Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Mohamad Nasir meminta perguruan tinggi dan peneliti bidang energi mengejar kemajuan yang dicapai negara maju dalam membuat baterai litium untuk kendaraan listrik. Baterai menjadi tantangan utama dalam pengembangan kendaraan listrik.
Oleh
ERWIN EDHI PRASETYA
·3 menit baca
SOLO, KOMPAS — Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Mohamad Nasir meminta perguruan tinggi dan peneliti bidang energi mengejar kemajuan yang dicapai negara maju dalam membuat baterai litium untuk kendaraan listrik. Baterai menjadi tantangan utama dalam pengembangan kendaraan listrik.
”Baterai ini adalah problem paling utama di Indonesia karena nilai baterai itu adalah 35-40 persen (dari total biaya kendaraan listrik),” kata Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Mohamad Nasir saat mengunjungi Pusat Pengembangan Bisnis dan Unit Produksi Baterai Lithium, Universitas Sebelas Maret (UNS), Solo, Jawa Tengah, Jumat (31/5/2019).
Nasir mengatakan, tantangan saat ini adalah membuat baterai litium lebih murah dengan mutu yang baik. Dengan demikian, porsi baterai yang semula mencapai 35-40 persen dalam komponen total biaya produksi kendaraan listrik dapat diturunkan menjadi maksimal 20 persen sehingga harga jual kendaraan listrik akan menjadi lebih kompetitif. ”Kalau bisa menjadi 10 persen, itu lebih baik. Idealnya maksimal 20 persen,” katanya.
Karena itu, ujar Nasir, riset baterai litium saat ini menjadi sangat penting. Perguruan tinggi dan para peneliti harus mampu mengembangkan baterai litium seperti yang dilakukan oleh negara-negara maju. ”Amerika Serikat sudah berkembang pesat sekali, Indonesia harus melakukan hal yang sama,” ujarnya.
Untuk mempercepat kemajuan riset dan pengembangan baterai, menurut Nasir, jika diperlukan akan membeli kendaraan listrik kemudian membongkarnya untuk mempelajari, meniru, dan melakukan penambahan-penambahan yang diperlukan. ”Ini supaya kita cepat, jangan sampai negara lain sudah maju sekali di bidang ini, tetapi kita masih melakukan penelitian dasar,” katanya.
Nasir mengatakan, pemerintah menjadikan UNS sebagai pusat penelitian baterai litium di Indonesia. Namun, saat ini pengembangan baterai litium di UNS masih menghadapi persoalan, yaitu litium yang masih harus diimpor. ”Kita punya bahan bakunya, tetapi belum bisa diproses,” katanya.
Rektor UNS Jamal Wiwoho mengatakan, pengembangan baterai litium di UNS telah dimulai sejak 2012 sejalan dengan pencanangan program Mobil Listrik Nasional (Molina). Baterai litium ion yang dikembangkan yaitu jenis LFP (lithium ferro phosphate) dan NCA (nickel cobalt aluminium oxide).
Baterai ini adalah problem paling utama di Indonesia karena nilai baterai itu adalah 35-40 persen (dari total biaya kendaraan listrik).
”Baterai litium yang dikembangkan UNS ini dapat diaplikasikan untuk kendaraan listrik dan alat penyimpan energi dari pembangkit energi yang terbarukan. Teaching Factory Baterai Lithium UNS sekarang telah mampu memproduksi 1.000 sel baterai per hari dengan kapasitas 5 kilowatt jam (kWh) untuk jenis LFP dan 10 kWh untuk jenis NCA,” katanya.
Ketua Tim Peneliti dan Pengembangan Baterai Lithium UNS Agus Purwanto mengatakan, pada tahun ini akan mulai diproduksi bahan baku litium dengan material lokal. Dengan memproduksi bahan baku sendiri, harga jual baterai litium akan bisa ditekan hingga 50 persen, yaitu untuk NCA menjadi Rp 25.000-Rp 30.000 per sel, sedangkan jenis LFP menjadi berkisar Rp 20.000 per sel dengan ukuran diameter 18 milimeter dan tinggi 65 mm. ”Produksi bahan baku itu nanti hanya sampai teaching factory, bukan pabrik besar,” katanya.