Warga lanjut usia masih gagap memakai teknologi informasi. Mereka juga lebih mudah terpapar dan menyebarkan hoaks. Literasi digital lansia penting.
Pemanfaatan teknologi digital merambah semua aspek kehidupan. Bukan hanya telekomunikasi, melainkan juga cara mengakses informasi, layanan kesehatan, transaksi keuangan, hingga belanja. Semua perubahan itu memberikan tekanan psikologis bagi warga lanjut usia.
”Lansia kurang percaya diri menggunakan gawai dan peranti teknologi informasi lain,” kata Direktur Pusat Kajian Pembangunan Keluarga dan Kelanjutusiaan (CeFAS) Universitas Respati Indonesia Sudibyo Alimoeso di Jakarta, Selasa (28/5/2019). Situasi itu sering meningkatkan kecemasan lansia.
Dalam momentum Hari Lanjut Usia Nasional, 29 Mei 2019, Deputi Bidang Keluarga Sejahtera dan Pemberdayaan Keluarga, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) M Yani mengingatkan pentingnya literasi digital dan pendampingan anggota keluarga hingga lansia percaya diri memakai teknologi informasi.
Psikolog teknologi informasi dari Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Neila Ramdhani, mengatakan, meski telepon pintar bisa digunakan untuk berbagai keperluan, lansia umumnya hanya menggunakan ponsel itu untuk telepon dan chat melalui media sosial.
”Lansia kurang nyaman memakai ponsel untuk transaksi SMS banking atau internet banking,” katanya. Mereka rela antre di loket karena kurang percaya jika transaksi keuangan dilakukan tidak di hadapan petugas.
Lansia juga merasa tak nyaman jika komunikasi dilakukan lewat teks atau tertulis. Karena itu, meski membeli tiket daring, mereka tetap meminta tiket cetaknya. Saat mengonfirmasi kehadiran suatu kegiatan melalui surat elektronik atau situs internet, mereka juga tetap menelepon petugas untuk mengabarkan konfirmasinya.
Semua itu, lanjut Neila, adalah bentuk ketidaknyamanan dan kekurangpercayaan diri lansia terhadap teknologi informasi. Namun, itu wajar karena teknologi informasi berbasis internet berkembang saat mereka sudah dewasa. ”Mereka terbiasa dengan cara komunikasi yang dimediasi operator,” katanya.
Situasi itu juga terus terjadi meski penggunaan ponsel dan media sosial di kalangan lansia terus meningkat. Kenaikan itu berlangsung sejalan dengan pertambahan pendapatan dan tingkat pendidikan lansia.
Namun, kekurangpercayaan diri lansia dengan teknologi informasi bukan hanya terjadi di Indonesia. Studi Pew Research Center di Amerika Serikat, 2017, menunjukkan 23 persen lansia berumur lebih dari 65 tahun sedikit percaya diri dan 11 persen lansia tidak percaya diri sama sekali jika bertransaksi daring.
Sebanyak 73 persen lansia di AS juga mengaku butuh bantuan untuk menggunakan peranti elektronik baru.
Yani menambahkan, kegagapan lansia pada teknologi informasi juga dipicu cepatnya perkembangan teknologi yang sulit diikuti lansia. Selain itu, secara alamiah, kemampuan pikir dan refleks lansia akan terus turun seiring bertambahnya usia.
”Literasi digital penting juga dikenalkan pada lansia, khususnya untuk teknologi yang digunakan berulang dan sederhana,” katanya.
Literasi digital penting juga dikenalkan pada lansia, khususnya untuk teknologi yang digunakan berulang dan sederhana.
Hoaks
Kebiasaan memakai mediasi pihak lain dalam transaksi keuangan juga berimbas pada kebiasaan lansia mengakses informasi. Sebelumnya mereka terbiasa mengonsumsi berita media massa yang sudah tersaring. Kini, mereka berhadapan dengan banjir informasi via media sosial yang belum tentu kebenarannya.
”Itu membuat lansia lebih mudah disambangi hoaks,” tambah Neila.
Tak hanya mudah terpapar hoaks, studi di AS yang dipublikasikan di jurnal Science Advances, 9 Januari 2019, menunjukkan lansia lebih banyak menyebarkan berita hoaks dibandingkan dengan kelompok yang lebih muda. Selain akibat lemahnya literasi digital, daya ingat lansia juga sudah turun.
Di tengah situasi sosial politik Indonesia saat ini, Yani menilai kebijaksanaan lansia bisa dimanfaatkan untuk meredam kegaduhan. Terlebih masyarakat Indonesia masih sangat menghormati lansia. Namun, itu perlu dibarengi literasi digital yang baik agar lansia tidak justru menyebarkan hoaks.
Literasi digital untuk lansia itu tidak bisa dilakukan pemerintah sendiri. Keluarga sebagai pendamping lansia dan masyarakat berperan penting mengenalkan seluk-beluk teknologi digital pada lansia, termasuk risiko dan kerentanannya.