Kinerja Guru Dapat Dilihat dari Hasil Ujian Nasional
Hasil ujian nasional diusulkan menjadi salah satu pengukur capaian kinerja guru di sekolah. Hal itu disebabkan baik ataupun buruknya performa siswa sangat berpengaruh dari pemelajaran yang diberikan guru sehari-hari.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Hasil ujian nasional diusulkan menjadi salah satu pengukur capaian kinerja guru di sekolah. Hal itu disebabkan baik ataupun buruknya performa siswa sangat berpengaruh dari pemelajaran yang diberikan guru sehari-hari.
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Totok Suprayitno menyampaikan hal itu dalam peluncuran hasil ujian nasional (UN) SMP, madrasah tsanawiyah, dan Paket B 2019 di Jakarta, Selasa (28/5/2019).
”Pemetaan hasil UN menunjukkan nilai di setiap sekolah secara terperinci sehingga tampak poin-poin yang masih bermasalah,” ujarnya.
Misalnya, ada soal UN yang sebenarnya masuk ke kategori mudah dan semestinya sudah dipelajari di kelas, tetapi pada sekolah tertentu jadi masalah. Kemungkinannya adalah guru tidak maksimal dalam menyampailan materi atau malah melompatinya.
”Perlu ditilik kemampuan guru berkomunikasi kepada siswa dan membuat pemelajaran menarik kadang tidak selalu berbanding lurus dengan tingginya nilai uji kompetensi guru pada mata pelajaran itu,” kata Totok.
Perlu ditilik kemampuan guru berkomunikasi kepada siswa dan membuat pemelajaran menarik kadang tidak selalu berbanding lurus dengan tingginya nilai uji kompetensi guru pada mata pelajaran itu.
Apalagi, dengan adanya UN berbasis komputer (UNBK), semakin mudah memetakan hasil ujian di setiap sekolah secara terperinci. Dari peta ini tampak sekolah yang memiliki prestasi sehingga bisa dilihat rahasia kinerja gurunya. Sama dengan tahun 2018, tahun ini UN juga memiliki soal-soal berbasis penalaran tinggi (high order thinking skills/HOTS) yang jumlahnya 10 persen dari keseluruhan soal.
Sebagai contoh, di Kabupaten Pidie Jaya, Aceh, 23 sekolah mengikuti UNBK. Pada mata pelajaran Bahasa Inggris, delapan sekolah memperoleh nilai kurang dari 40, sepuluh sekolah mendapat nilai 40-55, dan empat sekolah mendapat nilai 55 hingga 70. Akan tetapi, SMPN 3 Ulum menjadi satu-satunya sekolah dengan nilai 75.
”Sekolah itu bisa didatangi untuk dilihat kemungkinan gurunya menjadi tutor sepadan bagi guru-guru Bahasa Inggris di wilayah tersebut,” ujar Totok.
Potensi siswa
Kelebihan lain UN SMP sederajat tahun 2019 adalah adanya angket untuk melihat pengaruh latar belakang sosial dan ekonomi siswa terhadap pola belajar. Selain itu, juga ada angket pemetaan potensi diri siswa menurut persepsi masing-masing.
Siswa diminta memilih di antara lima kategori kecerdasan untuk menggambarkan dirinya, yaitu kinestetik (senang bergerak), logika, musik, visual, dan naturalis (mampu mengenali dan mengategorikan fenomena yang terjadi di sekitar).
Siswa dengan kecerdasan logika memiliki probabilitas 2,26 kali lebih mungkin untuk mendapat nilai UN di atas 55. Siswa dengan kecerdasan visual memiliki probabilitas 1,18 kali lebih besar. Setelah itu diikuti dengan siswa naturalis (0,81), siswa berkecerdasan kinestetik (0,68), dan siswa yang kuat di musik (0,58).
Totok menegaskan, angket ini tidak untuk mengotak-ngotakkan siswa dan memberi stigma ”pintar” atau ”bodoh” pada kategori tertentu. ”Justru kami ingin guru mengenali kecerdasan-kecerdasan ini sehingga bisa membenahi manajemen kelas dan pola pemelajaran,” ujarnya.
Fokus
Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan Kemdikbud Supriano mengatakan, hasil UN menjadi landasan perancangan pelatihan guru per zonasi. Pelatihan tidak lagi memakai modul umum, tetapi dipecah ke unit-unit pemelajaran. Untuk satu mata pelajaran dalam satu zona, pendekatannya bisa berbeda-beda, tergantung refleksi guru mengenai hasil kinerja mereka.
”Selama ini tidak ada pemantauan tentang pemahaman guru terkait kompetensi inti dan kompetensi dasar setiap materi pelajaran. Padahal, pemahaman kedua kompetensi ini yang memungkinkan guru mengatur strategi pemelajaran sesuai kebutuhan siswa yang berbeda-beca,” ucap Supriano.
Selain guru, para pengawas sekolah dan kepala sekolah juga diberi pelatihan berkesinambungan agar perspektifnya juga sejalan dengan prinsip kelas kreatif. Dari 25.000 pengawas yang ada, sebanyak 16.000 orang sedang mengikuti pelatihan. Harapannya, pengawas tidak lagi kaget ketika di lapangan bertemu dengan guru-guru kreatif dan menuduh mereka melanggar aturan buku teks.
Pada kesempatan berbeda, pakar pendidikan Itje Chodidjah dari Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka mengatakan, pemelajaran untuk kelas dengan kategori siswa beragam tidak harus membedakan soal-soal latihan. Bisa dengan cara mengelompokkan siswa.
”Siswa yang sudah memahami materi bisa belajar mandiri, sementara siswa yang butuh strategi khusus bisa diawasi lebih ketat oleh guru,” ujarnya.
Secara umum, sudah 83 persen siswa SMP dan MTs atau setara dengan 3.581.169 orang yang mengikuti UNBK. Sama seperti yang dialami dengan SMA dan SMK, terjadi pengoreksian nilai bagi sekolah yang beralih dari UN berbasis kertas dan pensil ke UNBK.
Untuk SMP dan sederajat, rata-rata pengoreksiannya adalah 1,65 poin. Artinya, sekolah yang pada tahun 2018 mengikuti UN tertulis mendapat nilai 80 pada UNBK 2019, yang tak ada risiko kebocoran soal, nilainya jadi 78,35.