Keajaiban adalah bayang-bayang yang menyertai pertandingan final Liga Champions 2019, Minggu dini hari nanti. Siapa yang mengira di stadion Wanda Metropolitano, Madrid, nanti akhirnya terjadi all England final antara Liverpool dan Tottenham Hotspurs, dua raksasa Inggris itu?
Setelah dihajar 0-3 oleh Barcelona, nyaris tak ada orang yang percaya, Liverpool bisa menang dalam pertandingan di kandangnya. ”Saya bukan penjudi. Seandainya ya, saya pun tak akan mempertaruhkan sepeser pun untuk memegang Liverpool. Tiga setengah tahun melatih di Liverpool, Juergen Klopp belum memenangkan apa pun,” komentar kritis Jose Mourinho, mantan pelatih Chelsea dan Manchester United, setelah kekalahan Liverpool yang menyakitkan itu.
Sendiri itu membuat orang lemah, hanya bersama-sama dalam kelompok akan membuat orang kuat
Ternyata di Anfield, kandangnya yang angker, Liverpool bisa membuat Lionel Messi dan kawan-kawannya terkapar, 4-0. Dan Mourinho pun menarik kembali pernyataannya. ”Come back ini mempunyai sebuah nama: Juergen,” kata Mourinho.
”Itu adalah cermin dari kepribadiannya, semangat perjuangannya, tak pernah menyerah. Bukan taktik atau filosofi permainan, tapi hati, jiwa dan semangatnyalah yang melahirkan kemenangan itu,” lanjut pelatih asal Portugal itu.
Setelah pertandingan di Camp Nou, Klopp sendiri kelihatan lebih membayangkan kekalahan daripada kemenangan. Ia bilang, keajaiban atau kegagalan yang dijalani dengan permainan yang indah, hanya itulah yang mungkin terjadi di Anfield. ”Menang melawan Barcelona adalah hal yang tersulit dalam dunia sepak bola, apalagi setelah mereka mengalahkan kami, 3-0,” kata Klopp.
Maka Klopp seakan tidak percaya, bahwa anak-anaknya bisa meninggalkan Barcelona, 3-0, disusul gol ke empat yang demikian fantastis itu. “Saya sedang bicara di pinggir lapangan, dan saya melihat bola terbang masuk ke gawang lawan. Saya masih bertanya, siapa yang membuat gol itu?” tutur Klopp.
Gol itu ternyata dibuat oleh Divock Origi, setelah terjadi manuver tendangan sudut Trent Alexander-Arnold yang demikian cepat, cerdik dan taktis itu.
Mentalitas monster
Klopp menyebut, kemenangan itu diperoleh karena anak-anak asuhannya bisa bermain dengan mentalitas monster. Mentalitas pantang menyerah yang dahsyat ini berangkat dari fundamen, yakni kesadaran untuk mengakui dan membatinkan, “sendiri itu membuat orang lemah, hanya bersama-sama dalam kelompok akan membuat orang kuat.’
Semboyan di dunia bola segera menemukan gema bahkan di dunia politik, ketika parlemen Inggris membicarakan kemenangan Liverpool yang fenomenal itu.
Pernyataan Klopp itu langsung dikaitkan dengan masalah Brexit dan Uni Eropa: Lebih baik bagi Inggris untuk memperhitungkan tinggal di Uni Eropa bersama segala kelemahannya, daripada tinggal memencilkan diri di kepulauannya. Sendirian tak mungkin Inggris akan menang.
Hidup yang nyata tidak mempunyai pemenang-pemenang dalam menit-menit terakhir
Pemimpin oposisi, Jeremy Corbyn, menyarankan agar Theresa May, perdana menteri yang kemudian lengser, memetik pelajaran dari kemenangan Liverpool itu. Dan ia menyarankan agar May cerdik berunding dengan para pemimpin Uni Eropa di Brussels, sambil mengingat semboyan Liverpool itu: Sungguh, kita dapat selalu menang, bila kita bersama-sama saling menopang.
Dunia bola Inggris menyentak, bukan hanya karena Liverpool, tapi juga karena Tottenham. Anak-anak Mauricio Pochettino ini nyaris di ambang jurang kekalahan, setelah di Johann Cruyff Arena Ajax meninggalkan mereka dengan 2-0 di babak pertama. Babak kedua pun belum memberikan kepastian, ketika mereka dapat menyamakan kedudukan.
Baru setelah gol ketiga Lucas Moura di saat yang kritis, menit ke-96, mereka bisa membuat pemain-pemain Ajax, yang telah menyisihkan raksasa Juventus dan Real Madrid, tersungkur dan menangis di lapangan.
“Tiga gol Lucas sungguh gila,” kata Son Heung-min. “Terima kasih, sepak bola,” kata Pochettino, dan tambahnya, “Tak mungkinlah kita hidup tanpa bola.”
Memang, jika hidup ini perlu terhentak dari kepastiannya, dan kemudian bersyukur karena keajaibannya, rasanya itu hanya sepak bola yang bisa memberikannya. Seperti dikatakan penulis bola Nick Hornby, “hidup yang nyata tidak mempunyai pemenang-pemenang dalam menit-menit terakhir.”
Sungguh, manusia sering membutuhkan keajaiban untuk keluar dari kekalahannya. Hidup nyata sulit mengabulkan kebutuhan itu. Syukur ada bola, karena dalam bolalah, orang boleh keluar sebagai pemenang, di menit-menit ia tertakdirkan untuk kalah.
Tapi ini tidak berarti seakan hanya keajaibanlah yang menuntun Liverpool dan Tottenham menuju ke Madrid dalam final Liga Champions nanti.
Dalam melatih anak-anaknya, Klopp sendiri berpegang keras pada prinsip: Dalam bola, keberuntungan itu hanya kadang-kadang saja membantu kita.
Sementara yang selalu membantu kita adalah kerja keras. Kerja keras itu harus dijalankan dengan langkah demi langkah, sambil selalu waspada, mana peluang dan kesempatan yang bisa dimanfaatkan. Maka kata Klopp, “Lima menit terakhir pun cukup untuk meraih tiga gol.”
Anak-anak Klopp tidak ingin menunggu begitu lama, dalam menit-menit pertama pun mereka langsung menggedor gawang Barcelona. Dan dengan cara itu pula mereka yakin bisa menaklukkan Tottenham di final nanti.
Dalam bola tak bisa orang memperpanjang gugatan akan kekalahannya, jika memang selama 90 menit di lapangan ia ternyata sudah kalah
Sementara Pochettino adalah pelatih dengan segudang taktik. Selama ini ia juga berhasil membentuk Tottenham menjadi sebuah tim yang bisa berfungsi dengan sangat baik.
Tiga tahun terakhir ini, para pemainnya selalu berada dalam satu komando, sudah saling mengenal dan memahami, sehingga menjadi kesebelasan yang sangat kompak. Kehebatan ini sudah terbukti, ketika mereka berhasil menyingkirkan Manchester City dan Ajax.
Rasanya Tottenham melangkah ke final dengan lebih ringan. Lain dengan Liverpool. Mereka gagal menjadi juara Liga Inggris dengan hanya selisih satu angka terhadap Manchester City. Sementara dua kali berturut-turut mereka melangkah ke final Liga Champions. Dua kali ke final, masak akan dua kali pula gagal? Kegagalan beruntun itu bisa terjadi bila Liverpool tidak berhati-hati.
Dan bila itu terjadi, mereka hanya bisa meratapi. Maklum, sepak bola itu lugas dan fair: dalam bola tak bisa orang memperpanjang gugatan akan kekalahannya, jika memang selama 90 menit di lapangan ia ternyata sudah kalah.