Pendapatan Meningkat 25 Persen, Laba Bersih Pertamina Malah Turun
Pendapatan PT Pertamina (Persero) pada 2018 meningkat dibandingkan pendapatan pada 2017. Namun, peningkatan pendapatan itu tidak lantas membuat Pertamina bisa menikmati peningkatan laba bersih.
Oleh
Benediktus Krisna Yogatama
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Pendapatan PT Pertamina (Persero) pada 2018 meningkat 25,90 persen dibandingkan pendapatan pada 2017. Namun, peningkatan pendapatan itu tidak lantas membuat Pertamina bisa menikmati peningkatan laba bersih. Laba bersih turun tipis, dan berimplikasi pula pada berkurangnya pembagian dividen ke pemegang saham.
Hal itu mengemuka dalam jumpa pers Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) PT Pertamina (Persero) di Gedung Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta, Jumat (31/5/2019).
Jumpa pers itu dilakukan usai Pertamina mengadakan RUPS secara tertutup, bersama dengan pemegang saham yakni Kementerian BUMN, di Gedung Kementerian BUMN.
Hadir dalam acara itu, Deputi Bidang Usaha Pertambangan, Industri Strategis, dan Media Kementerian BUMN Fajar Harry Sampurno, Komisaris Utama Pertamina Tanri Abeng, Direktur Keuangan Pertamina Pahala N Mansury, Direktur Logistik, Supply Chain, dan Infrastruktur Pertamina Gandhi Sriwidodo, Direktur Megaproyek Pengolahan dan Petrokimia Pertamina Ignatius Tallulembang, dan Direktur Pemasaran Korporat Pertamina Basuki Trikora Putra.
Sementara Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati tidak terlihat hadir dalam jumpa pers tersebut.
Berdasarkan laporan keuangan Pertamina, total pendapatan 2018 sebesar 57,93 miliar dollar AS atau setara dengan sekitar Rp 839,98 triliun. Pendapatan itu meningkat 25,90 persen dibandingkan pendapatan pada 2017 yang sebesar 46,01 miliar dollar AS (sekitar Rp 668,45 triliun).
Direktur Keuangan PT Pertamina (Persero) Pahala N Mansury menjelaskan, kenaikan pendapatan berasal dari pos penjualan dalam negeri berupa minyak mentah, gas bumi, energi panas bumi, dan produk minyak. Pendapatan Pertamina dari pos ini pada 2018 mencapai 44,74 miliar dollar AS (Rp 648,73 triliun), meningkat 12,46 persen dari 2017 yang sebesar 39,78 miliar dollar AS.
"Pos penjualan dalam negeri berupa minyak mentah, gas bumi, energi panas bumi, dan produk minyak, menjadi kontributor terbesar yakni 77,23 persen dari total pendapatan Pertamina," ujar Pahala.
Meski mencatat peningkatan pendapatan, laba bersih Pertamina justru turun 2,59 persen. Pada 2018 laba bersih Pertamina sebesar 2,63 miliar dollar AS (Rp 38,13 triliun) menurun dibandingkan 2017 yang sebesar 2,7 miliar dollar AS (Rp 39,15 triliun).
Pertamina tidak menikmati peningkatan laba bersih lantaran adanya peningkatan beban pokok penjualan dan beban langsung lainnya. Pada 2018 beban pokok penjualan dan beban langsung lainnya Pertamina sebesar 48,71 miliar dollar AS (Rp 706,29 triliun) meningkat 29,47 persen dibandingkan beban pokok penjualan dan beban langsung lainnya pada 2017 yang sebesar 37,62 miliar dollar AS (Rp 545,49 triliun).
"Kenaikan beban itu terutama disebabkan karena naiknya harga pembelian bahan baku dan impor produk yang dipengaruhi kenaikan realisasi Indonesia Crude Price dan harga minyak 2018 dibanding 2017," jelas Pahala.
Dividen turun
Pahala menjelaskan, selain menyetujui laporan keuangan 2018, RUPS juga menyetujui pemberian dividen dari laba bersih Pertamina.
Pada 2018, Pertamina memberikan dividen kepada pemegang saham sebesar Rp 7,95 triliun atau setara dengan 20,84 persen dari total laba bersih Pertamina 2018. Jumlah dividen itu menurun dari 2017 yang sebesar Rp 8,56 triliun atau setara dengan 21,8 persen dari laba bersih 2017 yang sebesar Rp 39,15 triliun.
Pahala mengatakan, penurunan tipis dividen itu menyesuaikan dari penurunan laba bersih. Namun, ia mengatakan nilai dividen itu masih sesuai dengan rasio pemberian dividen.
"Tahun 2018 dividen kami setara dengan 20,84 persen dari laba bersih. Tahun 2017 dividen kami setara dengan 21,8 persen dari laba bersih. Tidak berbeda jauh besarannya," ujar Pahala.
Ia juga mengatakan, kebutuhan belanja modal Pertamina tahun ini yang mencapai 5,2 miliar dollar AS - 5,7 miliar dollar AS (sekitar Rp 80 triliun), membuat Pertamina membutuhkan banyak kas.
Deputi Bidang Usaha Pertambangan, Industri Strategis, dan Media Kementerian BUMN Fajar Harry Sampurno mengatakan, Pertamina sangat terlambat dalam menyampaikan laporan keuangannya. Padahal, lanjut Harry, sesuai dengan aturan dari Kementerian Keuangan dan Kementerian BUMN, audit laporan keuangan seharusnya selesai Februari.
"Keterlambatan ini menjadi catatan Kementerian BUMN. Dampaknya penilaian kepatuhan aspek administrasinya Pertamina berkurang," ujar Harry.
Pahala menjelaskan, keterlambatan itu terjadi karena Pertamina harus mengaudit secara detail laporan keuangannya. "Kami ingin akui seluruh pendapatan yang diakui," ujar Pahala.