JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah kalangan menaruh harapan agar Indonesia dapat memetik manfaat dari perang dagang antara Amerika Serikat dan China. Namun, Indonesia harus berkompetisi ketat dengan beberapa negara tetangga di Asia Tenggara apabila ingin menarik investasi atau relokasi perusahaan dari China.
”Faktor yang menjadi daya tarik investasi di suatu negara akan tergantung jenis industri yang direlokasi,” kata Direktur Eksekutif Indonesian Agency for Outbound Investment Development, Guspiabri Sumowigeno, ketika dihubungi, Kamis (30/5/2019).
Dia mencontohkan, industri bercorak padat karya, misalnya, akan cenderung lebih memilih Vietnam. Sebab, situasi aturan ketenagakerjaan atau kondisi perburuhan di Vietnam dinilai lebih terkendali.
”Dalam konteks China, mereka mungkin lebih familiar dengan sistem politik Vietnam dalam pengendalian perburuhan dibandingkan di Indonesia yang lebih banyak gejolak,” kata Guspiabri.
Akan tetapi, ketika investor China juga lebih tertarik merelokasi pabrik ke Malaysia, menurut dia, hal ini diperkirakan terkait dengan tingkat standar hidup atau tingkat penguasaan teknologi di Malaysia yang lebih tinggi daripada Indonesia.
”Tingkat standar hidup lebih berkaitan ke potensi pasar yang memiliki kemampuan membeli lebih baik. Penguasaan teknologi berkaitan dengan ekosistem yang lebih mendukung bagi kegiatan produksi,” katanya.
Sebelumnya, awal pekan ini, Independent Research and Advisory Indonesia menggelar unjuk bincang bertajuk Post Election Economic Updates. Pada acara tersebut, Director of Centennial Group dan Chief Executive Centennial Asia Advisors Manu Bhaskaran mengatakan, perang dagang AS-China mendorong relokasi produksi dari China ke beberapa negara di Asia Tenggara.
Namun, Bhaskaran menuturkan, lokasi baru pabrik-pabrik dari China tersebut terutama ke Vietnam, Thailand, dan Malaysia, bukan ke Indonesia.
Efisiensi
Guspiabri mengatakan, Indonesia memang memiliki jumlah penduduk besar yang potensial sebagai pasar dan juga sumber daya alam melimpah. ”Namun, pada akhirnya calon investor juga akan memperhitungkan efisiensi totalnya,” katanya.
Dia mencontohkan, meskipun biaya masukan produksi di Malaysia lebih tinggi dibandingkan dengan Indonesia, calon investor juga akan menghitung efisiensi di berbagai aspek seperti biaya pengemasan, biaya logistik, kebijakan pajak, dan lainnya.
”Dan apabila investor tersebut juga mengincar pasar ASEAN, melalui Masyarakat Ekonomi ASEAN, aksesnya juga akan sama seperti memasarkan ke domestik saja,” katanya.
Guspiabri mengatakan, tantangan yang dihadapi Indonesia adalah upaya meyakinkan investor yang semakin berat. Apalagi banyak negara juga memiliki keinginan sama untuk menarik investasi.
”Dalam konteks ini semua negara ASEAN adalah kompetitor kita,” ujarnya.
Ditinjau dari asal negara, investasi China saat ini merupakan terbesar kedua di Indonesia. Badan Koordinator Penanaman Modal mendata sepanjang triwulan I/2019 ada 10.453 proyek penanaman modal asing senilai 7,19 miliar dollar AS. Sebanyak 1.527 proyek senilai 1,13 miliar dollar AS di antaranya berasal dari Republik Rakyat China. (CAS)