Pengadilan Australia Denda Garuda Indonesia Rp 189 Miliar
Oleh
ELSA EMIRIA LEBA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pengadilan Federal Australia menjatuhkan denda sebesar 19 juta dollar Australia atau setara Rp 189,17 miliar kepada PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. Pemberian denda itu berdasarkan putusan bahwa Garuda Indonesia bersama 14 maskapai penerbangan lainnya terlibat dalam kartel kargo udara menuju yurisdiksi Australia pada 2003.
Media Australia, The Sydney Morning Herald, menyebutkan, pengadilan mengumumkan jumlah total denda sebesar 132 miliar dollar Australia terhadap 15 maskapai penerbangan dunia. Beberapa maskapai lain yang terlibat dalam penetapan harga kargo di antaranya Qantas, Air New Zealand, Singapore Airlines, and Cathay Pacific.
Hakim Pengadilan Federal Nye Perram, pada Kamis (30/5/2019), mengatakan, secara keseluruhan Garuda Indonesia harus membayar sebesar 19 juta dollar Australia. Garuda Indonesia harus membayar 15 juta dollar Australia atas tindakan penetapan biaya tambahan keamanan dan bahan bakar serta biaya bea cukai untuk pengiriman barang dari Indonesia.
Garuda juga harus membayar 4 juta dollar Australia karena mengenakan biaya tambahan asuransi dan bahan bakar dari Hong Kong. Total jumlah denda ini melebihi pendapatan kargo Garuda Indonesia selama 2003-2006 dari semua rute yang ada.
Jumlah denda yang harus dibayar Garuda Indonesia merupakan tertinggi kedua dari jumlah denda yang harus dibayar maskapai lainnya. Qantas memperoleh putusan denda terbesar, yaitu sebesar 20 juta dollar Australia.
Perram melanjutkan, denda tersebut layak diberikan kepada Garuda Indonesia. Selain itu, bukti menunjukkan bahwa anggota staf senior mengetahui tindakan kejahatan tersebut.
Vice President Corporate Secretary Garuda Indonesia Ikhsan Rosan mengatakan, putusan tersebut belum berkekuatan hukum tetap. Oleh karena itu, perusahaan masih memiliki celah hukum untuk mengajukan banding.
”Garuda Indonesia menganggap bahwa perkara ini tidak adil karena tidak pernah melakukan praktik tersebut dalam bisnisnya. Tuduhan ini tidak patut diberikan kepada Garuda Indonesia sebagai perusahaan BUMN yang adalah salah satu instrumen negara,” kata Rosan ketika dikonfirmasi, Jumat (31/5/2019).
Rosan melanjutkan, denda dalam perkara ini juga seharusnya tidak lebih dari 2,5 juta dollar Australia. Jumlah sebesar 2,5 juta dollar ini berasal dari pertimbangan bahwa pendapatan pengangkutan kargo Garuda dari Indonesia adalah sebesar 1,09 juta dollar AS dan pendapatan pengangkutan kargo dari Hong Kong sebesar 656.000 dollar AS ketika perkara terjadi.
Untuk menyelesaikan kasus ini, Garuda Indonesia telah berkoordinasi dengan Kedutaan Besar Australia sejak 2012 dan Tim Direktorat Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional Kementerian Luar Negeri sejak 2016. Garuda Indonesia sebelumnya juga telah berkoordinasi secara rutin dengan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Indonesia.
Kronologi kasus
Kasus berawal ketika Komisi Persaingan dan Konsumen Australia (ACCC) melayangkan tindakan hukum terhadap sejumlah maskapai yang diduga menetapkan biaya tambahan kargo udara dalam penerbangan-penerbangan menuju Australia selama 2003-2006. Gugatan disampaikan ACCC kepada pengadilan pada 2008.
Pengadilan Federal menolak gugatan ACCC pada 31 Oktober 2014. Akan tetapi, Pengadilan Tinggi Australia mengabulkan gugatan ACC dalam pengadilan banding sehingga Garuda Indonesia dan Air New Zealand dinyatakan bersalah atas tuduhan penetapan harga (price fixing) pada 14 Juni 2017.
Rosan menyampaikan, hanya Garuda Indonesia dan Air New Zealand yang mengajukan upaya hukum di tingkat pertama ke Pengadilan Federal sampai kasasi ke Pengadilan Tinggi Australia. Sebanyak 13 maskapai lainnya memutuskan untuk melalui mekanisme perdamaian dengan mengaku bersalah sehingga dikenai denda dan ganti rugi pada kisaran 3 juta-20 juta dollar Australia.
Ketua ACCC Rod Sims menyampaikan, ia merasa puas karena telah mendapatkan putusan terkait kasus tersebut. ”Penetapan harga adalah masalah serius karena secara tidak adil mengurangi kompetisi bagi para pebisnis dan konsumen Australia dalam pasar,” ucapnya. (REUTERS/THE SYDNEY MORNING HERALD)