sisi komersial.
Di sisi lain, visi UEFA untuk lebih mengutamakan akar rumput dengan idealismenya tentang “klub sepakbola yang dijalankan secara demokratis oleh suporternya” tak menunjukkan perkembangan positif. Semata mencermati pendapatan klub-klub kaya dari sisi pertandingan, baik dari tiket maupun makanan-minuman, cenderung stagnan dalam 10 tahun terakhir, bahkan cenderung turun dari sisi proporsi terhadap total pendapatan.
Penguasa Liga Champions
Mengamini kritik Michel Platini saat menggagas FFP, klub-klub kaya di Eropa itulah yang mendominasi pemenang Liga Champions di Eropa. Mereka yang menduduki posisi 20 besar, 10 besar, bahkan lebih spesifik lagi lima besar klub paling kaya di Eropalah yang menjadi penguasa Liga Champions.
Dalam sepuluh tahun terakhir, juara Liga Champions diraih bergantian oleh lima klub kaya di Eropa, mulai dari Manchester United pada musim 2007/08 hingga Real Madrid pada musim 2017/18.
Kelima klub tersebut adalah Real Madrid, Manchester United, FC Barcelona, Bayern Munchen, dan Chelsea. Catatan khusus dapat diberikan untuk Real Madrid yang menjadi langganan juara Liga Champions sepanjang masa dengan 13 kali gelar.
Perkecualian dalam sepuluh tahun terakhir terjadi pada musim kompetisi 2009/10 ketika juara Liga Champions diraih oleh Inter Milan. Akan tetapi, Inter Milan pun merupakan anggota dari 10 besar klub terkaya dunia karena pada musim itu duduk di posisi ke-9.
Tampaknya klub-klub kaya tidak terusik dengan kebijakan FFP yang dikeluarkan oleh UEFA. Dominasi mereka terhadap kompetisi paling bergengsi, Liga Champions, tetap tak tergoyahkan.
Bisa jadi, inilah yang dianggap membosankan oleh beberapa pengamat sepakbola, di luar fans fanatik tiap klub, bahwa pemenang Liga Champions hanya diisi oleh lima klub paling kaya di dunia. Secara sederhana, kandidat peraih Liga Champions dapat dilihat dari 10 besar klub terkaya dunia, atau lebih spesifik lima besar klub terkaya di dunia.
Dengan kata lain, usaha Platini dengan FFP-nya seakan tak berhasil menciptakan kesetaraan dalam kompetisi sepakbola Eropa. Padahal, FFP sudah berjalan selama 10 tahun dan setiap tahun semakin memperketat aturan.
Finalis 2019
Sedikit berbeda dengan finalis Liga Champions musim 2018/19 yang akan mempertemukan Liverpool dan Tottenham Hotspur. Mereka bukan penghuni top 5 klub terkaya di dunia, tetapi tetap saja masuk dalam top 10 klub terkaya di dunia sehingga tersedia cukup data menyangkut pendapatan klub.
Dalam daftar 2019 (musim 2017/18) yang dirilis oleh Deloitte, Liverpool berada di posisi ke-7 klub terkaya di dunia sedangkan Tottenham Hotspur berada di posisi ke-10.
Tercatat, selama tahun 2018, Liverpool membukukan total pendapatan sejumlah 513 juta euro, meningkat 89 juta euro dari pendapatan tahun 2017 dari sektor pertandingan, hak siar, dan komersial. Peningkatan paling besar didapat dari hak siar yang sebelumnya bernilai 182,5 juta euro menjadi 251,3 juta euro.
Jumlah peningkatan pendapatan dari hak siar juga meningkat proporsinya, dari 43 persen menjadi 49 persen dari total pendapatan. Pendapatan yang menurun secara proporsi adalah dari sisi pertandingan, dari 19 persen menjadi 18 persen.
Hal sebaliknya dialami oleh Hotspur. Selama 2018, walaupun secara jumlah meningkat, pendapatan dari hak siarnya mengalami penurunan proporsi dari 61 persen pada 2017 menjadi hanya 53 persen pada 2018. Peningkatan pendapatan Hotspur terjadi pada lini pertandingan, yakni dari penjualan tiket dan makan minum selama pertandingan.
Pada 2017, pendapatan dari pertandingan sejumlah 52,7 juta euro atau 15 persen dari total pendapatan. Nilai tersebut meningkat menjadi 85,2 juta euro pada 2018 atau naik menjadi 20 persen dari total pendapatan.
Baca Juga: Duel Pamungkas Para Penyintas
Melihat lini pendapatan kedua klub, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut. Kenaikan proporsi pendapatan Hotspur dari sisi pertandingan menunjukkan bahwa dukungan fans Hotspur semakin membesar dan solid dalam dua tahun terakhir. Dukungan tersebut tampak dari naiknya penjualan tiket dan makan-minum selama pertandingan.
Hal yang menarik, selain kenaikan proporsi pendapatan dari sisi pertandingan, Hotspur juga mengalami kenaikan proporsi pendapatan dari sisi komersial. Artinya, dari sisi akar rumput atau fans, terjadi peningkatan dukungan, demikian juga dari sisi eksternal, kerja sama dengan para pemodal besar.
Bagi Liverpool, proporsi pendapatan yang naik dari hanya dari sisi hak siar, sedangkan proporsi pendapatan dari pertandingan dan komersial malah turun. Situasi yang berkebalikan tersebut menunjukkan bahwa daya jual merk Liverpool masih tinggi, terbukti nilai kontrak hak siar pertandingannya meningkat dalam dua tahun terakhir.
peningkatan pendapatan klub-klub kaya semakin didominasi oleh pendapatan dari sisi komersial.
Akan tetapi, pola seperti yang dialami oleh Liverpool inilah yang juga terjadi di antara top 5 klub paling kaya peraih Liga Champions dalam 10 tahun terakhir. Melihat hasil pemenang Liga Champions 10 tahun terakhir kemudian membandingkan dengan laporan keuangannya dalam dua tahun ke belakang, tampak pola bahwa proporsi pendapatan lini pertandingan mengalami penurunan.
Pola ini tentu saja hanya menunjukkan pola ke belakang, tetapi tidak menunjukkan sebab-akibat atau faktor penentu bagi sebuah klub untuk memenangkan Liga Champions. Akan tetapi, apabila Liverpool memenangkan Liga Champions musim ini, pola tersebut akan kembali terjadi.
Baca Juga: Setelah Keajaiban Itu Berlalu
Bukan Milik Klub Miskin
Sejak FFP dilaksanakan pada 2011, tak dapat diabaikan bahwa FFP berhasil memangkas 20 persen jumlah klub yang mengalami kerugian keuangan di antara klub-klub yang bermain di divisi utama di Eropa.
Selain itu, pelaksanan FFP juga berhasil mencegah peningkatan utang klub dengan dukungan dari pemilik untuk menanggung utang klub. Dengan demikian, tujuan FFP yang langsung terlihat adalah meningkatkan kesehatan finansial klub sepakbola di Eropa.
Akan tetapi, melalui penelusuran sanksi FFP, perubahan pendapatan klub-klub kaya, serta tren juara Liga Champions menunjukkan bahwa dampak FFP lebih terasa bagi klub-klub kecil yang tergolong miskin. Bahkan, sanksi FFP terasa lebih tajam ke bawah daripada kepada klub-klub kaya.
Semangat yang didengungkan oleh FFP dalam pembentukannya, yakni kesamaan kesempatan tiap klub dalam memenangkan pertandingan, belum terasa. Selain itu, proyek besar Platini yang melatarbelakangi FFP, yakni melindungi sepakbola dari serbuan modal dan pasar bebas, masih jauh dari harapan.
Yang terjadi malah sebaliknya. Sepakbola Eropa cenderung dibanjiri modal. Sokongan pemodal dalam bentuk sponsor makin besar dari musim ke musim. Terbukti, peningkatan pendapatan klub-klub kaya semakin didominasi oleh pendapatan dari sisi komersial.
Oleh karena itu, pertanyaan di awal tulisan ini masih sangat relevan dan dapat dimodifikasi untuk setiap gelaran Liga Champions: Haruskah menjadi tim kaya agar dapat menjuarai Liga Champions?
Jawabannya dapat dilihat dari dominasi klub-klub kaya dalam kompetisi tingkat Eropa. Sampai saat ini, sepakbola Eropa masih menampakkan wajahnya sebagai parade kemenangan bagi mereka yang memiliki banyak uang. (LITBANG KOMPAS)