TPF Demo 22 Mei Cukup dari Kepolisian dan Komnas HAM
Pembentukan tim gabungan pencari fakta untuk menginvestigasi pelanggaran penanganan demonstrasi penolakan hasil pemilu 21-22 Mei di Jakarta dinilai tidak mendesak. Sebab, telah ada lembaga negara seperti Polri dan Komnas HAM yang sudah memadai.
Oleh
satrio pangarso wisanggeni
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pembentukan tim gabungan pencari fakta untuk menginvestigasi pelanggaran penanganan demonstrasi penolakan hasil pemilu pada 21-22 Mei di Jakarta dinilai tidak mendesak. Sebab, telah ada lembaga negara seperti Kepolisian Negara RI dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia yang sudah memadai.
Demo penolakan hasil pemilu yang bermula pada Selasa hingga Rabu, 21-22 Mei, di beberapa lokasi di Jakarta berujung kericuhan. Berdasarkan keterangan Divisi Humas Polri, telah teridentifikasi tujuh orang yang menjadi korban jiwa dalam insiden itu. Di tengah masyarakat, muncul desakan untuk menginvestigasi pihak-pihak yang bertanggung jawab atas kekerasan tersebut.
Seusai rapat paripurna ke-18 DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, pada Selasa (28/5/2019), anggota Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Masinton Pasaribu, mengatakan, investigasi cukup dilakukan oleh Polri dan Komnas HAM. Ada potensi politisasi dalam pembentukan sebuah tim gabungan pencari fakta untuk demo 21-22 Mei.
”Hasil dari Polri dan Komnas HAM akan lebih bisa dipertanggungjawabkan. Komnas HAM juga sudah diisi oleh unsur akademisi, termasuk masyarakat,” kata Masinton.
Ia menilai juga perlu diungkap soal korban jiwa yang berasal dari senjata di luar kepolisian.
Tim gabungan pencari fakta (TGPF) pertama kali diciptakan untuk mengusut kasus kerusuhan Mei 1998. Tim ini berisi berbagai unsur, dari Kejaksaan Agung, Polri, TNI, pemerintah, Komnas HAM, akademisi, pemuka agama, hingga aktivis HAM.
Anggota Fraksi Partai Nasdem, Taufiqulhadi, pun menyatakan pandangan yang senada. Menurut dia, masyarakat tidak perlu menunggu dibentuknya lembaga-lembaga khusus untuk menginvestigasi dugaan kekerasan pada demo 22 Mei.
Polri bahkan pada awal pekan ini telah menyusun tim pencari fakta yang akan dipimpin oleh Inspektur Pengawasan Umum Polri.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid juga telah menyerukan agar Polri dan Komnas HAM bersama-sama melakukan investigasi yang independen terhadap potensi pelanggaran HAM yang terjadi setelah demo penolakan hasil pemilu tersebut.
”Para pelaku kekerasan, apakah itu berasal dari kepolisian maupun pihak luar yang memicu kerusuhan, harus diinvestigasi dan dibawa ke muka hukum untuk diadili,” kata Usman.
Dalam rapat paripurna tersebut, anggota Fraksi Partai Gerindra, Sodik Mudjahid, menyebutkan, pembentukan tim gabungan pencari fakta diperlukan untuk segera menyelesaikan dugaan terjadinya kekerasan kepada masyarakat sipil.
Sebab, apabila tidak segera diselesaikan, demo penolakan hasil pemilu 22 Mei berpotensi tidak tertuntaskan seperti berbagai kasus dugaan pelanggaran HAM lainnya, seperti kerusuhan 1998, pembunuhan aktivis HAM Munir, dan kasus penyiraman air keras kepada penyidik KPK Novel Baswedan.
”Marilah kita sekarang melakukan sebuah upaya baru, tim gabungan pencari fakta agar tidak lagi ada utang masa lalu,” kata Sodik. Pandangan ini didukung anggota Fraksi Gerindra lainnya.