Lembaga pemeringkat Standard & Poor’s menaikkan peringkat utang jangka panjang Indonesia. Kenaikan ini salah satunya akan memberikan sinyal positif bagi investor.
Oleh
Karina Isna Irawan
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Lembaga pemeringkat Standard & Poor’s menaikkan peringkat utang jangka panjang Indonesia menjadi BBB dengan proyeksi stabil. Kenaikan ini diyakini akan memberikan sinyal positif bagi investor. Selain itu, biaya modal pengusaha akan lebih murah karena imbal hasil surat utang pemerintah kian rendah.
Peringkat utang jangka panjang Indonesia meningkat dari BBB- dengan proyeksi stabil per Mei 2018 menjadi BBB dengan proyeksi yang sama. Kenaikan peringkat cukup signifikan karena tidak melalui BBB dengan proyeksi positif sesuai aturannya.
Peringkat baru yang diumumkan Standard & Poor’s (S&P) pada Jumat (31/5/2019) itu melengkapi peringkat layak investasi yang sudah lebih dahulu diberikan oleh lembaga pemeringkat Fitch Ratings dan Moody’s Investor Service.
Dalam laporannya, S&P menilai, prospek pertumbuhan Indonesia cukup kuat didukung kebijakan pemerintah yang efektif dalam mengelola keuangan berkelanjutan. Perekonomian Indonesia juga secara konsisten lebih baik dibandingkan negara-negara berkembang dengan tingkat pendapatan yang sama.
S&P juga menyoroti pertumbuhan domestik bruto (PDB) per kapital riil Indonesia yang mampu tumbuh sebesar 4,1 persen di atas rata-rata pertumbuhan PDB per kapita riil dunia, yakni 2,2 persen. Indonesia diharapkan mampu mempertahankan momentum pertumbuhan ekonomi di tahun-tahun mendatang.
Selain itu, keputusan S&P menaikkan peringkat utang Indonesia karena tingkat beban utang pemerintah yang relatif rendah didukung kinerja fiskal yang moderat. S&P menilai rasio utang pemerintah relatif aman dan stabil dalam beberapa tahun ke depan.
Menanggapi hal tersebut, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengatakan, kenaikan peringkat utang Indonesia memberi sinyal positif bagi investor. Daya tarik dan optimisme itu penting karena Indonesia saat ini tengah mengalami tekanan cukup besar dari faktor eksternal.
“Sebenarnya apa yang kita alami beberapa tahun ini sama. Di dalam negeri berusaha tumbuh stabil, tetapi di luar selalu direvisi ke bawah. Kenaikan peringkat ini setidaknya dapat memperkecil dampak tekanan global bagi perekonomian RI,” kata Darmin dalam jumpa pers di Jakarta, Jumat (31/5/2019).
Menurut Darmin, kenaikan peringkat utang menjadi BBB akan berdampak langsung terhadap perbaikan indeks harga saham gabungan di pasar modal dan stabilitas kurs rupiah. Investasi baik portofolio ataupun penanaman modal asing diyakini akan masuk lebih deras ke dalam negeri.
Pasca S&P merilis peringkat utang terbaru Indonesia, kurs rupiah terpantau menguat. Berdasarkan kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor), nilai tukar rupiah pada Jumat Rp 14.385 per dollar AS atau menguat 32 poin dari sehari sebelumnya.
Darmin menambahkan, kendati tekanan global terhadap pasar modal dan pasar keuangan berkurang, tetapi pemerintah tetap mempunyai pekerjaan rumah cukup besar. Salah satunya mengatasi defisit transaksi berjalan melalui perbaikan neraca perdagangan minyak dan gas.
Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kementerian Keuangan Nufransa Wira Sakti menambahkan, kenaikan peringkat utang Indonesia tidak terlepas dari kebijakan kontra siklus untuk menstimulasi perekonomian. Kontra siklus melalui instrumen APBN berhasil menjaga pertumbuhan konsumsi melalui realisasi belanja pemerintah.
Imbal hasil rendah
Dihubungi terpisah, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdami mengatakan, biaya modal pengusaha akan semakin rendah seiring kenaikan peringkat utang Indonesia menjadi BBB. Pembiayaan akan lebih murah karena imbal hasil surat utang pemerintah semakin rendah.
“Tidak hanya mendapatkan pembiayaan untuk investasi, tetapi juga menambah keyakinan investor bahwa di Indonesia risikonya relatif rendah,” kata Hariyadi.
Meski demikian, pemerintah tetap harus mengevaluasi sejumlah kebijakan agar kepercayaan investor terus tumbuh. Salah satunya tidak menerbitkan regulasi baru yang justru menambah persoalan baru. Di sisi lain, regulasi yang ada harus dimonitor secara konsisten dan transparan.
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo, melalui siaran pers yang diterima Kompas, mengatakan, pemerintah dan BI berkomitmen melanjutkan reformasi struktural untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang kuat dan inklusif.
Hal itu akan didukung oleh sinergi kebijakan moneter, keuangan, dan fiskal dalam rangka menjaga stabilitas makro.
Di sisi eksternal, S&P menilai keputusan BI menaikkan suku bunga 175 bps cukup proaktif dalam merespons tekanan eksternal. Indonesia tidak mengalami risiko tinggi dari aspek pembiayaan luar negeri karena akses pasar yang kuat dan berkelanjutan ditambah arus masuk penanaman modal asing.